Sabtu, 20 April, 2024

Masalah Remitansi dan Tantangan Kerja Migran Indonesia

Oleh: Helda Rahmawati, S.Sos, S.Pdi*

Tak dapat dipungkiri jika pandemi Covid-19 ini berdampak besar terhadap sektor ketenagakerjaan, khususnya angkatan kerja lapisan menengah kebawah. Dampak yang lebih besar dialami oleh angkatan kerja lapisan menengah ke bawah, khususnya angkatan kerja perempuan. Karenanya sejak masa pandemi ini banyak pekerja yang beralih profesi dari Secara umum, lapangan usaha pertanian dan informal menjadi “kantong penyelamat” bagi pekerja industri dan formal selama masa pandemi. 

Dampak Covid-19 terhadap ketenagakerjaan juga dapat dilihat dari penurunan remitansi atau pengiriman uang dari luar negeri atau dari pekerja migran Indonesia (PMI). Jumlah remitansi tenaga kerja Indonesia mencapai 9,43 miliar dolar AS pada 2020 atau turun 17,56 persen secara year on year atau dibanding periode sama tahun sebelumnya, berdasarkan data Bank Indonesia.Hal ini sedikit banyak mencerminkan betapa sulitnya kondisi ekonomi yang dihadapi oleh PMI selama masa pandemi ini. Terkait PMI, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, jika jutaan pekerja migran Indonesia (PMI) berangkat ke berbagai negara selama beberapa tahun terakhir. Wapres mengungkap, PMI menghasilkan nilai dana remitansi mencapai Rp. 160 triliun per tahun.

Dari jutaan pekerja migran yang berangkat ke berbagai negara selama beberapa tahun terakhir, nilai dana remitansi yang dikirim ke Indonesia mencapai Rp 160 triliun per tahun. Atau kedua terbesar setelah penerimaan devisa dari sektor migas. Karena itu, PMI sering disebut sebagai pahlawan devisa Negara. Pemerintah pun menegaskan komitmennya memberikan perlindungan pekerja migran Indonesia dan peningkatan kualitas pengelolaan sektor ini. Sebagai basis perlindungan hukum bagi para pekerja migran, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak – Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Dilanjutkan penerbitan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan. Poin utama UU ini memberi mamfaat keamanan dan kenyamanan bagi para pekerja karena mendapatkan hak – hak perlindungan kerja. Lantas bagaimana dengan perlindungan kesejahteraannya. ?

- Advertisement -

Masalah kesejahteraan para pekerja migran menjadi poin utama yang saat ini tengah hangat dibicarakan dalam konferensi kelompok masyarakat sipil atau Civil 20 (C20) pada presidensi G20 Indonesia. Isu utamanya adalah soal penurunan biaya remitansi atau layanan pengiriman uang. Penurunan biaya remitansi bertujuan untuk mendukung kesejahteraan pekerja migran dari negara yang tergabung dalam G20.Terkait tarif remitansi yang mahal, Banyak pihak menginginkan jika tarif remitansi maksimal 3 persen karena ini akan menguntungkan pekerja migran di negara maju.

Pertimbangan Rasional

Saat ini rata-rata biaya remitansi secara global mencapai 13 persen alias mahal. Bisa dibayangkan, jika pekerja migran ingin mengirim uang ke negaranya kena tarif semahal itu justru membebani pekerja migran dari negara miskin dan berkembang. Biaya remitansi sebesar 3 persen sesuai permintaan C20. Seharusnya, hal itu sudah menjadi kesempahaman bersama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya di SDGs. Sayangnya hal tersebut belum terealisasi optimal. Isu penurunan biaya remitansi ini sangat penting bagi negara-negara G20, khususnya negara-negara miskin dan berkembang. Pengurangan remitansi diharapkan memberikan dampak yang besar, bagi peningkatan kemampuan negara miskin dan berkembang membiayai pembangunannya di negara masing – masing. Karena beban pembayaran hutangnya menurun secara drastis.

Diangkatnya isu remitansi dalam forum Presidensi G20 2022 setidaknya menjadi bukti komitmen negara-negara anggota G20 untuk memastikan pembentukan administrasi migrasi global yang aman, tenteram, dan bermartabat. Hal ini sesuai dengan tujuh tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-10, yang bertujuan untuk memfasilitasi migrasi dan migrasi manusia yang terorganisir, aman, terorganisir dan bertanggung jawab, termasuk implementasi kebijakan migrasi yang terencana dan terkelola dengan baik. Apalagi selama ini peningkatan remitansi tidak disertai dengan keamanan dan kesetaraan yang baik bagi pekerja migran, dan diskriminasi terhadap mereka masih berlanjut.

