MONITOR, Depok – Maraknya tindakan kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kota Depok seperti gunung es. Banyak kasus namun tidak diurus. Hal ini disampaikan Afifah Alia pada kegiatan sosialisasi perlindungan anak yang diselenggarakan belum lama ini di Kelurahan Pancoran Mas, Kota Depok.
“Salah satu yang menyebabkan hal ini adalah ketidak tahuan yang menyebabkan ketidakberanian korban dan keluarga untuk melapor,” kata Afifah dalam siaran persnya yang diterima MONITOR, Rabu (16/3/2022).
Afifah pun menyayangkan kasus-kasus kekerasan seksual berakhir damai di tingkatan lingkungan. Hal ini menurutnya lagi tidak memberikan keadilan pada korban dan juga tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
“Jika terjadi pada anak, korban harus ditangani agar kelak tidak berubah menjadi pelaku, dan pelaku kelak ketika dewasa tidak menjadi predator,” jelasnya.
Hal ini juga dikemukakan oleh Didiek, asisten deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Menurut Didiet, dari data yang dimiliki kementerian, Depok merupakan salah satu kota yang masuk sebagai lima besar tingkat kekerasan terbanyak se Jawa Barat. “Saya ngomong pake data ya, jadi Depok ini merupakan salah satu kota dengan tingkat kekerasan tinggi di Jawa Barat,” katanya.
Didiek menyayangkan kurangnya respon cepat dari instansi terkait jika ada kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak.
“Mekanismenya ada di daerah, melalui dinas kemudian unit pelayanan khusus. Baiknya memang instansi menerapkan sistem jemput bola, tidak hanya menunggu laporan masuk. Tidak ada yang kebal hukum, terlebih pada kasus kekerasan anak, dalam skema perlindungan anak,” ujarnya.
Didiek juga menyampaikan sistem peradilan perlindungan anak, jika pelaku dan korban masih anak-anak.
Bersama Afifah dan Didiek, hadir juga komunitas Paralegal Depok. Komunitas kecil yang menaruh perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan dan anak.