Jumat, 19 April, 2024

Fenomena Urbanisasi Pasca Idul Fitri

Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*

Setelah bahagia merayakan Idul fitri di kampung halaman, maka waktunya mereka yang pulang kampung untuk kembali melakukan rutinitasnya seperti semula. Mereka yang bekerja di kota akan sedapat mungkin untuk kembali ke kota, kembali kepada hiruk pikuk ramainya kota. Keramaian yang menjadi tempat bersandar dalam memenuhi segala
kebutuhan hidup. Kota yang bagi sebagian besar orang dianggap sebagai tempat menggantungkan nasib hidup.

Kembali ke kota mungkin menjadi hal yang sangat berat untuk dilakukan. Kehangatan dan suasana santai yang hadir selama liburan mudik pun langsung terhenti. Kepenatan beban kerja dan kerasnya kehidupan kota menjadi rutinitas yang akan kembali dijalani. Secara sosial-budaya rutinitas kembali ke kota tak hanya bicara pada soal kembali pada keseharian tetapi juga kembali pada kontestasi sosial dimana kota menjadi panggung utama dalam memperebutkan kelayakan hidup.

Pasca mudik Idul Fitri permasalahan yang lazim dijumpai di Indonesia ialah soal terjadinya peningkatan urbanisasi di kota-kota besar. Hampir setiap tahun kota besar selalu menjadi panggung masalah menyangkut peningkatan urbanisasi setelah idul fitri. Kota sering menjadi tujuan masyarakat pedesaan untuk urbanisasi karena dianggap mampu memperbaiki kehidupan mereka secara ekonomi.

- Advertisement -

Urbanisasi pasca idul fitri selalu menjadi masalah sosial di Indonesia setiap tahun. Cerita pemudik tentang kesuksesan mendapatkan kehidupan yang layak di kota seringkali memberi gerak ketertarikan baru bagi masyarakat di desa untuk juga ikut merantau ke
kota besar. Anggapan bahwa kota lebih maju dan mapan menjadi asumsi sebagian besar masyarakat melakukan urbanisasi. Hingga tak jarang sebagian besar yang ikut merantau ke kota itu tidak memiliki keahlian khusus yang memadai.

Dibalik maraknya urbanisasi pasca idul fitri ada satu kecemasan yang besar jika kemudian proses urbanisasi masif akan membawa terjadinya laju peningkatan kaum miskin di kota. Bertambahnya kepadatan penduduk di kota secara ril dapat membuat orang di kota mengalami persaingan yang kuat dan jika tidak terkontrol maka akan memicu munculnya perilaku kekerasan di kota. Karenanya menarik ditelaah kembali dalam perspektif hari ini, apa yang menjadi pendorong seseorang untuk melakukan urbanisasi?

Semua ada di Kota

Salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya urbanisasi besar–besaran ke kota  setelah idul fitri adalah karena faktor kemoderenan. Konteks ini tak hanya dilihat dari celah
perspektif tentang kemajuan ataupun bicara soal kelengkapan infrastruktur yang ada di kota tapi juga bicara soal kebutuhan hidup yang secara utuh tak pernah lepas dari dimensi ekonomi, politik dan juga sosial-budaya.

Seperti yang diungkap diawal, selama mudik ke kampung satu hal yang biasa dilakukan para pemudik kota saat Idul Fitri adalah bercerita tentang pekerjaan yang mereka geluti selama di kota. Secara verbal kondisi ini sebenarnya telah memberi informasi penting tentang kota tempat asal dari pemudik kepada orang desa yang ujungnya akan mengajak orang yang ada di desa untuk ke kota.

Momentum idul fitri menjadi sarana yang pas dalam mempromosikan tentang kehidupan kota, tentang wacana kemoderenan kota yang hampir berbeda jauh dengan kondisi yang hadir di desa. Dalam sejarah, wacana kemoderenan memang bukan hal baru dalam membuat cara pandang kita melihat kota. Sejak awal abad ke-20, wacana kemoderenan
sudah dianggap sebagai penanda zaman baru. Dimana gagasan tentang modernitas dan kemajuan menjadi wacana besar yang mampu mengubah segala macam bentuk pandangan. (Henk Schulte Nordholt, 2011).

Disisi lain tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat kemoderenan yang dimiliki kota memiliki daya pikat yang tinggi. Konteks ini relevan dengan jejalin orientasi yang sering dipakai masyarakat desa yakni bagaimana membuat perbaikan kualitas hidup guna
pemenuhan kebutuhan sehari–hari. Ketika ekonomi mendominasi atas kepentingan orang untuk datang ke kota maka tak salah jika kemudian ada hal menekan secara ekonomi. Ketertarikan orang datang ke kota memberikan perubahan berarti bagi wilayah pinggiran seperti kampung yang memberi demarkasi yang jelas antara kehidupan modern kota dan
kehidupan wilayah daerah tradisional.

Distribusi Kemoderenan

Banyak opini menyebut urbanisasi sejujurnya tak akan menjadi masalah selama pemerataan pembangunan dan penciptaan kota-kota baru dilakukan. Apa yang terjadi dalam realitas kekinian terkait urbanisasi dan masalah penumpukan kepadatan penduduk dapat terurai manakala keberadaan desa dan daerah pinggiran mendapatkan perhatian
yang serius. Adanya perasaan keterpinggiran, kurangnya motivasi pembangunan hingga krisis ekonomi daerah dan tidaknya ketersediaan lapangan kerja di desa menjadi rezim pembenaran bagi masyarakat desa untuk tetap melakukan urbanisasi ke kota.

Masalah urbanisasi sebenarnya adalah masalah kesenjangan yang sangat besar antara realitas yang terjadi di kota dengan yang terjadi di desa. Proses pembangunan di desa masih jauh tertinggal dengan realitas apa yang hadir di kota. Masalah ketersediaan infrastruktur desa, kelengkapan fasilitas layanan publik menjadi hal langka dalam
melihat wajah kemoderenan di desa.

Oleh karena itu, bukan hal yang aneh jika pemerintah pusat Indonesia memiliki tantangan besar untuk secepatnya mendistribusikan wajah kemoderenan yang ada di kota ke desa. Meskipun secara estimasi kurang menguntungkan dari yang ada di kota karena harus menata bahkan membangun kondisi yang baru. Tapi dari segi demografi cara ini mampu
memberikan satu porsi keseimbangan pembangunan. Jika kepadatan penduduk di kota mampu dipindahkan ke desa dengan kualitas taraf hidup yang sama maka orientasi masyarakat di desa tak lagi melihat kota dalam perspektif tinggi tapi justru menempatkannya dalam perspektif sejajar dan lebih adil.

*Penulis merupakan Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER