Jumat, 19 April, 2024

Berjamaah Mengawal Implementasi UU TPKS

Oleh: Muh Fitrah Yunus, S.IP., MH.*

Di dalam konstitusi Indonesia jelas tertuang bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam Pasal 28I UUD 1945 memuat bahwa salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan.

Pasal 28I berbunyi: 1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, 2. Hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, 3. Hak identitas budaya dan masyarakat tradisional untuk dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 mencantumkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dengan demikian, pasal 28I ayat 5 UUD 1945 mencantumkan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

- Advertisement -

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Salah satu pemenuhan hak asasi manusia adalah perlindungan warga negara terhadap kekerasan. Seperti kita ketahui, sampai saat ini, Indonesia masih dihantui dengan jumlah maupun tingkat kekerasan yang sangat tinggi. Khususnya pada kekerasan terhadap perempuan, sepanjang 2021 ada sebanyak 1.735 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar korban adalah anak perempuan yaitu sebanyak 1.173 kasus, sedangkan 562 kasus merupakan anak laki-laki. Demikian catatan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Kekerasan seksual terjadi sebanyak 557 kasus, hak asuh anak/perwalian 520 kasus, kekerasan fisik/psikis ada 240 kasus, eksploitasi ekonomi 80 kasus, korban napza 40 kasus, penelantaran ada 25 kasus, eksploitasi seksual ada 18 kasus, dan anak memerlukan perlindungan khusus lainnya ada 255 kasus. Sementara berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per November 2021, pada tahun 2019 terjadi kekerasan terhadap anak sebanyak 11.057 kasus, meningkat pada tahun 2020 menjadi 11.279 kasus, dan meningkat lagi pada tahun 2021 sebanyak 12.566 kasus.

Dilihat dari usia Perempuan Korban Kekerasan pada tahun 2021, untuk usia 0-5 tahun ada 5% perempuan yang menjadi korban kekerasan, usia 6-12 tahun ada 14,6%, usia 13-17 tahun ada 31,8%, usia 18-24 tahun ada 13,7%, usia 24-44 tahun ada 28,6%, usia 45-59 tahun ada 5,5%, dan usia di atas 60 tahun ada 0,7%.

Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan paling banyak terjadi sepanjang 2016-2020 yaitu ada 7.338 kasus (29,61%) dari total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Bahkan kekerasan seksual juga terjadi di dunia pendidikan. Komnas Perempuan mencatat, sebanyak 88% dari total kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2020) berbentuk kekerasan seksual dan paling sering terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan (2015-2020), 27% terjadi di universitas, 19% di pesantren atau pendidikan berbasis Islam, 15% di tingkat SMA/SMU, dan 7% di tingkat SMP. Selain itu, ada 12% yang terjadi di TK, SD, SLB, dan pendidikan berbasis Kristen.

Ditjen Diktiristek (2020) juga mengungkapkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, sayangnya 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.

Perspektif Perlindungan

Tingginya angka kekerasan seksual menuntut adanya perspektif perlindungan dalam diri setiap hakim pengadilan. Jika hakim hanya melihat kasus kekerasan seksual hanya sebatas susila an sich, yang hanya harus diselesaikan di pengadilan, maka selamanya tidak akan ada keberpihakan pada perlindungan perempuan.

Perspektif perlindungan akan mendorong hukum pada pemenuhan hak asasi manusia. Jika tergolong pemenuhan hak asasi manusia, jika melanggarnya, maka akan memberikan efek jera pada pelaku, sehingga posisi perempuan dan atau anak tidak lagi rentan seperti yang terjadi selama ini.

Betapa pentingnya perpektif perlindungan yang dimasukkan dalam UU, secara yuridis akan menghadirkan kepastian hukum bagi perempuan dan atau anak korban kekerasan seksual, dan tentu untuk masyarakat secara umum. Kepastian hukum itu bisa jadi kepastian orientasi masyarakat dan kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum (Budiono Kusumohamidjojo, 1999).

Dengan data-data di atas, pada faktanya, meski UUD 1945 sudah menitikberatkan hak asasi manusia tersebut sebagai salah satu hak konstitusional, tidak serta merta membuat warga bebas dari kekerasan. Kekerasan seksual menjadi ‘momok’ menakutkan bagi setiap perempuan Indonesia sampai saat ini.

Itulah mengapa RUU TPKS yang sudah disahkan menjadi UU ini, implementasinya harus dikawal dengan baik. Misalnya saja turunan UU ini, jangan sampai ada peraturan-peraturan di bawahnya yang justru terlewatkan dari perhatian masyarakat, utamanya para wakil rakyat dan pemerintah. Sehingga, akan mengikis tujuan dan pentingnya UU ini diimplementasikan.

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Pemerhati Kebijakan Publik

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER