Minggu, 5 Mei, 2024

Potensi Kemaritiman sebagai Lokomotif Ekonomi Nasional

MONITOR, Jakarta – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Universitiy, Prof Rokhmin Dahuri membeberkan sejumlah potensi ekonomi maritim yang dimiliki Indonesia. Potensi tersebut sangat besar bahkan diyakini bisa menjadi lokomotif atau penggerak ekonomi nasional (prime mover) menuju Indonesia Emas 2045.

“Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020, mampu menciptakan lapangan kerja 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia,” katanya saat memberikan pembekalan seleksi Duta Maritim Indonesia oleh Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Indonesia (Aspeksindo) di Jakarta, Rabu (23/2/2022).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut mencatat pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya diatas 30 persen.

Adapun sejumlah potensi maritim yang dimiliki Indonesia tersebut antara lain meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Pariwisata Bahari, Transportasi Laut, Industri Jasa Maritim,  Sumber Daya Pulau-Pulau Kecil, Coastal Forestry, dan Sumber Daya Non-Konvensional.

- Advertisement -

Untuk sub sektor perikanan tangkap, Dewan Pakar Masyarakat Perikanan nusantara itu menyebut total potensi lestari sumberdaya ikan (SDI) Laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 80% atau 10,03 juta ton.

“Trend produksi perikanan tangkap Indonesia terus meningkat dibanding negara produsen utama lainnya dimana Indonesia menjadi negara produsen terbesar kedua setelah china dengan produksi 7.002.750 ton/tahun atau 8,59 persen dari total produksi dunia,” terangnya.

Indonesia juga memiliki potensi Perikanan Tangkap Perairan Umum Daratan dimana Hingga 2020, tingkat pemanfaatan potensi sumber daya ikan PUD baru 18,67%. “Produksi perikanan tangkap laut terbesar berasal dari wilayah Sumatera, disusul Kalimantan, dan Jawa. Indonesia berada diurutan ke-7 sebagai produsen terbesar perikanan tangkap PUD global,” ungkapnya.

Sementara itu untuk sub sektor Perikanan Budidaya. Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menyebut peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa dimana hingga 2020, produksi perikanan budidaya masih didominasi dari komoditas Rumput Laut (64,8%).

“Sejak 2009, Indonesia menjadi produsen akuakultur terbesar ke-2 di dunia setelah Tiongkok,” tegasnya.

Sedangkan untuk sub sektor Pengolahan Hasil Perikanan, Hingga tahun 2019, UPI didominasi usaha mikro-kecil dan terpusat di Jawa dimana pada periode 2017-2021, capaian volume produk olahan hasil perikanan terus meningkat, rata-rata 3,73% per tahun dan periode 2015-2020, angka konsumsi ikan nasional terus meningkat, rata-rata 6,5% per tahun.

“Ikan merupakan salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dengan kontribusi mencapai >50% dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi penduduk Indonesia,” ujarnya.

Dengan luas dan kekayaan lautnya, Indonesia juga memiliki potensi di Bioteknologi Kelautan yakni teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota laut untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan.

Adapun domain dari bioteknologi kelautan tersebut anatara lain Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kemudian Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul, Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar, dan Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi.

Potensi Maritim pada sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diantaranya adalah 70% produksi migas dari kawasan pesisir dan lautan dimana dari 60 cekungan potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 yang di daratan.

“Total potensi sebesar 7,4 miliar barel minyak bumi, Cadangan gas bumi sebesar 152,89 miliar barel. Potensi Shale gas di Indonesia  sekitar 574 TCF (8,66%) dari total cadangan dunia sebesar 6622 TCF,” tutur Rokhmin Dahuri.

Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan tersebut juga membeberkan potensi lainnya yakni di sektor pariwisata bahari dimana dengan 17.504 pulau, 99.149 km garis pantai, pantai dan laut yang indah, keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari terbesar di dunia (Mann, 1995; Allen, 2002).

“Namun hingga kini, kontribusi sektor pariwisata bahari bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa masih kecil. Padahal Thailand dengan 6.675 km garis pantai dan 35 pulau, meraup devisa dari pariwisata bahari hingga US$ 46,5 milyar pada 2015. Sementara Indonesia, hasil devisa sektor pariwisata bahari pada 2015 hanya US$ 9 milyar (World Tourism Council 2015),” jelasnya.

Sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kemaritiman Indonesia menurut Rokhmin Dahuri adalah pertama, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

“Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah,” katanya.

Kedua, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale) Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan,  alias miskin.

Ketiga, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. “Tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi,” ungkapnya.

Keempat, Investasi dan bisnis di sektor Kemaritiman yang besar, modern, dan menguntungkan, terutama ESDM, industri manufaktur, dan pariwisata bahari, dimiliki oleh pihak asing atau korporasi nasional yang rendah jiwa “nasionalisme” nya, sehingga ‘keuntungan usaha’ (economic rent) nya dibawa ke negara asalnya atau ke Jakarta. “Negara hanya mendapatkan nilai ekonomi yang rendah, dan masyarakat lokal tetap miskin,” tegasnya.

“Kecuali sektor Perikanan Tangkap, tingkat pemanfaatan (pembangunan) sektor-sektor ekonomi maritim masih rendah dan belum optimal. Akibatnya, kontribusi ekonomi maritim bagi perekonomian nasional, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa pun belum signifikan,” tambahnya.

Rokhmin Dahuri juga menyebut kesadaran dan komitmen para pemimpin dan elit politik bangsa (Menteri, DPR, Yudikatif, Kepala Daerah, dan CEO swasta) tentang nilai strategis kemaritiman bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa pada umumnya masih rendah. 

“Sebagian besar mereka tidak memiliki visi dan konsep terobosan (breakthrough) untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 berbasis kemaritiman, dan kebanyakan mereka terjebak dalam kepentingan pribadi, kelompoknya atau kepentingan transaksional lainnya, yang umumnya bersifat instan,” katanya.

Jika ekonomi maritim (kelautan) dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir (seperti diuraikan diatas), maka tandas Ketua DPP PDIP Bidang Kelautan dan Perikanan itu sektor-sektor ekonomi kelautan akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya Indonesia Emas (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER