Tangerang Selatan – Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) terus mematangkan Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), salah satunya dengan menggandeng Kementerian/Lembaga lain serta organisasi kemasyarakatan yang konsen dalam isu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Direktur Diktis, Prof Suyitno mengatakan RPMA Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tersebut penting untuk segera ditetapkan supaya dapat memantik kesadaran nasional tentang pentingnya mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan ramah, terutama untuk melindungi seluruh siswa, pendidik, dan tenaga pendidik pada satuan pendidikan keagamaan.
“Oleh karena itu, keterlibatan Kementerian/Lembaga lain serta organisasi kemasyarakatan yang konsen dalam isu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual penting untuk memperkaya substansi RPMA,” katanya pada kegiatan Pembahasan Final RPMA PKS pada Satuan Pendidikan di lingkungan Kemengerian Agama yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin (30/5/2022).
Lebih lanjut Direktur menekankan, pola pencegahan dan penanganan yang akan diadopsi dalam regulasi ini harus juga komprehensif, sehingga pendekatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang tertuang dalam RPMA ini akan sangat variative dan bermakna sehingga mampu menimbulkan efek jera dan kesadaran yang permanen terhadap para pelaku pelecehan atau kekerasan seksual.
“Untuk itu keterlibatan PGSA dan para pegiat perlindungan perempuan dalam kegiatan ini penting sekali guna memperkaya RPMA berdasarkan pengalaman mereka salama melakukan advokasi kasus-kasus serupa,” ujarnya.
Selain dihadiri oleh perwakilan seluruh satker Eselon I di lingkungan Kementerian Agama, kegiatan ini juga dihadiri oleh unsur Kemenkumham, Kementerian PPPA, Bappenas, KSP, Kemenko PMK, KPAI, serta RMI-NU sebagai perwakilan organisasi penyelenggara pendidikan keagamaan masyarakat.
“Keterlibatan kawan-kawan Kemenkumham dan instansi lainnya juga penting dalam rangka memastikan supaya tidak ada tumpang tindih dengan regulasi lain, atau bahkan bertentangan. Ini harus dihindari,” tekan Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang ini lebih lanjut.
Terlebih, lanjut Suyitno, dalam rangka kegiatan penanganan, Kementerian Agama akan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. “Misalnya dalam hal perlindungan saksi atau korban, Kemenag akan membutuhkan keterlibatan instansi lain seperti Kementerian PPPA atau KPAI. Dan kasusnya juga akan diproses secara hukum oleh pengadilan. Jadi pola koordinasi dengan instansi lain terkait menjadi bagian penting yang harus diatur dalam RPMA PPKS ini,” pungkas Suyitno.
Dalam kesempatan ini, Farida Wahid perwakilan dari Kemenkumham juga menyampaikan apresiasi terhadap komitmen Kementerian Agama. Menurutnya, hal tersebut merupakan langkah yang progresif dan dalam waktu dekat seluruh satuan pendidikan di Kementerian Agama akan memiliki payung hukum dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sehingga seluruh pihak akan merasa terlindungi.
“Oleh karena itu kami hadir sampai tiga hari ke depan agar dapat terlibat secara aktif dan memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi pencegahan dan penanganan PPKS di lembaga pendidikan keagamaan,” ujar Farida Wahid saat sesi diskusi pembahasan RPMA.
Pembahasan RPMA ini sendiri sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Kegiatan ini merupakan tindaklanjut dari uji publik sebelumnya yang juga melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Ditargetkan dalam kegiatan kali ini akan diperoleh draft final untuk kemudian dilakukan pembahasan sinkronisasi dengan Kemenkumham sebelum ditetapkan oleh Menteri Agama.
Sementara itu, ditempat yang sama, Dirjen Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani mengatakan RPMA Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) disusun semangatnya untuk menghormati nilai-nilai keagamaan. Sehingga penyusunan RPMA ini harus selaras dengan nilai-nilai agama.
Dalam pengarahannya, Muhammad Ali Ramdhani yang juga Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menyampaikan 4 (empat) hal penting yang harus diperhatikan oleh Pokja, yaitu:
Pertama, RPMA ini hadir dalam rangka untuk menjamin siapapun dapat memiliki akses untuk melakukan pengaduan terhadap berbagai potensi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Karena menurutnya, tidak sedikit korban pada awalnya berontak, namun karena tidak ada saluran untuk mengadu, pada akhirnya mereka menerima perlakukan kejahatan seksual yang menimpa mereka dalam jangka panjang.
“Ini tantangan dan harus dapat dijawab oleh RPMA ini. Jadi tidak ada lagi “ruang gelap” yang dapat menutup-nutupi kejahatan ini di lingkungan pendidikan,” ujarnya.
Kedua, norma atau ketentuan terkait mekanisme perlindungan terhadap korban juga sangat penting harus dirumuskan dengan baik. Sampai sekarang, perlindungan ini masih lemah sekali. Korban sering ditutupi wajahnya dan disamarkan suaranya, namun bagian tubuh lainnya tetap dapat dikenali.
“Jadi perlindungan terhadap identitas korban ini sangat krusial,” tambahnya.
Kepada Asdep Kemenko PMK yang hadir, Dirjen berpesan agar Kemenko PMK menginisiasi membuat mekanisme sanksi terhadap media yang terus memaksa untuk membuka identitas korban ke ruang publik.
“Bahkan penting bagaimana kita dapat mendorong Kemenko PMK untuk membuat mekanisme sanksi terhadap media yang terus mendorong mengungkap identitas korban ke publik,” ujarnya lebih lanjut.
Ketiga, aspek trauma healing juga penting diperhatikan. Dirjen berharap trauma healing tidak hanya sebatas pada menata aspek mental korban, tapi juga sudah menyentuh sampai bagaimana menata masa depan korban lebih lanjut.
“Di sini negara harus hadir. Karena korban ini hidupnya dikucilkan, sehingga anak yang dilahirkan pun dianggap aib dan diserahkan ke panti asuhan. Akhirnya ini menjadi persoalan kolektif masyarakat kita bagaimana masa depan anak-anak seperti ini,” tambahnya lebih lanjut.
Keempat, Dirjen menekankan bahwa kekerasan seksual tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan yang disertai pemaksanaan saja. Tindakan orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa pun, meskipun anaknya mau, juga harus dianggap kekerasan seksual.
“Jadi jika ada orang di bawah umur menurut undang undang, apabila melakukan aktivitas seksual dengan orang dewasa, maka harus dianggap sebagai tindakan kekerasan seksual. Ini penting agar kita dapat melindungi anak-anak kita,” pungkasnya.