MONITOR, Jakarta – Kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat Garuda jenis ATR 72-600 akan dinaikan statusnya ke tingkat penyidikan dalam waktu dekat.
Kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia terjadi pada 2013 sejak kepemimpinan Direktur Utama (Dirut) Emirsyah Satar (ES) kini tengah diselidiki tim jaksa penyidik tindak pidana khusus (pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung Febrie Adriansyah meminta Direktur Penyidikan (Dirdik) untuk melakukan ekspose besar untuk menaikan statusnya ke penyidikan terkait dugaan korupsi penyewaan pesawat jenis ATR 72-600 di PT Garuda Indonesia.
Ekspose tersebut direncanakan akan digelar pekan depan, karena menjadi atensi Jaksa Agung dan Jampidsus.
“Mengenai Garuda, tadi sudah saya minta ekspose di Pak Direktur Penyidikan. Itu minggu depan ke ekspose besar khusus Garuda,” kata Febrie saat ditemui di gedung bundar Kejagung, Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Lebih lanjut dikatakan Febrie, ekspose atau gelar perkara tersebut untuk membahas status perkara, apakah langsung dinaikan ke penyidikan atau perlu mencari alat bukti atau barang bukti yang lain.
“Yang jelas usulan naik penyidikan, cuman kan kita bahas dulu. Kita lihat nanti, apa alat bukti sudah cukup, apa masih perlu pendalaman,” ucap Febrie.
“Tapi lagi dibahas sih di tingkat direktur penyidikan,” tambah mantan Kepala Kejati DKI Jakarta.
Febrie menegaskan kasus dugaan korupsi terjadi saat mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia dipimpin Emirsyah Satar.
“Iya Emirsyah Satar (ES) yang sudah diperiksa tim penyidik pidsus Kejagung,” tuturnya.
Sebelumnya diketahui, tim jaksa penyidik Pidsus Kejagung menduga ada mark up dalam penyewaan pesawat yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk sejak 2013 hingga sampai saat ini.
Saat ini Kejagung tengah melakukan penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyewaan pesawat oleh Garuda Indonesia. Hal tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021 tanggal 15 November 2021.
“Dalam pengelolaan keuangan PT Garuda Indonesia ada mark up penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis, Selasa (11/1/2022).
Adapun konstruksi kasusnya, hasil penyelidikan sementara bahwa berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 pesawat yang dilakukan PT Garuda Indonesia.
Penambahan pesawat itu, kata dia, dilakukan baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Leonard menjelaskan, sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan lessor agreement.
“Di mana pihak ketiga akan menyediakan dana dan Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor melalui skema pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi,” ujarnya.
Selanjutnya, lanjut Leonard, atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat, yakni ATR 72-600 sebanyak 50 unit dengan rincian pembelian 5 unit dan penyewaan 45 unit.
Kemudian pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat yang terdiri atas pembelian 6 unit dan penyewaan 8 unit.