Jumat, 22 November, 2024

Imam Besar Istiqlal: Budaya Misoginis Bukan Ajaran Agama

MONITOR, Jakarta – Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, menyatakan kekerasan tidak hanya terjadi kepada perempuan, namun juga kepada laki-laki. Akan tetapi, ia mengakui perempuan justru lebih rentan mengalaminya.

Nasaruddin mengingatkan masyarakat maupun pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada akibat dari kekerasan gender, namun juga fokus pada apa yang menjadi penyebab dari meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan.

Jika dilihat dari sudut pandang agama Islam, kata Nasaruddin, sejatinya yang menjadi permasalahan bukanlah apa yang terdapat dalam ajaran agama tersebut, melainkan cara pandang atau pemahaman masyarakat terhadap ajaran suatu agama.

“Sama halnya dengan kitab suci Al-Quran, yang menjadi permasalahan bukanlah ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran namun penafsiran masyarakat terhadap ayat Al-Quran,” terang Nasaruddin Umar dalam sebuah diskusi yang digelar Komnas Perempuan, belum lama ini.

- Advertisement -

“Kita bisa melihat apa yang telah dialami Indonesia sekitar tahun 1970. Indonesia pernah menjadi penyumbang terbesar terhadap kematian pada bayi. Faktor penyebabnya adalah tradisi masyarakat kepada bayi yang baru lahir tersebut untuk memakan sesuatu yang telah dikunyahkan oleh salah satu ulama ataupun tokoh masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya budaya semacam ini dianggap sesuai atau menjadi bagian dari ajaran suatu agama. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, kata dia, makanan tersebut banyak mengandung bakteri yang membahayakan bayi. Ia menjelaskan penafsiran yang salah terhadap ajaran-ajaran agama inilah yang menjadi akar permasalahan hingga saat ini. Konstruksi sosial memang kerapkali keliru dalam menafsirkan suatu tindakan terutama kepada perempuan.

Lebih jauh ia menegaskan budaya misoginis yang terjadi di masyarakat Timur Tengah menjadi tolak ukur bagi masyarakat lain untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama yang mewujudkan bias gender terhadap perempuan. Padahal sejatinya, kata dia, budaya yang dibuat oleh masyarakat bukanlah bagian dari ajaran suatu agama.

“Karena penafsiran apapun jika menghasilkan kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditolerir dalam sebuah ajaran agama. Sehingga diperlukan edukasi yang konsisten bagi masyarakat untuk merubah stigma ataupun budaya ketidaksetaraan gender,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER