MONITOR, Jakarta – Pemerintah diingatkan akan menghadapi ancaman jurang fiskal dan ekonomi pada 2023 mendatang, karena pemerintah saat ini tidak memiliki uang, sementara jumlah utang, serta beban bunga utang terus meningkat.
“Jadi sebenarnya, ada benarnya juga apa kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa titik kritis dan paling berat adalah pada 2023. Tahun 2023 itu, jurang sangat berbahaya bagi fiskal kita,” kata Said Didu, Sekretaris BUMN 2015-2010 dalam Gelora Talk bertajuk ‘Polemik JHT, Kemana Dananya?’, Rabu (23/2/2022) petang.
Said Didu menegaskan, ancaman fiskal dan ekonomi pada 2023 bagi Indonesia sangat nyata. Ia menjelaskan, dalam Perppu No.1 Tahun 2020, pemerintah hanya diizinkan menaikkan fiskal 3 persen, tapi faktanya sampai 6 persen.
“Jika publik ingin paham, kalau defisit fiskal sesuai UU 3 persen, maka pemerintah boleh menambah utang Rp 500 triliun dari PDB, dimana PDB diperkirakan sekitar Rp 1.700-1.800. Tapi utang sekarang mencapai Rp 1000 triliun,” ujarnya.
Sementara pendapatan negara pada 2022 ini diperkirakan Rp 1.800-1.900 triliun. Artinya, uang masuk sekitar Rp 2.300- 2.400 triliun, maksimum Rp 2.500 triliun pada 2023. Sedangkan belanja sekarang sudah mencapai Rp 2.800-2900 triliun, jika ditambah anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), maka pengeluaran menjadi Rp 3.000 triliun.
“Artinya, pemerintah terpaksa belanja hanya Rp 2.500 triliun yang dibolehkan di 2023. Sementara pengeluaran untuk bunga dan utang saja, perkiraan saya Rp 900-1.000 triliun pada 2023. Berarti yang tersisa Rp 1.100-1.200 triliun. Untuk bayar gaji dan lain-lain Rp 800 triliun, untuk transfer ke daerah Rp 200 triliun total jadi Rp1.000 triliun. Jadi uang yang tersisa hanya Rp 200 triliun, sementara pemeliharaan jalan dan subsidi pupuk Rp 400 triliun,” ungkapnya.
Said Didu menduga soal kebijakan pengambilan dana Jaminan Hari Tua (JHT) pada usia 56 ada kaitannya dengan kondisi keuangan pemerintah tersebut, karena dana JHT ditempatkan di Surat Utang Negara (SUN).
“Kenapa 56 tahun, sepertinya BP Jamsostek membeli SUN yang periodenya panjang, karena kalau ditarik di depan pemerintah akan kewalahan,” katanya.
Perlu diketahui, kata Said Didu, SUN ini tidak laku dijual, tidak ada masyarakat dan asing yang membeli. SUN sebagian besar dibeli Bank Indonesia (BI) dan bank-bank Indonesia dengan nilai mencapai Rp 1.300. Hal ini sudah diingatkan International Monetary Fund (IMF) agar BI tidak membeli SUN di pasar domestik.
“Saya juga menduga betul, penggunaan BPJS Kesehatan untuk pengurusan macam-macam ada kesulitannya dengan dana pemerintah. Sebab, harus menyedot uang sebesar-besarnya yang ada di masyarakat agar menutupi kesulitan fiskal yang dihadapi,” tegasnya.
MONITOR, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tengah melaksanakan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil…
MONITOR, Nganjuk - Setelah mengunjungi Daerah Irigasi Siman di pagi hari, Menteri Pekerjaan Umum (PU)…
MONITOR, Jakarta - Timnas Futsal Putri Indonesia berhasil meraih kemenangan gemilang atas Myanmar dengan skor…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal memastikan berita dibukanya lowongan kerja Pendamping…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyambut terpilihnya calon pimpinan KPK dan…
MONITOR, Jakarta - Isu kemiskinan dan kelaparan menjadi isu yang sama-sama diserukan oleh Ketua DPR…