Sabtu, 18 Mei, 2024

Model Pengelolaan Perikanan Tangkap Terukur yang Mensejahterakan dan Berkelanjutan

MONITOR, Bogor – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memeberkan pentingnya Model Perikanan Tangkap Terukur yang Mensejahterakan dan Berkelanjutan pada Rapat Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang dilaksanakan oleh Asisten Deputi Pengelolaan Perikanan Tangkap Kemenko Maritim dan Investasi secara hybrid di Kawasan Sentul, Bogor, Selasa (12/4/2022).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mengungkapkan sejumlah tantangan dan permasalahan perikanan tangkap di Indonesia diantaranya adalah sebagian besar usaha penangkapan ikan bersifat tradisional tidak memenuhi skala ekonomi, tidak menggunakan teknologi mutahkir, tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir), dan tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

“Banyak nelayan belum sejahtera (miskin); dan kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap bagi perekonomian Nasional (seperti PDB, nilai ekspor, dan PNBP) masih rendah,” katanya.

“Tantangan dan permasalahan lainnya tingkat (laju) penangkapan jenis stok ikan di beberapa WPP sudah overfishing, di beberapa WPP lain masih underfishing atau optimum dan sustainable (tingkat penangkapan =  MSY), akibat rejim pengelolaan yang ‘open access’ dan tidak terukur,” tambahnya.

- Advertisement -

Tantangan dan permasalahan lainnya meliputi IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing, Penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan (destructive fishing), Pencemaran perairan laut, Perubahan Iklim Global, Mayoritas nelayan belum menerapkan Best Handling Practices.

Selain itu, sebagian besar Pelabuhan Perikanan belum berkelas dunia: sanitasi dan higienis rendah, tidak dilengkapi dengan Kawasan Industri Perikanan Terpadu (hanya sebagai tambat – labuh Kapal Ikan). “Dulu pada saat kami (menjadi Menteri) ada SPBU Nelayan itu mendukung sarana produksi, sayang sekali itu tidak dilanjutkan padahal kan bagus,” ungkapnya.

Untuk Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Mensejahterakan dan Berkelanjutan, pemerintah harus fokus pada kebijakan dan program untuk nelayan diantaranya; pertama, peningkatan pendapatan nelayan melalui peningkatan produktivitas, penyediaan sarana produksi dan perbekalan melaut, mata pencaharian alternatif dan lain-lain.

“Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan,” ungkap Rokhmin.

Kedua, kebijakan dan program pengendalian pengeluaran dan resiko nelayan meliputi pembangunan kawasan pemukiman nelayan, penyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga dan lain-lain.

Dewan penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 tersebut juga membeberkan penyempurnaan pengelolaan perikanan tangkap terukur di wilayah laut ZEEI yang mensejahterakan dan berkelanjutan yakni Pertama, evaluasi perhitungan dan alokasi kuota penangkapan ikan dan besaran nilai PNBP untuk setiap badan usaha, dengan skala prioritas: Koperasi Nelayan Tradisional Lokal yang telah ditingkatkan kapasitasnya, Perusda (BUMD), BUMN, Perusahaan Swasta Nasional, dan terakhir Perusahaan Asing. 

“Di sini, kuota penangkapan ikan dihitung berdasarkan JTB di wilayah laut ZEEI (12 – 200 mil dari garis pantai) di setiap WPP-NRI.  Sedangkan, wilayah perairan laut antara (0 – 12 mil) atau laut teritorial di setiap WPP-NRI itu hanya untuk nelayan tradisional dengan ukuran Kapal Ikan kurang dari 30 GT,” terangnya.

Kedua, Kuota untuk setiap Badan Usaha jangan dipatok 100.000 ton/tahun. Harus ada fleksibilitas untuk Koperasi Nelayan Tradisional dan Perusda seyognyanya bisa kurang dari 100.000 ton/tahun.

Ketiga, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam hal ini LPUMKP atau KUR memberikan pinjaman kepada Koperasi Nelayan Tradisional untuk membeli Kapal Ikan kurang dari 50 GT dengan alat tangkap (fishing gear) yang sesuai dengan jenis ikan target dan kondisi oseanografi – klimatologi di WPP-NRI dimana dia mendapatkan izin kuota penangkapan ikan. 

“KKP dan Pemda melakukan capacity building kepada nelayan lokal agar mampu mengoperasikan kapal modern dan melaut lebih dari 2 minggu.  Atau mendatangkan Kapal Ikan Modern dari Pantura, dan wilayah lainnya di NKRI.  Dengan, ABK 50% nelayan lokal dan 50% nelayan dari wilayah lain NKRI. Fishing master, nahkoda, dan ahli mesin dari daerah lain,” jelasnya.

Keempat, Pemantauan dan pencatatan produksi ikan (fish landing) setiap Kapal Ikan yang mendapatakan izin penangkapan ikan (> 30 GT) dari DJPT-KKP, per satuan waktu (hari, minggu, bulan, atau tahun) di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP.

Kelima, Pemantauan dan pencatatan harga jual ikan dari setiap Kapal Ikan diatas, per satuan waktu di pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan oleh KKP.

Keenam, Observasi dan penghitungan secara langsung biaya produksi (melaut) setiap jenis Kapal Ikan dan Alat Tangkap di setiap WPP.

Ketujuh, MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) operasi Kapal Ikan di seluruh wilayah perairan laut NKRI untuk memastikan bahwa mereka mematuhi semua regulasi Pemerintah- RI.

Kedelapan, Optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Ikan oleh Kapal Ikan Indonesia di wilayah laut lepas (international waters), dimana Indonesia sudah mendapatkan kuota sejak 20 tahun terakhir, seperti di S. Hindia (CCSBT), IOTC, dan lain-lain.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER