MONITOR, Jakarta – Moderasi beragama menjadi kunci penting untuk membangun kualitas kehidupan beragama yang rukun dan harmonis. Selain itu, moderasi menjadi solusi untuk merekatkan persatuan bangsa Indonesia ditengah kemajemukan yang ada. Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), mengungkapkan ada tiga tantangan dalam kehidupan keagamaan yang dihadapi bangsa Indonesia.
Pertama, berkembangnya individu atau kelompok yang memiliki cara pandang, sikap, dan praktek beragama yang berlebihan atau melampaui batas, yang dikenal sebagai ekstrem. Lukman menyatakan keberadaan mereka justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal Islam hadir sesungguhnya untuk melindungi, menjaga, merawat harkat, martabat, dan derajat kemanusiaan. Islam hadir untuk memanusiakan manusia.
“Ini menurut saya perlu dikaji, apa faktor penyebabnya. Bagaimana cara mereka merujuk teks-teks keagamaan sehingga melahirkan cara pandang serta praktik keagamaan yang berlebihan. Nah ini perlu diteliti, dilakukan studi mendalam, mengapa terjadi seperti itu,” ujar Lukman Hakim dalam Seminar Plenary Session bertema ‘Agenda Dunia PTKI: Merumuskan Metodologi Moderasi Beragama dalam Memahami Teks Keagamaan’, Senin (22/11/2021).
Tantangan kedua, disebutkan Lukman, berkembangnya klaim kebenaran atas tafsir keagamaan yang diiringi dengan pemaksaan kehendak, yang gunakan tindak kekerasan. Adapun tantangan ketiga adalah adanya cara pandang dan sikap yang gunakan dalil keagamaan untuk merusak ikatan kebangsaan dan sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Misalnya, mengharamkan menyanyikan Indonesia Raya dan hormat bendera. Juga menyatakan Pancasila sebagai thagut atau berhala yang harus dimusnahkan.
Ketiga tantangan diatas, ditegaskan Lukman, dapat dijadikan titik pijak dalam merumuskan pendekatan moderasi beragama dalam memahami teks-teks keagamaan. Lukman berpandangan PTKI memiliki tanggungjawab yang tinggi dalam menyikapi persoalan di atas.
“PTKI yang dinaungi Kementerian Agama ini memiliki kompetensi serta modal besar untuk melakukan studi mendalam dan penelitian untuk menghadirkan rumusan temuan sebagai alternatif solutif terkait dengan persoalan dan tantangan kehidupan beragama di tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini,” ucapnya tegas.
Dalam konteks keindonesiaan, Lukman menjelaskan implementasi moderasi beragama bisa dilihat dari tiga hal, yaitu: nilai yang dianut, ekosistem yang membentuk, dan perilaku masyarakat dalam kehidupan beragama. Ketiganya itu bisa disoroti dari 4 perspektif sebagai indikator moderasi beragama.
Pertama, komitmen kebangsaan. Apakah paham dan praktik keagamaan itu menguatkan atau merusak ikatan kebangsaan. Kedua, toleransi. Apakah aikap dan praktek beragama membangun saling menghormati dan menghargai perbedaan di tengah kemajemukan paham keagamaan. Yang ketiga menurut Lukman adalah anti kekerasan. “Apakah cara pandang dan perilaku keagamaan itu mencegah atau mendorong tindakan kekerasan,” terangnya.
Keempat, terkait akomodasi terhadap budaya lokal. Menurut Lukman, beragama secara moderat bisa dilihat ketika di tengah keragaman tafsir keagamaan kita bisa memberikan akomodasi sebagai wujud penghormatan atas budaya lokal yang hidup di tengah bangsa.
“Empat hal ini bisa menjadi perspektif kita dalam melihat tantangan di atas, terutama dalam merumuskan pendekatan moderasi beragama ketika kita ingin memahami teks-teks beragama,” ucapnya.
Lukman pun menaruh harapan besar terhadap Rumah Moderasi di lingkungan PTKI dalam menggaungkan moderasi beragama.
“Semoga hasil kajian dan penelitian mampu melahirkan rumusan solutif sebagai bahan kebijakan negara, dan bisa menjadi program aksi tidak hanya dilakukan oleh unit kerja di Kemenag, tetapi juga dilakukan di kementerian dan lembaga lain di luar kemenag,” pungkasnya.
Seminar Plenary Session ini merupakan rangkaian dari Annual Conference on Research Proposal (ACRP) 2022 yang digelar 22 – 24 November 2021. Selain itu, ada sebanyak sepuluh seminar Parallel Session lainnya yang akan mengupas isu-isu kontemporer hingga upaya publikasi karya ilmiah PTKI.