Secara rasional,masalah kesejahteraan pekerja migran sangat mempengaruhikualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di negara asal atau di negara asal. Jika manajemen migrasi baik maka akan berdampak positif terhadap IPM baik di negara kedatangan maupun negara asal. Sebaliknya jika pengelolaannya buruk, juga akan berdampak negatif. Karena itulah urgensi penataan sistem migran merupakan hal yang sangat penting dalam skema pemulihan kehidupan ekonomi nasional yang tercabik karena wabah pandemi Covid-19.

Tekanan Pandemi

Akibat Covid-19, jutaan pekerja migran seluruh dunia terpaksa kehilangan pekerjaan, termasuk pekerja migran asal Indonesia. Sebagian beruntung bisa pulang kampung,tetapi banyak yang tak bisa pulang karena terjebak pembatasan di negara lokasi mereka bekerja. Bagi yang pulang kampung, bukan berarti tiada persoalan. Mereka menghadapi tantangan sama beratnya, seiring ketiadaan pekerjaan dan penghasilan untuk menopang kehidupan keluarga yang biasanya menerima remitansi., wabah Covid-19 hampir menghentikan migrasi pekerja migran karena pembatasan mobilitas, penutupan perbatasan, dan karatina. Situasi itu menurunkan  volume remitansi secara global, termasuk Indonesia. 

Posisi pekerja migran pun rentan karena meningkatnya sentiment anti migran dan stigma sebagaipembawa virus. Data dari Migrant Care tercatat sekitar 176.000 pekerja migran Indonesia pulang pada tahun pertama wabah pandemi Covid-19. (Migrant Care, 2020). Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan angka lebih besar, yaitu 283.640 pekerja migran Indonesia pulang pada 2020. Pekerja migran di sektor domestik menjadi kelompok pekerja migran yang paling rentan saat pandemi karena harus kerja lembur terus dan kerja tambahan karena seluruh keluarga pun ada di rumah selama pembatasan mobilitas. Disisi lain, banyak para pekerja migran yang harus pulang kampung karena majikan yang kehilangan pekerjaan. Mereka disuruh memilih, pulang atau mencari tempat kerja baru karena tak sanggup membiayai gaji para pekerja.

Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan selama tiga tahun terakhir arus pekerja migran yang kembali terus meningkat. Pada tahun 2020 tercatat ada 283.640 pekerja migran Indonesia pulang, sebelumnya pada tahun 2019, ada sebanyak 276.553 orang pulang, dan pada 2018 ada 113.173 orang pekerja migran kembali ke Indonesia. Ada sepuluh negara penempatan dengan jumlah pekerja migran Indonesia terbesar 2020 yakni Hong Kong (53.206 orang), Taiwan (34.415 orang), Malaysia (14.630 orang), Singapura (4.474 orang), Arab Saudi (1.793 orang), Brunei Darussalam (1.202 orang), Polandia (798 orang), Jepang (749 orang), Korea Selatan (641 orang), dan Italia (411 orang). (BP2MI, 2022)

Tak hanya pada soal pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak juga para migran Indonesia yang menjadi korban calo kerja di luar negeri. Seperti yang terjadi pada kasus 29 Warga Negara Indonesia (WNI) asal Bali yang menjadi korban penipuan dan telantar di Istanbul, Turki. Kasus ini sudah ditangani Perwakilan RI di Turki sejak Februari 2022. Dari 29 WNI itu, 5 orang pulang ke Bali, 16 dievakuasi KJRI Istanbul dari penampungan ilegal ke penampungan sementara KJRI Istanbul, dan 8 lainnya tersebar dan bekerja ilegal di sejumlah kota di Turki. 

Berdasarkan informasi, ke-29 WNI itu dijanjikan bekerja di Turki dengan gaji besar secara legal dan diberikan tempat tinggal layak. Korban diminta membayar Rp.25 juta hingga Rp. 40 juta. Para korban diberangkatkan menggunakan visa turis. Setelah berbulan-bulan di Turki, mereka tak juga mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan, tidak diurus izin kerjanya, dan tinggal di penampungan ilegal dalam kondisi tidak layak.Sebagian besar sudah berstatus overstay dan tidak memiliki izin kerja.

            Sulitnya mencari pekerjaan ditengah masa pandemi jelas menjadi tantangan berat bagi migran Indonesia. Bahkan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan, hingga saat ini belum ada kepastian kapan pintu penempatan akan kembali dibuka ke negara -negara tujuan migran. Sampai saat ini, pemerinta

*Peneliti Sosial Jaringan Studi Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER