MONITOR – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Prof DR Rokhmin Dahuri, MS menjabarkan sejumlah persoalan ketimpangan sosial manusia modern saat ini dan upaya sistematis yang bisa dilakukan dalam menghadapinya pada acara Diskusi Online Ramadhan 1443 H “Islam dan Ketimpangan Sosial” yang digelar Majelis Rayon KAHMI – Universitas Hasanuddin, Makassar pada Jumat (22/4/ 2022).
Wakil Ketua Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI tersebut mengatakan bahwa persoalan ketimpangan sosial yang membahayakan peradaban dunia tidak terlepas dari sistem sosial dan ekonomi yang menggerakan dunia saat ini dimana sejak 1924 – 1989 dunia ini hampir seluruhnya diatur dengan sistem Kapitalisme yang pada satu sisi telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi global (dunia) rata-rata 3,4% per tahun, dari PDB (Produk Domestik Bruto) Global hanya sebesar US$ 0,5 trilyun pada 1753 (awal Revolusi Industri-1) menjadi US$ 100 trilyun pada 2019 menurut data World Bank pada 2020 dan melahirkan ekosistem berbagai macam IPTEK dalam 4 gelombang Revolusi Industri namun pada sisi lainnya gagal mengentaskan kemiskinan dan kelaparan pada belahan dunia lainnya.
“Revolusi pertama diawali penemuan mesin uap dan mulai tahun 2000 pada Revolusi Industri keempat (Industry- 4.0) ditandai dengan berkembangnya teknologi-teknologi baru terutama berbasis digital dan teknologi informasi seperti IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Big Data, Block-chain, Cloud Computing, dan Robotika serta Bioteknologi dan Nanoteknologi,” katanya.
Kemajuan yang pesat di bidang IPTEK telah membuat kehidupan manusia lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman. Maka, Ekonomi Digital adalah ekonomi yang berdasarkan pada dan digerakkan oleh teknologi-teknologi yang lahir di era Industry 4.0.
“Namun, Kapitalisme gagal mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan tuna wisma global. Selain itu, Kapitalisme telah mengakibatkan ketimpangan sosial (kaya vs miskin) semakin melebar, dan kerusakan lingkungan serta Perubahan Iklim Global (Global Warming) yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) bumi di dalam mendukung pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia,” terangnya.
“Kapitalisme telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran. Hingga 2021, sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2,5 per hari), dan sekitar 813 juta orang masih miskin ekstrem atau fakir (pengeluaran < US$ 1.90 per hari) (World Bank, 2021),” jelasnya.
Saat ini tutur Mantan Menteri Kelautan Perikanan itu, sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses listrik, 900 juta tidak memiliki akses ke air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses ke sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses ke jalan raya yang tahan cuaca dan terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016).
“Ternyata, dari antara 194 negara di dunia, hanya 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi (kaya). Sedangkan 103 negara (53%) adalah negara berpenghasilan menengah, dan 36 negara (19%) masih miskin (Bank Dunia dan UNDP, 2018),” kata Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.
Dalam 250 tahun terakhir, ungkap Prof Rokhmin ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata (Sach, 2015). Misalnya, pada tahun 2010, orang terkaya di dunia dari 388 orang memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh separuh bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Namun, malangnya, pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi setengah populasi dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi telah terjadi tidak hanya antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).
“Sedangkan di Indonesia, ternyata kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing, Itu yang namanya oligarki yang berkolaborasi dengan politikus yang nakal,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu,” tegasnya.
Pertumbuhan ekonomi global selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan besar-besaran yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk (Weizsaker dan Wijkman, 2018). Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global.
Sejak 15 abad lalu, Prof Rokhmin mengatakan bahwa Islam seperti yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw telah mengharamkan semua bentuk praktek ekonomi atau muamalah yang mengakibatkan penumpukan harta pada segelintir orang (kelompok masyarakat) dan ketimpangan sosial.
“Kita simpulkan bahwa yang namanya praktek ekonomi atau muamalah yang mengakibatkan penumpukan harta benar-benar dilarang oleh ajaran Islam. Contohnya, Islam secara tegas melarang: (1) riba (QS. 2: 275, 276, 278, dan 279), (2) kita menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja kepada kita dengan memberikan upah (salary) yang kecil (tidak mensejahterakan pekerja), (3) praktek penimbunan modal dan barang, seperti kasus mafia minyak goreng yang tengah berlangsung sekarang, dan perbuatan lain yang menyebabkan ketimpangan sosial,” ujarnya
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).
“Betapa indahnya Islam praktek riba yang menyesengsarakan umat manusia seluruh dunia kalau dipraktekan diancam dengan neraka. Karena riba itu menjadi sumber masalah dari segala masalah kemanusiaan,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, Islam pun mengharamkan pola hidup (life style) yang membuat manusia menumpuk harta dari jalan haram, dan menggunakannya untuk kemaksiatan, seperti: konsumtif, boros, berlebihan (excessive), hedonis; dan 5 M (Mabok, Madon/zina, Maen/berjudi, Maling/mencuri, dan Madat/narkoba).
Bahkan, Islam mewajibkan umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros; Islam mengajarkan tidak boleh membuang-buang air meski saat berwudlu, dan tidak memubazirkan SDA. Islam juga mengajarkan “Makanlah pada saat lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”. Sebab, kekenyangan merupakan bagian dari perbuatan yang melampaui batas.
Sebaliknya, Islam mewajibkan umatnya untuk menyayangi bukan hanya manusia (muslim maupun non-muslim), tetapi juga semua makhluk ciptaan Allah Azza wa Jalla (rahmatan lil a’lamin) (QS. Al-Anbiya [21]: 107).
Untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial-ekonomi; Islam mewajibkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah dan zakat mal; mensunahkan infaq, sodaqoh, dan waqaf berupa harta benda, tenaga, fikiran, IPTEK, dan amal saleh lainnya.
Islam, tandas Prof Rokhmin mengajarkan menumpuk harta, mencari dan membelanjakan harta secara haram dilarang oleh Allah SWT. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk berbagi harta, ilmu, dan rezeki lainnya kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan, kaum fakir, miskin, dan musafir. Islam juga mewajibkan umatnya untuk berlaku jujur, adil, dan menyayangi sesama, rahmatan lil a’lamin.
“Maka, bila manusia mengamalkan Islam secara ‘kaffah’ (keseluruhan) dan ‘itibba’ (menurut Rasulullah saw), tidak mungkin terjadi ketimpangan sosial yang sedemikian parah seperti di era Kapitalisme ini,” katanya.
Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu memaparkan, potret kondisi kehidupan manusia di masa kejayaan umat islam (The Golden Age Of Moslem), yaitu sejak Fathu Makkah (630 M/Abad-7) sampai Abad-17.
“Potret kehidupan masyarakat dunia yang maju, adil-makmur di zaman keemasan umat Islam (Abad-7 sampai Abad-17) konsepnya mirip dengan peradaban bangsa berbasis Pancsila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tandasnya.