Oleh: Diding S Anwar*
Tepat hari ini, 110 tahun yang lalu, AJB Bumiputera hadir di negeri ini. Perusahaan pribumi yang lahir berkat sumbangsing tiga guru yaitu M. Ng. Dwijosewojo, MKH Soebrooto, dan M Admidjojo dalam Kongres Persatuan Guru Hindia Belanda di Magelang pada 12 Februari 1912. Angka 1912 yang selalu disematkan pada belakang namanya, untuk menunjukan tahun kelahirannya.
Ketiga orang tersebut dikemudian hari dikenal sebagai tiga serangkai pendiri Bumiputera, sekaligus peletak batu pertama pondasi industri asuransi nasional Indonesia. Entah apa jadinya, dunia asuransi saat ini bila tidak ada pernah lahir Bumiputera. Awal berdiri, Bernama Onderlinge Levensverzekering Maatschappij PGHB (O.L.Mij.PGHB). Setahun kemudian berubah menjadi O.L.Mij. Boemi Poetra.
Setelah berperan selama 110 tahun dan dari rahimnya melahirkan tokoh-tokoh publik yang tidak hanya berperan dalam industri asuransi namun ekonomi Indonesia secara makro, sebut saja: Dr Soekiman Wirjosandjojo (Perdana Menteri RI, 1951-1952); Notohamiprojo (Menteri Keuangan RI, 1959), RM Soemanang (Direktur Eksekutif IMF, 1962), Sutjipto S. Amidharmo, yang menjadi satu-satunya Menteri Urusan Perasuransian (1965).
Kini, nasib AJB Bumiputera 1912 tengah berada dalam pusaran tantangan yang begitu besar. Sebuah tantangan yang tidak pernah dihadapi pada masa-masa sebelumnya. Di dalam sengkarut yang tengah dialami. Bila diperhatikan secara seksama, paling tidak mencakup ada 3 (tiga) dimensi waktu yang perlu diperhatikan dalam persoalan AJB Bumiputera 1912.
Pertama, masa lalu. Berupa aksi-aksi korporasi dan turunannya. Pada dimensi ini, merupakan ranah auditor dan aparat penegak hukum (APH) yang mendapatkan porsi ruang paling luas. Apakah akan menggunakan pendekatan forensik dan investigative untuk menelaah aksi korporasi yang pernah dilakukan. Semuanya dikembalikan kepada pihak auditor dan APH.
Kedua, saat ini. Dimana dalam manajemen sedang terjadi vacuum of power. Terkait persoalan ini, OJK sebagai regulatorlah yang memiliki kewenangan. Apakah dengan kembali menetapkan Pengelola Statuter yang baru atau mungkin menawarkan strategi yang lain yang lebih jitu dan cespleng.
Ketiga, berhubungan dengan dimensi masa depan, yang sekaligus menentukan eksistensi AJB Bumiputera 1912 di kemudian hari. Bentuknya, kembali aksi korporasi. Namun harus berbeda dengan aksi koprorasi yang terbukti tidak berhasil bahkan tambah masalah. Jangan sampai terulang terjerembab ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Nah, dari 3 dimensi waktu terkait persoalan AJB Bumiputera 1912. Ada 3 alternatif solusi yang hendak penulis tawarkan. Pertama, setiap keputusan atau kebijakan yang hendak dikeluarkan semestinya mengacu kepada regulasi yang berlaku harus benar-benar dipatuhi, dijalankan, dan dijadikan pedoman. Bukan hanya mempertimbangkan aspek politik apalagi kepentingan sesaat saja.
Kemudian yang kedua terkait dengan legal standing, harus sesuai runutan dan kaidah yang baik dan benar. Kemudian yang terakhir, hentikan eksploitasi keadaan, apalagi mencari celah untuk memanfaatkan situasi untuk kepentingan sesaat. Lakukan yang seharusnya dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku, dan dilakukan secara terukut. Bukan sekedar yang penting melakukan tanpa ada evaluasi apakah yang sudah dijalankan itu menuju kebaikan atau malah mengarahkan kepada keburukan bagi lembaga.
Alat ukur diperlukan untuk menghindari kemubaziran. Jangan sampai lagi waktu yang berlalu, biaya yang dikeluarkan dan tenaga serta pikiran yang terkuras, tidak menghasilkan apa-apa. Kalau pun ada hasilnya, masih ‘tekor’. Jangan sampai kejadian seperti itu terjadi lagi mulai saat ini dan yang akan datang. Ketika solusi apapun yang ditawarkan harus bersama alat ukur yang jelas.
Skala Prioritas
Terlepas dari kondisi yang masih belum ketemu titik terang yang sedang menimpa AJB Bumiputera 1912. Sebagai regulator, banyak yang berharap pada DK OJK periode kedua ini bisa memberikan solusi terbaik.
Solusi yang tidak melukai siapapun terutama stakeholders (pemegang polis) AJBB 1912 yang sudah bertahun-tahun sabar menanti. Terutama solusi yang tidak menghilangkan identitas AJBB 1912 sebagai perusahaan mutual satu-satunya yang harus menjadi kebanggan bangsa Indonesia hingga berabad-abad kemudian.
Paling tidak sebelum masa tugas berakhir pada pertengahan tahun ini, OJK menawarkan terobosan yang memberikan kesan manis. Bila menggunakan istilah agama, berakhir dengan husnul khotimah. Mumpung masih ada sisa waktu.
Sambil menunggu terobosan dimenit-menit terakhir OJK periode kedua, ada beberapa skala prioritas yang bisa diterapkan manajemen saat ini. Pertama, menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (GCG/Good Corporate Governance). Dengan mengutamakan pelayanan prima sepenuh hati demi masyarakat pemegang polis.
Kedua, merealisasikan Payung Hukum Undang-undang mengenai UBER (Usaha Bersama). Ketiga, menjadikan 2 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perintah membuat UU Usaha Bersama sesuai waktu yang ditetapkan sebagai pedoman.
Keempat melakukan kolaborasi pentahelix lintas generasi dan posisi (akademisi, pebisnis, pemertintahan dan komuniats. Kemudian terakhir, lakukan restorasi usaha Bersama (mutual) dengan mengembalikan pengertian uber kepada prinisp mutual yang universal.
Poin-poin di atas hanyalah tawaran skala prioritas, untuk manajemen saat ini. Paling tidak bisa dijadikan pertimbangan ketika berselancar di atas gelombang yang entah kapan akan mulai menepi di tepian.
Sebagai bagian dari bentuk kepedulian terhadap asset bangsa yang tengah dirundung duka. Gelombang apapun yang terjadi saat ini, seluruh stakeholders (pemegang polis) masih tetap berhak menyambut hari ini dengan gembira dan suka cita. Semoga dengan rasa itu, memberikan suntikan energi baru untuk menyongsong masa depan yang jauh lebih baik. Dirgahayu Ke-110 AJB Bumiputera 1912! Insya Allah, mentari esok akan terus bersinar.
*Penulis merupakan Pengamat Industri Asuransi dan Penjaminan