Selasa, 16 April, 2024

Prof Rokhmin: Reorientasi menuju Negara Maritim untuk Akselarasi Indonesia Emas 2045

MONITOR, Bogor – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus melakukan reorientasi pembangunan sebagai negara maritim untuk mengkselerasi terwujudnya Indoensia Emas (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045.

“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun oleh 17.504 pulau, dirangkai oleh sekitar 104.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut; Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) Kemaritiman yang sangat besar. Sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun (1,4 PDB – RI tahun 2020) dan lapangan kerja sekitar 45 juta orang (1/3 angkatan kerja-RI),” ujarnya pada Webinar Ramadan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bertajuk Reorientasi Indonesia Menuju Negeri Maritim, Indonesia Emas 2045, Rabu (27/4/2022). 

“Hingga 2020 baru dimanfaatkan sekitar 15 % total pontesinyaà Maka, peluang pengembangan (roomforexpansion) ekonomi maritim untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan dan kesejahteraan rakyat masih sangat besar,” tegasnya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menuturkan bahwa dengan  menggunakan IPTEK mutakhir di era Industry 4.0 (seperti IoT, AI, Robotics, Blockchain, CloudComputing, Human-MachineInterface, Big Data, Bioteknologi, dan Nanoteknologi) à Maka, wilayah lautan akan dapat dijadikan sebagai ruang pembangunan (developmentspace) yang lebih luas, dan menghasilkan komoditas, produk, dan jasa kelautan baru (emerging) seperti farmasi, energi, mineral, dan tanaman pangan.

- Advertisement -

“Fakta bahwa sejak Revolusi Industri Pertama (1753) sampai sekarang; 85% transportasi komoditas dan produk dunia itu melalui laut, sekitar 45% total barang (komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia diangkut oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia), sekitar 60% penduduk dunia dan Indonesia bermukim di wilayah pesisir, dan pergeseran mesin ekonomi dunia (thepowerhouseoftheworldeconomy) dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik à Maka, peran dan kontribusi kemaritiman bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa Indonesia akan semakin sentral dan strategis,” tuturnya.

Namun, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro è Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah sehingga Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

“Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale) sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan,alias miskin,” jelas Prof Rokhmin.

Selain itu, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga mengungkapkan bahwa sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran sehingga, tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.

“Investasi dan bisnis di sektor Kemaritiman yang besar, modern, dan menguntungkan, terutama ESDM, industri manufaktur, dan pariwisata bahari, dimiliki oleh pihak asing atau korporasi nasional yang rendah jiwa “nasionalisme” nya, sehingga ‘keuntungan usaha’ (economic rent) nya dibawa ke negara asalnya atau ke Jakarta negara hanya mendapatkan nilai ekonomi yang rendah, dan masyarakat lokal tetap miskin,” ungkapnya.

“Kecuali sektor Perikanan Tangkap, tingkat pemanfaatan (pembangunan) sektor-sektor ekonomi maritim masih rendah dan belum optimal akibatnya, kontribusi ekonomi maritim bagi perekonomian nasional, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa pun belum signifikan,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu juga mengkritik kesadaran dan komitmen para pemimpin dan elit politik bangsa (Menteri, DPR, Yudikatif, Kepala Daerah, dan CEO swasta) tentang nilai strategis Kemaritiman bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa pada umumnya masih rendah. 

“Sebagian besar mereka tidak memiliki visi dan konsep terobosan (breakthrough) untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 berbasis Kemaritiman, dan kebanyakan mereka terjebak dalam kepentingan pribadi, kelompoknya atau kepentingan transaksional lainnya, yang umumnya bersifat instan,” kritiknya.

Untuk menjawab peluang dan tantangan tersebut, Prof Rokhmin menjabarkan road map atau peta jalan untuk pembangunan nasional diantaranya adalah dengan melakukan transformasi struktur ekonomi pertama, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

kedua, Modernisasi dan Hilirisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. keriga, Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) Elektronik, (4) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. keempat, Pengembangan industri manufakturing baru: EBT, Semikonduktor, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan lainnya. 5.Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).

Adapun Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan yang harus dilakukan antara lain: Pertama, Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS 1982 dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.

Kedua, Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. Ketiga, Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan sustainability) seluruh sektor dan bisnis ekonomi maritim yang ada sekarang (existing). Keempat, Pengembangan sektor dan bisnis ekonomi maritim konvensional (established sectors) di wilayah pesisir dan laut baru, seperti: perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, dan industri maritim.

Kelima, Pengembangan sektor-sektor Ekonomi maritim baru (emerging sectors), seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea mining, marine-agriculture, dan deep sea water industry.

Keenam, Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim yakni memalui tol laut dan konektivitas digital melalui Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam – Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).

Kemudian Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri serta Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman) termasuk Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.

Ketujuh, semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles (Blue Economy).

Kedelapan, Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (zero emission, CO2) dan zero waste.

Kesembilan, Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.

Kesepuluh, Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER