Jumat, 29 Maret, 2024

Guru Besar IPB ingatkan Peran Indonesia ajak Negara G20 terapkan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

MONITOR – Indonesia harus mampu mengatasi tantangan yang muncul dalam mewujudkan komitmen pembangunan berkelanjutan, salah satunya terkait dengan peran yang dimiliki sebagai presidensi G-20 untuk mengajak negara-negara di kawasan Asia Pasifik menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Hal tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof DR Rokhmin Dahuri Msi saat menjadi pembicara kunci atau keynote speech pada acara “International Webinar On Enviromental Management and Sustainable Development” yang diigelar secara daring oleh Universitas Halu Uleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (29/11/2021).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut mengatakan dari perspektif Pembangunan Berkelanjutan, Indonesia berada di persimpangan jalan. Dimana pada satu sisi, bangsa Indonesia memiliki kewajiban moral untuk mengintensifkan pembangunan ekonomi, dan meningkatkan tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengangguran, mengentaskan kemiskinan, dan untuk keluar dari ‘perangkap pendapatan menengah’ ke menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat paling lambat tahun 2045.

Sementara pada sisi lain, beberapa wilayah negara (Kabupaten, Kota, dan Provinsi) dihadapkan pada pencemaran, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan lainnya pada tingkat yang sudah melebihi daya dukungnya (bio-kapasitas). Hal ini terutama terjadi di sepanjang Pantai Utara Jawa, Medan, Batam, Bali bagian Selatan, dan Pantai Selatan Sulawesi.

- Advertisement -

“Jadi, tantangannya kemudian bagaimana bangsa Indonesia mengembangkan ekonominya dan memanfaatkan sumber daya alam dan jasa lingkungan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 7% per tahun) yang inklusif dan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan dan mengeluarkan Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, dan NOx) lebih besar dari yang telah disepakati pada Konferensi Iklim Dunia COP-26 di Glasgow, Skotlandia pada tanggal 31 Oktober – 12 November 2021,” ujarnya.

Ketika Indonesia mampu mengatasi tantangan seperti itu; dan menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat; maka peran Indonesia dalam mewujudkan Kawasan Asia Pasifik yang lebih baik dan berkelanjutan akan semakin efektif dan berhasil.

“Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di Bumi dengan 75% dari total wilayahnya ditutupi oleh laut dan samudera; 17.504 pulau; dan garis pantai sepanjang 101.000 km (Kemenko Maritim, 2019). Negara ini juga dikaruniai sumber daya alam yang beragam dan kaya: hutan, perikanan, keanekaragaman hayati, minyak dan gas, batu bara, mineral, bahan tambang, dan kawasan wisata alam Ini berarti kapasitas produksi (penawaran) komoditas, produk, dan jasa yang dibutuhkan sangat besar. oleh manusia,” terang Prof Rokhmin.

Sayangnya, menurut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara berpenghasilan menengah ke bawah dengan GNI (Pendapatan Nasional Bruto) per kapita US$ 3.870 (Bank Dunia, 2021). Indonesia juga menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi (10,5%) dan pengangguran (7,5%), 30% anak-anaknya mengalami stunting atau malnutrisi, ketimpangan ekonomi yang tinggi (kaya vs miskin), pembangunan daerah yang tidak merata, dan pertumbuhan ekonomi yang rendah (pertumbuhan ekonomi yang rendah). rata-rata < 7% per tahun) (BPS, 2021).

Tantangan Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Menurut Prof Rokhmin, ancaman (permasalahan) terhadap kelestarian ekosistem alam dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tingkatan: (1) fenomena (gejala), dan (2) akar penyebab gejala tersebut.

Adapun alasan utama mengapa upaya untuk mengatasi polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, Pemanasan Global, dan degradasi lingkungan lainnya serta untuk mempertahankan ekosistem dan sumber daya alam sejauh ini belum berhasil jelas Prof Rokhmin adalah karena sebagian besar kebijakan, program, dan tindakan sebagian besar ditujukan pada gejala masalah (sisi penawaran atau sisi ekosistem alam), bukan akar penyebabnya (sisi permintaan atau sisi manusia).

“Gejala Ancaman Terhadap Kelestarian Ekosistem dan Sumber Daya Alam itu meliputi Pencemaran tanah, air bawah tanah, dan ekosistem air tawar dan laut. Meningkatnya emisi GRK (CO2, CH4, dan NOx) dan polutan udara lainnya yang memperburuk kualitas udara dan menyebabkan Pemanasan Global,” jelasnya.

“Selain itu eksploitasi berlebihan sumber daya terbarukan: perikanan, terumbu karang, padang lamun, bakau, hutan, dan lahan pertanian. Eksploitasi sumber daya tak terbarukan yang tidak ramah lingkungan: minyak, gas, batu bara, mineral, bahan tambang, dan lain-lain,” jelasnya.

Gejala lainnya adalah konversi berlebihan ekosistem alam (misalnya hutan terestrial, bakau, muara, dan terumbu karang) menjadi ekosistem buatan manusia (misalnya kawasan industri, pertanian, akuakultur, pemukiman manusia, dan infrastruktur), Kehilangan keanekaragaman hayati, Perubahan Iklim Global (Pemanasan). Bencana alam: tsunami, banjir, letusan gunung berapi, angin topan, dll, Konflik pemanfaatan ruang, dan Pengangguran serta kemiskinan

Akar Penyebab

Akar Penyebab Ancaman terhadap Kelestarian Ekosistem dan Sumber Daya Alam yang paling utama tegas Dosen Kehormatan Mokpo National University itu adalah gaya hidup yang rakus, konsumtif, dan hedonis; dan peningkatan populasi dunia sehingga mengakibatkan permintaan manusia yang semakin meningkat akan sumber daya alam dan jasa lingkungan. Sementara itu, daya dukung ekosistem alam (Planet Bumi) untuk mendukung kehidupan manusia dan permintaannya yang meningkat akan sumber daya alam dan jasa lingkungan terbatas.

“Situasi ini telah menyebabkan konversi besar-besaran ekosistem alam menjadi ekosistem buatan; deforestasi; penangkapan ikan yang berlebihan; polusi; hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global. Semua kerusakan lingkungan ini telah membuat Planet Bumi kita menjadi kurang layak huni, dan mengancam tidak hanya keberlanjutan ekosistem alam tetapi juga peradaban manusia,” katanya.

Sementara itu, lanjut Prof Rokhmin pengangguran dan kemiskinan, tanpa mata pencaharian alternatif, telah memaksa banyak orang miskin atau membutuhkan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan jasa lingkungan dengan praktik (teknologi) yang merusak lingkungan.

“Kurangnya kesadaran para pemimpin dan pejabat pemerintah, anggota parlemen, CEO, dan masyarakat (rakyat) tentang peran penting dan strategis ekosistem dan sumber daya alam bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia yang berkelanjutan juga menambah akar masalah penyebab kerusakan lingkungan dan ekosistem,” tambahnya.

Faktor lainnya adalah kegagalan pasar, seperti: (1) Analisis Biaya-Manfaat dalam menilai kelayakan proyek atau program pembangunan tidak memasukkan kerusakan lingkungan dalam aliran biaya, (2) nilai ekonomi ekosistem alam di sebagian besar program pembangunan hanya mencakup Direct- Nilai Pakai, bukan nilai sebenarnya (total), dan (3) perhitungan PDB tidak memperhitungkan nilai dan kerugian lingkungan Akibatnya, ekosistem alam dan keanekaragaman hayati mudah dieksploitasi secara berlebihan dan diubah menjadi ekosistem buatan manusia.

“Kegagalan tata kelola dan kelembagaan dalm hal ini pertama, Key Performance Indicators (KPI) Kepala Negara (Presiden), Gubernur, Bupati, dan Walikota dimana sebagian besar (> 80%) hanya berorientasi dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, sementara hanya 20% yang berorientasi pada keanekaragaman hayati dan lingkungan keberlanjutan; Kedua, ego-sektoral; dan ketiga, kurangnya integrasi dan koordinasi,” tegas Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman itu.

Peran Indonesia untuk Kawasan Asia-Pasifik

Sampai saat ini, status pembangunan (tingkat kapasitas dan kemakmuran teknologi) di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik (ekonomi 21 anggota APEC dan Negara-negara Berkembang Pulau Kecil) sangat heterogen. Kelompok pertama (Negara Berpenghasilan Tinggi atau makmur): Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Republik Korea, Singapura, Australia, Selandia Baru, Brunei Darussalam, dan Rusia. Kelompok Kedua (Negara Berpenghasilan Menengah Atas): Malaysia, Chili, Cina, Meksiko, Peru, Thailand, dan lain-lain. Kelompok Ketiga (Negara Berpenghasilan Menengah Bawah): Indonesia, Vietnam, Filipina, dan lain-lain. Kelompok keempat (Negara Miskin): beberapa SIDS di Samudra Pasifik: Fiji, Palau, Samoa, Vanuatu, dan lain-lain.

“Dengan demikian, setiap kelompok negara memerlukan kebijakan dan program yang berbeda untuk membangun Kawasan Asia Pasifik yang Lebih Baik dan Berkelanjutan,” katanya.

Adapun peran Indonesia dalam menjaga ekosistem keanekaragaman hayati dan komitmen pembangunan berkelanjutan untuk wilayah Asia-Pasifik antara lain: Pertama, memaksimalkan peran dalam isu pengamanan sumber daya alam di laut dari praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing bekerja sama dengan China, Thailand, dan Vietnam serta negara lain sesuai kebutuhan.

Kedua, memaksimalkan peran Indonesia sebagai Presidensi G-20 tahun ini untuk mengajak semua negara di kawasan Asia Pasifik untuk menerapkan prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan di negaranya masing-masing, dan untuk meningkatkan pengurangan emisi GRK (CO2, CH4, dan NOx) serta menyerukan pembangunan negara-negara untuk memberikan hibah keuangan dan transfer teknologi mereka untuk menghentikan Pemanasan Global sebagaimana disepakati pada pertemuan COP-26 di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober – 12 November 2021.

Ketiga, memaksimalkan peran Indonesia dalam memerangi pencemaran laut lintas batas; terutama sampah plastik, polusi minyak, dan spesies invasif.

Keempat, menjaga prinsip sentralitas ASEAN dalam pemajuan atau pembentukan hubungan regional di kawasan Asia Pasifik dengan melakukan upaya-upaya penyusunan norma dan pembuatan norma dalam berbagai kerangka kerja sama regional.

Keenam, meningkatkan peran dan kepemimpinan Indonesia di berbagai organisasi regional dengan prinsip kepemimpinan yang efektif dan memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam forum-forum tersebut sejalan dengan tujuan pencapaian kepentingan Indonesia.

Ketujuh, menghasilkan ide-ide untuk jawaban atas isu-isu penting yang menjadi perhatian internasional, seperti hak asasi manusia, lingkungan, pengungsi, dan demokrasi.

Kedelapan, penguatan kapasitas dalam negeri dalam rangka memberikan dukungan maksimal dalam pelaksanaan diplomasi politik luar negeri, terutama melalui berbagai kerangka kerja sama regional.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER