Oleh: Dr. Legisan Samtafsir
Kisruh minyak goreng adalah potret tak berdayanya negara. Itulah saat di mana negara tak lagi mampu melindungi kepentingan rakyatnya. Idealisme negara dikalahkan oleh kepentingan korporasi.
Idealisme negara adalah melayani kepentingan publik, sedangkan kepentingan korporasi adalah memaksimalkan profit (menaikkan harga dan menekan biaya). Dalam negara demokrasi, kedua kepentingan tersebut (kepentingan publik vs kepentingan korporasi) bertemu dan saling bersaing.
Kekuatan negara akan lemah ketika aktor-aktornya tersandera kepentingan korporasi (baca: kapitalisme). Akibatnya, rakyat menjadi korban; surplus ekonomi tersedot untuk melayani korporasi tanpa hambatan, yang seharusnya dikendalikan oleh negara. Itulah yang akhirnya menyebabkan ketimpangan, plus kemiskinan yang menimpa rakyat. Efek menetes dari kekayaan kapitalis (trickle down effect) kepada rakyat tak pernah terjadi karena negara sebagai kekuatan penyeimbangnya telah lemah tak berdaya.
Negara yang lemah tak akan mampu mengendalikan pasar, karena pasar telah sepenuhnya dikendalikan oleh korporasi (kapitalis). Rakyat pun akhirnya tak berdaya mengelak dari pasar, karena pasar telah sepenuhnya hegemonik dan memaksa rakyat untuk melayani kapitalis.
Jika keadaan itu terus berlangsung, sesuai hakikat logika kapitalisme, pada tingkat yang ekstrim, maka akan mengakibatkan terjadinya kisruh tatanan sosial; rakyat yang miskin dan tertindas itu akan memberontak dan melakukan perlawanan, yang dapat menyebabkan chaos.
Sesungguhnya keadaan seperti itulah yang paling dikhawatirkan dari kapitalisme; ketika negara dicengkeram oleh kapitalis; ketika kekuasaan negara bersekongkol dengan pemilik modal; ketika surplus ekonomi diekstraksi untuk kepentingan kapitalis; ketika kebebasan kapitalisme berujung pada tirani; ketika negara kalah, lemah tak berdaya.
Dalam keadaan seperti itu, sebetulnya negara sudah tidak berguna karena tak mampu melindungi dan melayani rakyatnya. Satu-satunya jalan untuk memperbaikinya adalah kehendak rakyat itu sendiri (people power). Logikanya, semakin rakyat menderita, semakin cepat terjadinya chaos dan semakin banyak pula menelan korban.
Namun di Indonesia saat ini sulit terjadinya people power seperti itu, karena penderitaan rakyat selalu diabsorb (ditampung) oleh kedermawanan umat Islam, yang gemar sedekah (daging qurban, bukber, zakat, infaq, shadaqah, wakaf, bagi nasi jumat barokah). Jutaan santunan diberikan oleh Umat Islam kepada rakyat miskin. Kedermawanan Umat Islam menyantuni rakyat miskin, akan memperkecil kemarahan rakyat; kebaikan hati umat Islam menjadi obat hati penderitaan rakyat.
Pastinya, ini adalah anomali logika kapitalisme. Maksud hati, kedermawanan itu ditujukan untuk menolong rakyat miskin yang menderita, tapi justru malah melanggengkan hegemoni kekuasaan kapitalisme yang rakus atas negara dan rakyat.
MONITOR, Jakarta - Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka Banten menggelar pertemuan silaturrahmi…
MONITOR, Batu - Direktur Pendidikan Tinggu Keagamaan Islam (Diktis) Ahmad Zaiunul Hamdi menekankan kepada jajarannya…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati mendorong agar pendidikan…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani melakukan pertemuan bilateral dengan Ketua Majelis Agung…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri perhelatan G20 Parliamentary Speaker's Summit (P20)…
MONITOR, Bogor - PT Pertamina (Persero) melalui Subholding PT Kilang Pertamina Internasional, bersama Kementerian Lingkungan…