Oleh: Imron Wasi*
SEJAK reformasi (politik) bergulir, terdapat berbagai transformasi besar yang bisa dilihat telah mengalami perubahan secara signifikan. Hal ini terkonfirmasi dari sejumlah hal, seperti, adanya kebijakan tata kelola pemerintahan yang menekankan adanya aspek desentralisasi.
Pada saat yang sama, munculnya pelaksanaan proses elektoral yang digelar setiap lima tahun sekali, termasuk daulat rakyat juga dapat direnggut kembali dan dapat menentukan pemimpin transformasional Indonesia, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk pertama kalinya yang digelar secara fair dan demokratis pada 2005 serta tumbuhnya berbagai organisasi modern, terutama partai politik.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa partai politik yang lahir paska-reformasi ini juga tumbuh secara masif dan mengikuti sejumlah proses elektoral (pilpres, pileg, dan pilkada) yang secara reguler dilakukan. Dengan kata lain, dalam iklim yang demokratis seperti di Indonesia ini sistem politik demokrasinya juga mulai hidup, termasuk gairah politik untuk terlibat aktif dalam proses politik juga cukup intensif.
Hal ini tentunya mengonfirmasi khalayak publik bahwa sedari awal telah menimbulkan partisipasi politik. Di samping itu, dalam sistem politik yang multipartai tentunya juga akan ada ada persaingan atau kompetitor, dan termasuk pula kebebasan masyarakat sipil dalam melakukan interaksi sosio-politik, terutama dalam memberikan suara, atau sering disebut sebagai one man one vote. Sebab, untuk mengukur suatu negara demokratis atau tidak, minimal dapat dilihat dalam perspektif kompetisi, partisipasi dan kebebasan di negara tersebut (Georg Sorensen, 2014).
Pada dasarnya, seperti yang telah dibahas secara sekilas di awal, bahwa munculnya sejumlah partai-partai politik di Indonesia juga merupakan manifestasi dari adanya reformasi.
Sejumlah partai-partai politik yang sudah berdiri ini tentu bukanlah suatu organisasi yang serampangan, melainkan entitas modern yang memiliki peran sangat substansial dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Karena, partai-partai politik di Indonesia dapat menjadi lokomotif para calon pemimpin yang hendak menjadi wakil rakyat, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif.
Dalam bahasa lain, parpol menjadi salah satu organisasi yang dapat mengantarkan seseorang menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota.
Tak berhenti sampai di sini, perannya juga sangat esensial di lain pihak, karena di dalam lembaga parlemen juga representasi dari sejumlah parpol peserta pemilu yang sewaktu-waktu dalam menjalankan tugasnya bisa melakukan pengujian terhadap Panglima TNI, Kapolri, duta besar, dan seterusnya, melalui mekanisme fit and propert test di DPR. Selain itu, para politikus di lembaga representatif ini juga secara sistemik merumuskan berbagai produk politik yang tentunya akan berdampak pada kepentingan publik. Dengan demikian, perannya begitu sangat sentral.
Namun, terlepas dari peran partai politik yang sangat sentral, muncul beragam pertanyaan, misalnya, bagaimana partai politik memenangkan pertarungan politiknya saat pemilu, pileg, dan pilkada? Apakah partai politik menggunakan kekuatan uang sebagai senjata utama? Apabila menggunakan uang dalam praktik politiknya, lantas darimana perolehan atau sumber keuangan yang diterima partai politik? Sementara itu, sebagai entitas modern, apakah partai politik memiliki sikap akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan anggaran politik tersebut?
Pendanaan partai politik
Meminjam istilah Mietzner (2007, 2015) yang mengemukakan bahwa pengelolaan dana di partai politik di Indonesia bersifat oligarkhis, di mana sumber pendanaan berasal dari donator kelompok usaha yang bisa memonopoli kerja politik si kandidat setelah berkuasa nanti.
Dalam uraian tersebut, pendanaan partai politik di Indonesia masih kentara dengan nuansa wajah oligarkhis, karena salah satu sumber keuangan yang diperoleh berasal dari kelompok usaha atau dalam term lainnya para pemilik modal yang sewaktu-waktu hal ini juga bisa memengaruhi kontestan yang didukungnya saat telah menjadi pemimpin politik.
Akibatnya, wajah politik di Indonesia masih didominasi oleh kepentingan elite-elite tertentu dan mengabaikan kepentingan publik.
Dalam ekosistem politik di Indonesia, tampaknya tidak bisa dinafikan bahwa sejumlah partai politik membutuhkan biaya untuk melakukan operasi politiknya agar dapat memenangkan kontestasi. Saat ini, di Indonesia sendiri, partai politik memerlukan uang untuk membiayai aktivitas atau interaksinya dalam menjaga eksistensi, termasuk menjaga agar kans politiknya tetap unggul dalam setiap pemilihan.
Dalam hal ini, ada dua aspek teoritis yang dibisa ditelaah untuk mengetahui kebutuhan parpol. Pertama, campaign finance dan yang kedua party finance. Campaign finance, misalnya, dapat dikatakan sebagai keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan selama masa kampanye. Sedangkan, party finance lebih menekankan pada keuangan parpol yang diperoleh dan digunakan untuk menjalankan kegaitan partai di luar masa kampanye, termasuk menggerakan infrastruktur dan jaringan partai (Muhtadi, 2013)
Kebutuhan parpol terhadap uang juga sangat tinggi, karena selain modal sosial yang dibutuhkan, juga perlu modal finansial.
Karena, modal finansial juga menjadi kunci dalam pertarungan politik dalam pentas politik di Indonesia, baik di tingkat domestik, maupun regional hingga lokal. Tak hanya itu, ditambah juga dengan sikap masyarakat yang secara realitas politik masih permisif terhadap praktik money politics. Dalam menjalankan rutinitas parpol di Indonesia, tentunya memerlukan kekuatan uang yang besar, terlebih di setiap daerah juga tampak para pengurusnya. Dalam menjalankan aktivitas politiknya, parpol tentu harus mencari cara yang apik agar dapat memperoleh pendanaan yang ideal bagi partai politik untuk membiayai interaksi selama proses kampanye politik maupun sebelum dan setelah kampanye politik.
Sementara itu, menjelang pemilihan umum biasanya partai politik akan dihadapkan pada kekuatan finansial yang akan dimiliki. Ada asumsi yang muncul, semakin hendak menjadi kampiun dalam demokrasi di Indonesia, sudah barang tentu harus memiliki kapital yang besar, terutama kekuatan uang. Dalam sistem politik di Indonesia, partai politik tentu sudah memperoleh subsidi dari negara melalui mekanisme APBN/APBD. Namun demikian, akuntabilitas dan transparansi parpol terhadap penggunaan uang negara ini juga sangat minim atau sama sekali tidak ada. Di samping itu, parpol juga mendapatkan sokongan dana dari sumbangan yang sah menurut konstitusi dan iuran anggota.
Bahkan, dalam pilpres dan pilkada, misalnya, ada semacam fakta politik yang sudah ditemukan bahwa ada fenomena sumber pendanaan gelap dari pihak ketiga.
Sehingga, hal ini berpotensi untuk mendorong berbagai bentuk praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan (Bawaslu, 2018). Kebijakan politik mengenai pembiayaan politik ini sesungguhnya telah dimuat dalam sejumlah regulasi, termasuk dalam UU, PP, dan Permen. Panggung politik Indonesia semakin riuh menjelang pemilu 2024 yang dilakukan secara serentak. Pasalnya, pada 2024 mendatang ini akan ada pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Dalam rangka merebut dan mempertahankan kekuasaan, segala cara tentu akan dilakukan partai politik.
Saat hendak menampilkan orkestasi dalam panggung politik di Indonesia tentunya memerlukan dana yang besar. Oleh karena itu, memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Secara umum, mendekati kontestasi pemilu tentu akan semakin banyak para kapital yang akan ikutserta ‘mesponsori’ partai politik, terlebih pada pemilu 2024 mendatang, misalnya, merupakan bursa pasar yang bebas. Artinya, tidak diikuti oleh petahana. Komunikasi terhadap jejaring informal tentu akan semakin intens dilakukan oleh partai politik, karena untuk mendapatkan kekuatan finansial dari sejumlah pihak.
Pemberian subsidi keuangan oleh pemerintah kepada partai politik di satu sisi dapat dilihat cukup baik, karena sebagai salah satu kepedulian pemerintah terhadap entitas yang bukan tunggal, melainkan heterogen ini. Akan tetapi, secara praksis riil partai politik ini justru semakin terjerembab pada kualitasnya yang tidak meningkat, terutama dalam melakukan bentuk akuntabilitas dan transparansi kepada khalayak publik.
Relasi kuasa antara pemilik modal, partai politik dan kontestan yang diusung dalam pemilihan (pilpres, pileg, dan pilkada), pada akhirnya akan mengalami erosi politik dan demokrasi. Sebab, relasi ini juga secara sistemik akan terus berlanjut atau dalam pengertian lain adanya ‘balas budi politik’.
*Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia