MONITOR, Jakarta – Anggota Badan Legislasi Fraksi PKS DPR RI, Bukhori Yusuf, meminta draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dilengkapi dengan Naskah Akademik agar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Peraturan DPR. Pasalnya, mayoritas anggota panitia kerja (panja) RUU TPKS belum menerima salinan Naskah Akademik draf RUU TPKS dari pihak pengusul.
Ketentuan mengenai Naskah Akademik setidaknya telah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan Peraturan DPR tentang Tata Tertib.
Naskah Akademik menurut Pasal 1 Ayat (11) UU No. 12/2011 dijelaskan, naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Kewajiban menyertakan naskah akademik dalam penyusunan RUU disebutkan di Pasal 43 Ayat (3) UU No. 12/2011 yang menyatakan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai naskah akademik. Namun penyertaan naskah akademik dikecualikan bagi RUU APBN, penetapan Perppu, dan pencabutan Perppu sebagaimana disebutkan di Pasal 43 Ayat (4).
Selanjutnya di Pasal 126 Peraturan DPR tentang Tata Tertib juga diterangkan, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dalam mempersiapkan RUU terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam RUU.
“Pentingnya penyertaan naskah akademik, selain untuk membaca sinopsis dari RUU, adalah sebagai bentuk tertib hukum. Sehingga, pihak pengusul tidak bisa asal bunyi tanpa adanya basis argumen yang jelas. Karena itu kami meminta agar draf RUU ini segera dilengkapi dengan Naskah Akademik,” ucapnya dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS di Badan Legislasi, Senin (1/11/2021)
Selain menyoroti soal Naskah Akademik, Anggota Komisi VIII DPR RI ini juga mengkritik substansi dalam draf RUU TPKS terbaru. Dirinya menyoroti Konsideran draf RUU, khususnya konsideran filosofis pada huruf a, yang dianggap melompat langsung pada landasan UUD NRI 1945 sehingga berakibat pada diabaikannya landasan Pancasila yang tidak disebutkan dalam konsideran.
“Undang-Undang Dasar memiliki fundamen filsafat (Philosophische Grondslag) yang terletak di Pembukaannya, dimana jantungnya ada di alinea ketiga dan keempat. Sementara di alinea keempat itu terdapat Pancasila, dimana ruh Pancasila itu terletak pada sila pertama. Namun demikian, sangat disayangkan di dalam draf ini tidak disinggung sama sekali berkenaan dengan hal itu. Maka, konsideran ini perlu disempurnakan,” kritiknya.
Kritik Bukhori selanjutnya menyasar pada konsideran sosiologis yang diterangkan pada Konsideran huruf b yang menyebut: “bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat,”
Menanggapi isi draf tersebut, Anggota Komisi Agama DPR ini lantas menyayangkan sikap gegabah tim penyusun draf RUU TPKS yang tidak menyinggung norma agama sama sekali dalam konsideran itu.
“Selain bertentangan dengan nilai kemanusiaan, kejahatan seksual juga sangat bertentangan dengan nilai agama. Jangan malu untuk mengakuinya. Dan jangan menampik betapa pentingnya peran agama dalam mengatur kehidupan kita karena tanpa agama muskil kita menjadi orang yang lurus. Karena itu saya usulkan perlu dimasukan nilai ketuhanan dalam poin konsideran ini,” tegasnya.
Kemudian dari sisi yuridis, demikian Bukhori melanjutkan, kejahatan seksual di dalam dan di luar pernikahan, keduanya harus masuk di pengaturan dalam draf RUU ini. Sehingga, sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) soal perzinaan akan menjadi relevan untuk disertakan.
Masih dalam kesempatan sama, politisi sekaligus dosen ini turut menyinggung aspek pencegahan kejahatan seksual. Menurutnya, aspek pencegahan tidak bisa hanya dilakukan secara normatif, melainkan juga mesti dilakukan secara strategis, yakni melalui strategi pendidikan.
“Jadi, yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan seks bukan tentang seks bebas, tetapi seks yang sehat dan sesuai dengan norma kehidupan kita, khususnya norma yang mengacu pada ajaran agama,” ujarnya.
Di akhir paparan, legislator dapil Jawa Tengah 1 ini mengatakan, undang-undang yang dihasilkan oleh Badan Legislasi diharapkan menjadi instrumen rekayasa sosial untuk membentuk perilaku masyarakat yang beradab. Begitupun halnya dengan draf RUU TPKS yang diharapkan mampu merespons ancaman kejahatan seksual di tengah masyarakat tanpa meninggalkan masalah baru.
“Draf RUU ini harus disusun dengan cermat dan komprehensif sebagai wujud pertanggungjawaban sosial kita kepada masyarakat. Jangan sampai ada celah di dalam rancangan ini sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan masif di masa depan lantaran tidak diantisipasi sejak sekarang,” pungkasnya.