Sabtu, 27 April, 2024

Penyiaran (Belum) Ramah Anak

Oleh: Firdaus Abdullah*

Dalam Undang-undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran, menyebutkan bahwa anak yang terdiri atas anak-anak dan remaja dimasukkan sebagai kategori khalayak khusus. Kekhususan ini dimaknai sebagai semangat untuk melindungi serta pemenuhan hak anak.

Sebagaimana semangatnya disebutkan dalam pasal 36 ayat 3 UU Penyiaran “Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara ada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran”. Hal ini membuktikan bahwa UU Penyiaran mengamanatkan kepada media penyiaran dalam membuat program siaran wajib memperhatikan aspek perlindungan anak dan tontonan yang layak untuk anak.

Memperoleh informasi, pendidikan, serta hiburan yang sehat dalam bentuk siaran merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh Negara dalam Undang Undang, hak ini berlaku termasuk kepada anak-anak. Hak yang dimaksud adalah mendapatkan siaran yang aman, mendidik sekaligus menghibur, akan tetapi hak yang dimaksud belum banyak ditemukan dilayar televisi. Hal ini dikarenakan tayangan televisi kini didominasi program siaran untuk kategori dewasa. Bahkan tidak sedikit anak-anak ikut menonton tontonan dewasa tersebut.

- Advertisement -

Belakangan ini, anak-anak Indonesia justru banyak disuguhkan tayangan yang tidak layak dikonsumsi bagi usia mereka. Sebab hal tersebut dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Dalam catatan penulis, sebagian besar hasil pantauan justru masih ditemukan pelanggaran konten siaran terkait dengan perlindungan anak.

Adapun bentuknya berupa kekerasan, perlakuan tidak pantas, seksualitas, bullying, pelanggaran norma kesopanan dan kesusilaan, serta masih ditemukannya keterlibatan anak dalam program siaran dewasa. Hingga kini, permasalahan program siaran yang tidak layak ditonton oleh anak-anak masih sering terjadi.

Media tentu berperan membentuk perilaku anak-anak yang cenderung meniru apa yang dilihatnya. Dalam aktivitas menonton, anak akan cenderung bersifat pasif dan tidak kritis, akibatnya semua yang disaksikan dianggap nyata dan wajar. Anak pun sulit membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang patut ditiru dan mana yang sebaiknya diabaikan (Rusdin Tompo, 2007).

Dalam perkembangan digitalisasi penyiaraan saat ini, sangat diharapkan kepedulian dan perhatian lembaga penyiaran agar konten siaran yang positif dan berspektif perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak. Sejumlah peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak terhadap media penyiaran, mulai dari UU Perlindungan anak, UU Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaraan, dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Di dalam penyiaran, salah satu bentuk upaya perlindungan anak yang diatur dalam P3- SPS, yang pengaturannya berkenaan dengan ketentuan perlindungan kepada anak, siaran lingkungan pendidikan, pelarangan atas program seksualitas, kekerasan, mistik horor dan supranatural, program jurnalistik yang bermuatan kekerasan, eksploitasi, hingga anak sebagai narasumber peliputan berita bencana dan masalah perceraian orang tuanya.

Media penyiaran juga wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai isi konten atau program siaran meliputi klasifikasi prasekolah (P); siaran untuk anak-anak usia pra-sekolah berusia 2-6 tahun waktu tayang antara pukul 07.00-09.00 dan antara pukul 15.00-18.00, klasifikasi anak-anak (A); siaran untuk anak-anak usia 7-12 tahun waktu tayang pukul 05.00-18.00, klasifikasi remaja (R); siaran untuk remaja usia 13-17 tahun waktu tayang 05.00-22.00, klasifikasi dewasa (D); siaran untuk dewasa usia diatas 18 tahun waktu tayang 22.00-03.00, dan klasifikasi semua umur (SU); siaran untuk berusia diatas 2 tahun.

Namun belakangan ini, program anak justru semakin minim dan tergantikan oleh program siaran hiburan remaja dan dewasa. Tayangan yang dinikmati oleh anak-anak mutlak mengandung nilai edukasi. Ini telah ditegaskan dalam UU Perlindungan anak tentang hak anak dalam media, menyatakan media berperan melakukan penyebarluasan informasi dan materi edukasi bermanfaat dari aspek budaya, sosial, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak, siaran sebagai sarana pendidikan anak. Kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun memberi dampak psikis yang dapat menghambat tumbuh kembang mereka. Karena itulah, insan penyiaran wajib berperan dalam mengedepankan kepentingan anak demi masa depan yang cemerlang.

Media penyiaran sejatinya dapat kembali ke fungsinya sebagai media edukasi, informasi, hiburan yang sehat dan perekat sosial serta menunjang pembangunan nasional guna terbinanya jati diri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum yang salah satu indikatornya tercapainya fungsinya adalah program siaran perlindungan anak. Media penyiaran dalam menciptakan konten siaran ramah anak tidak hanya banyaknya dari sisi kuantitas saja, akan tetapi dari kualitasnya juga harus ditingkatkan. Agar supaya nantinya ketika anak-anak menonton tidak hanya terhibur, tetapi juga mendapatkan edukasi.

*Penulis merupakan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Barat, dan Pendiri / Dewan Pembina Forum Masyarakat Peduli Media (FMPM)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER