Sabtu, 27 April, 2024

Dilema Batubara dan Urgensi Energi Baru

Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*

Harga batubara kembali naik pada awal 2022 ini. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batubara kontrak pengiriman Maret 2022 di ICE Newcastle di level US$ 200 per ton, naik 0,76% dari hari sebelumnya. Ini artinya secara year to date harga emas hitam ini naik 43,37%. Kenaikan harga batubara kembali terjadi lantaran kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor. Belum semua perusahaan boleh kembali melakukan ekspor.

Pemerintah memang telah memastikan jika ekspor batubara mulai dibuka bertahap pada 12 Januari 2022. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut jika saat ini pasokan batubara untuk pembangkit listrik dalam negeri mencapai 15 hari operasi menuju 25 hari operasi. Dengan demikian, kedepan akan ada beberapa kapal yang diverifikasi dan pembukaan akan segera dilakukan bertahap. Adanya pengumuman ini sekaligus menyelesaikan polemik besar
atas kebijakn larangan ekspor batubara.

Sebelumnya, pihak Kementeriaan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan bahwa ekspor batubara dihentikan selama sebulan pada periode 1 Januari 2022 sampai 31 Januari 2022. Kebijakan ini diambil pemerintah seiring dengan menipisnya pasokan batubara pada 17 pembangkit listrik tenaga uang (PLTU) baik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun Independent Power Producer (IPP).

- Advertisement -

Larangan ekspor batubara tertuang melalui surat Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 dan diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba).

Keputusan larangan ekspor batubara ini langsung ditujukan kepada pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta perusahaan pemegang izin pengangkutan dan penjualan batubara. Surat ini dikeluarkan sehubungan surat Direktur Utama PLN (Persero) tanggal 31 Desember 2021 perihal krisis pasokan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLN dan Independen Power Producer (IPP).

Ditegaskan pula dalam surat yang dalam pokok intinya menyampaikan kondisi terkini dari pasokan batubara saat ini kritis dan ketersediaan batubara sangatlah rendah. Karena itu kebijakan larangan ekspor batubara ini terpaksa dilakukan untuk menjamin stok pasokan batubara guna kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri. Sasaran kebijakan ini adalah pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP)
atau IUP khusus (IUPK) produksi dan kelanjutan operasi serta PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara).

Awalnya pemerintah telah mengingatkan para eksportir batubara untuk memenuhi pasokan batubara ke PLN. Namun, realisasi itu masih dibawah kewajiban persentase penjualan batubara untuk kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan batubara bagi PLN akhir 2021 terakumulasi defisit, yaitu seharusnya per 1 Januari 2022 tersedia 5,1 juta metrik ton ternyata baru terealisasi 35 ribu metrik ton (kurang
dari 1 persen). Kondisi ini jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan tiap PLTU nasional.

Berangkat dari alasan itulah, pemerintah Indonesia sejatinya mewajibkan terjadinya pemenuhan batubara untuk kebutuhan dalam negeri minimal 25 persen dari rencana produksi yang disetujui dengan harga jual USD 70 per metrik ton. Berdasar pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi dapat mengekspor batu bara yang diproduksi setelah kebutuhan
batu bara dalam negeri terpenuhi.

Konsekuensi Kebijakan

Dampak besar terjadinya larangan ekspor batubara adalah kerugian pihak eksportir dan berkurangnya devisa negara yang menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) sekitar USD 3 miliar per bulan. Citra Indonesia juga buruk di mata investor karena pemerintah dianggap kurang mampu mengantisipasi pasokan batu bara di dalam negeri.

Salah satu keluhan eksportir adalah produk yang seharusnya bisa dijual di pasar global (USD 150–170 per metrik ton) harus dijual seharga USD 70 per metrik ton di dalam negeri. Hal ini jelas sangat merugikan.

Disisi lain dari kestabilan tata kelola, adanya larangan ekspor batubara ke luar negeri akan membuat volume produksi batu bara nasional akan terganggu sebesar 38-40 juta MT per bulan. Pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar kurang lebih US$ 3 milyar per bulan. Pemerintah kehilangan pendapatan pajak dan non pajak (royalti) yang mana hal ini berdampak kepada kehilangan penerimaan pemerintah daerah.

Begitu pula dengan arus kas produsen batu bara akan terganggu karena tidak dapat menjual batubara ekspor. Kapal-kapal tujuan ekspor, hampir semuanya adalah kapal yang dioperasikan atau dimiliki oleh perusahaan negara-negara tujuan ekspor. Kapal tersebut tak akan dapat berlayar menyusul penerapan kebijakan pelarangan penjualan ke luar negeri ini perusahaan terkena biaya tambahan perusahaan pelayaran terhadap penambahan waktu pemakaian (demurrage) besar (US$20,000 – US$ 40,000 per hari per kapal) yang membebani perusahaan pengekspor yang akan berdampak terhadap penerimaan negara.

Kapal yang berlayar ke perairan Indonesia juga mengalami ketidakpastian dan ini berakibat pada reputasi dan citra Indonesia selama ini sebagai pemasok batubara dunia karena tak mengirimkan batubara ekspor kepada pembeli yang sudah berkontrak sehingga nantinya akan timbul banyak sengketa penjual dan pembeli batubara. Hal yang tak kalah merugikan adalah lahirnya ketidakpastian usaha sehingga ini berpotensi menurunkan minat investasi pertambangan mineral dan
batubara.

Banyak kalangan pengusaha yang menilai jika keputusan pemerintah untuk melarang aktivitas ekspor batubara ini sebagai kebijakan yang tergesa-gesa dan sepihak. Apalagi saat ini pemerintah Indonesia sedang berupaya untuk memulihkan roda perekonomian nasional yang limbung dihantam pandemi Covid-19.

Dalam posisi ini, Pemerintah Indonesia harusnya memulihkan perekonomian nasional ini tidak sendirian, tapi bersama-sama dengan pelaku usaha, termasuk aktivitas ekspor batubara yang selama ini faktualnya menjadi penyumbang terbesar dari devisa negara.

Terkait klaim langkanya pasokan batubara dalam negeri, tidak semua PLTU grup PLN termasuk IPP mengalami kondisi kritis persediaan batubara. Selain itu pasokan batubara ke masing-masing PLTU, baik yang ada di bawah manajemen operasi PLN maupun IPP, sangat bergantung pada kontrak-kontrak penjualan atau pasokan batubara antara PLN dan IPP dengan masing-masing perusahaan pemasok.

Perusahaan pemasok batubara di Indonesia sesungguhnya telah banyak berupaya maksimal memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% yang sebagaimana diatur Kepmen 139/2021, bahkan telah memasok lebih dari kewajiban penjualan batubara ke domestik (DMO) tersebut sesuai harga untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP.

Dalam rasional ini, harapannya pemerintah Indonesia dapat berpikir secara jernih untuk melihat dan juga menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan larangan sepihak kepada seluruh perusahaan batubara.

Tantangan Keseimbangan

Larangan ekspor ke luar negeri jelas telah membuat banyak perusahaan pemasok batubara ke pasar global kehilangan pendapatannya. Konsumen batubara yang selama ini menjadi pembeli batubara seperti negara Tiongkok, India, Filipina, Jepang, dan Malaysia, Korea Selatan, Vietnam, dan Taiwan jelas merasakan dampak besar akibat larangan ekspor. Padahal lebih dari 80% produksi batubara Indonesia
dipergunakan untuk kebutuhan ekspor.

Adanya polemik larangan Ini dapat saja menempatkan industri batubara Indonesia pada posisi yang rentan terhadap perkembangan dinamika global batubara. Karena bisa saja negara dunia beramai – ramai mencabut kontrak kerjasamanya dengan
negara Indonesia. Ketergantungan yang amat besar kepada batubara untuk memasok energi Indonesia masa kini dan masa depan idealnya harus memberi jalan yang menguntungkan rantai distribusi dan pasokan ketahanan energi. Termasuk kepentingan pemerintah untuk membuat sumber daya energi yang mudah terbarukan.

Besarnya aktivitas pertambangan jelas akan memberi dampak kenaikan suhu global bumi yang menyebabkan perubahan iklim dan juga polusi udara setempat. Dalam data riset Asia Development Bank (ADB), emisi Indonesia dari sektor energi meningkat tiga kali lipat dari 168 juta ton CO2e menjadi 498 ton CO2e pada 2030. (ADB, 2018).

Seiring waktu yang terus berjalan, sudah sepatutnya pemerintah Indonesia memberikan inovasi yang efektif dalam membangun sumber daya energi terbarukan yang  sangat rendah karbon sebagai pengganti sumber daya energi berbasis fosil. Nalar seperti ini dirasa menjadi sangat penting untuk diperhatikan pemerintah demi mencapai target besar kepentingan ekonomi bisnis maupun keselamatan lingkungan nasional.

*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER