Jumat, 19 April, 2024

Anak Muda jadi Target Kelompok Radikal, Benarkah?

MONITOR, Jakarta – Baru-baru ini publik dikejutkan dengan tertangkapnya terduga terorisme di tubuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini membuktikan bahwa paham radikalisme bisa menyerang siapa saja dan dapat menyusup tanpa terdeteksi.

Yang meresahkan, generasi muda lebih mudah terpapar paham ini. Lebih jauh, sikap intoleran mulai terdeteksi di bangku-bangku sekolah dasar. Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan permasalahan intoleransi kebhinekaan di lingkungan sekolah. Riset ini menemukan setidaknya tiga permasalahan pendidikan kebhinekaan di sekolah.

“Tiga hal itu mencakup kebijakan pemerintah dan sekolah, sikap dan perilaku warga sekolah, serta keterbatasan sumber daya,” ujar Nur Berlian Venus Ali Peneliti Puslitjakdikbud Kemendikbud.

Dia menyebut pihak sekolah juga terlalu menekankan kemampuan kognitif. Sebagian pemerintah daerah kurang memiliki inisiatif dalam program kebhinekaan di sekolah.
Nur Berlian pun menjelaskan bahwa tidak semua sekolah memberikan pelayanan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut siswa. Banyak dari siswa yang masih sulit berbaur dengan mereka yang berbeda suku, agama, dan etnis.

- Advertisement -

“Sikap dan perilaku warga sekolah terbentuk dari pendidikan sebelumnya atau lingkungan yang kurang mendukung pembauran,” ucapnya lagi.

Pendidikan kebhinekaan bertujuan dalam mengarahkan warga sekolah untuk membentuk dan mengembangkan suasana sekolah pada sikap dan perilaku saling menghormati dan menghargai kemajemukan.

Implementasi pendidikan kebhinekaan di sekolah masih dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan kebijakan sekolah dan sikap warga.

“Praktik baik melalui peran kepala sekolah dan guru, banyak yang sudah terlaksana. Namun, memang perlu memperbanyak kegiatan yang mendukung pembauran lintas budaya dan agama seperti perkemahan kerukunan antar umat beragama serta perlu program afirmasi dari berbagai etnis dan agama,” paparnya.

Generasi Muda Rentan Terpapar

Dalam kolom berjudul “Generasi Muda Berperan Penting Menangkal Radikalisme”, Zainudin Zidan, kontributor Pertiwi Institute, menjelaskan arti dari radikalisme. Dia mengatakan radikalisme adalah doktrin atau praktik yang diterapkan oleh penganut paham radikal atau paham ekstrem. Selain itu, radikalisme juga bisa diartikan sebagai gerakan yang berusaha mengubah total tatanan sosial yang ada di masyarakat.

Yang mengkhawatirkan, Zainudin menyebut kelompok radikal lebih menyasar anak muda. Mereka melihat celah ketika anak muda dengan jiwa mudanya merasa resah dengan keadaan di sekitarnya.

Para kelompok radikal tersebut kemudian datang dengan menawarkan solusi dengan membawa ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Apalagi, lanjut dia, anak muda yang sedang memasuki fase pencarian jati diri lebih mudah “tenggelam” dalam narasi yang berujung pada doktrin radikal.

“Seperti menganggap Pancasila itu thagut, mengajak untuk membenci demokrasi dan yang paling parah merekrut generasi muda untuk ikut berperang dengan alasan jihad atas nama agama,” tulis Zainudin.

Dia juga mengatakan, paham radikal bisa disebarkan dengan cara memengaruhi pemikiran orang lain. Ini semakin efektif apabila orang tersebut berpikiran sempit dan mudah percaya kepada pihak yang dianggap membawa perubahan ke dalam hidupnya.

“Padahal pihak tersebut menyebarkan suatu paham yang bertentangan dengan ideologi negaranya,” kata dia.

Selain itu, faktor psikologis juga berdampak pada rentannya anak muda terpapar paham radikal. Sikap untuk menjadi radikalis terkadang tumbuh dan berkembang dalam diri seseorang yang memiliki berbagai permasalahan, rasa benci, serta dendam.

“Kita juga harus waspada, karena radikalisme dapat muncul di berbagai tempat, termasuk sarana pendidikan. Ideologi radikalisme bisa dengan mudah disisipkan dalam pengajaran,” ujar Zainudin. (Mela)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER