Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Tepat pada 30 Oktober, Indonesia memperingati hari keuangan nasional. Peringatan ini tidak terlepas dari sejarah panjang munculnya uang kertas pertama kali milik bangsa Indonesia.
Penetapan Hari Uang Nasional tak lepas dari narasi sejarah penerbitan mata uang resmi Indonesia. Tepatnya pada 30 Oktober 1946, uang kertas Oeang Republik Indonesia (ORI) diedarkan pertama kali di negara ini. Sejak saat itu, ORI menjadi alat pembayaran sah dalam setiap transaksi dan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia.
Lahirnya mata uang Indonesia pada era awal kemerdekaan Indonesia tentunya berada dalam kondisi yang belum stabil. Karena sejak resmi merdeka pada 17 Agustus 1945, kondisi Indonesia saat itu tidak langsung membaik.
Perekonomian Indonesia berada dalam inflasi yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena beredarnya mata uang pendudukan Jepang dalam jumlah yang sangat banyak di masyarakat. Inflasi makin parah ketika sekutu datang dan memberlakukan uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sebagai alat pembayaran yang sah.
Saat itu pemerintah Indonesia bersikukuh untuk memprotes keberadaan uang NICA karena ini berakibat serius bagi munculnya kekacauan kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa uang NICA tidak berlaku lagi di Indonesia. Sehari setelahnya, pemerintah Indonesia pun kembali mengeluarkan maklumat tentang jenis mata uang yang masih sah.
Mata uang De Javasche Bank, berupa uang kertas dan merupakan mata uang sisa zaman kolonial Belanda. Mata uang De Japansche Regering dengan satuan gulden (f) yang terbit 1942. Ini merupakan uang kertas dan logam pemerintah Hindia Belanda yang disiapkan Jepang sebelum menjajah Indonesia.
Mata uang Dai Nippon yang beremisi 1943, merupakan uang kertas pendudukan Jepang yang memakai Bahasa Indonesia. Mata uang Dai Nippon Teikoku Seibu emisi 1943. Penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) .
Setelah menetapkan jenis mata uang yang masih berlaku kala itu, pemerintah mulai berencana mengeluarkan ORI sebagai mata uang resmi Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945.
Dalam penyusunan ini, panitia diketuai oleh T.R.B. Sabaroedin, panitia ini bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pencetakan uang. Penerbitan ORI mengalami proses yang panjang. Mulai dari mencari tempat percetakan yang layak, penentuan model dan desain uang, hingga pada proses pencetakan yang mengalami banyak kendala karena situasi keamanan Indonesia yang belum sepenuhnya stabil.
Setelah melewati proses panjang, ORI ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah mulai tanggal 30 Oktober 1946 pukul 00.00 WIB. Pemerintah juga menyatakan tanggal tersebut sebagai beredarnya ORI pertama kali di Indonesia.
Pada detik-detik menjelang beredarnya ORI, tepatnya 29 Oktober 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan pidatonya di Radio Republik Indonesia. Pidato tersebut mengumumkan bahwa ORI adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah, sedangkan mata uang lain sudah tidak berlaku lagi.
Momentum inilah yang menjadi peristiwa sejarah penting lahirnya hari keuangan nasional karena keberadaan uang menjadi alat transaksi keuangan resmi di Indonesia telah menjadi sumber penggerak dari banyak ragam aktivitas ekonomi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Namun, jika kita kembali merefleksikan kondisi ekonomi yang terjadi ditengah wabah Covid-19 seperti sekarang, apakah sistem dari keuangan nasional mampu memberikan jaminan ketahanan ekonomi masyarakat selama masa wabah pandemi Covid-19.?
Asumsi Rasional
Ditengah situasi sulit akibat dampak merebaknya wabah pandemi Covid-19 yang telah berlangsung nyaris selama dua tahun. momentum sejarah hari keuangan nasional jelas memiliki tantangannya tersendiri. Wabah pandemi Covid-19 faktanya sudah melahirkan berjuta kesengsaraan masyarakat.
Hampir di seluruh daerah Indonesia, terjadi kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar–besaran.Implikasinya terjadinya kerentanan sosial ekonomi, yang berujung pada semakin meningkatnya kemiskinan dalam masyarakat.
Wabah pandemi Covid-19 telah menyebabkan terjadinya peningkatan persentase penduduk miskin pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Data BPS menyebutkan bahwa pada Juni 2020, ada sekitar 22 dari 34 provinsi sudah terdampak (Herman 2020).
Dampak terbesar terjadi di Jawa dan Bali berturut-turut provinsi DKI Jakarta, DI Yogjakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Banten. Dampak tercepat dan terbesar terdapat di perkotaan (7,49%), pusat-pusat bisnis, baik itu industri, perdagangan, jasa transportasi hingga pariwisata. Wilayah perdesaan hanya sekitar 6,56%. (Kemenkeu, 2020).
Berkurang atau hilangnya waktu bekerja, serta penurunan produktivitas individu telah menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan daya beli. Selanjutnya, kelompok rawan miskin mengalami penurunan pendapatan dan sebagian besar jatuh menjadi miskin, sementara kelompok miskin menjadi lebih miskin.
Kemiskinan akibat pandemi terus menerus menyebar antarkelompok masyarakat. Kelompok yang paling terdampak adalah masyarakat yang bekerja atau berusaha di sektor informal, diikuti sektor industri akibat terhambatnya produksi, sektor jasa transportasi akibat kebijakan PSBB, dan anjuran tinggal di rumah.
Selanjutnya, dampak pandemi ini semakin terasa di sektor pertanian. BPS menginformasikan bahwa 70,53% penduduk berpenghasilan rendah mengalami penurunan pendapatan, sisanya adalah penduduk berpenghasilan menengah dan tinggi.
Wabah pandemi Covid-19 faktanya juga memukul industri pariwisata dalam negeri. Dampaknya, banyak lapangan usaha langsung terdampak sektor pariwisata, yaitu sektor perdagangan, reparasi mobil dan sepeda motor; sektor transportasi dan pergudangan; serta sektor penyedia akomodasi dan makan minum.
Sektor pertanian termasuk dalam kategori yang memiliki resiliensi tinggi, terdampak pada fase lebih akhir. Pada kuartal II-2020, saat sebagian sektor tumbuh negatif, sektor pertanian bisa tumbuh sebesar 2,15% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan pendapatan terjadi akibat berkurangnya lapangan kerja, hambatan waktu kerja, penurunan upah, dan penurunan produktivitas kerja. Bagi penduduk yang berusaha di sektor industri, perdagangan, dan pertanian, penurunan pendapatan terjadi karena adanya hambatan waktu kerja akibat pembatasan mobilitas maupun hambatan pemasaran produksi, baik domestik maupun ekspor.
Sebagian penduduk mengalami penurunan pendapatan karena penurunan pengiriman uang (remiten) dari anggota keluarga migran akibat mengalami gangguan pendapatan di kota atau negara tempatnya bekerja.
World Bank (2020a) menyebut kejadian ini sebagai penurunan pendapatan tenaga kerja dan nontenaga kerja. Pembatasan sosial telah mengubah perilaku masyarakat dalam berbagai kegiatan, seperti mengurangi pertemuan, pesta, perjalanan, dan memilih berbelanja secara daring/online. Akibatnya, penyewaan gedung, pemesanan katering, percetakan, pelayanan transportasi, menjadi kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan.
Konsekuensi logis penurunan pendapatan adalah menurunnya daya beli, terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan dan non-makanan. Bagi masyarakat miskin, sebagian besar pendapatan diperuntukkan untuk membeli pangan sehingga penurunan pendapatan berimplikasi terhadap penurunan pemenuhan pangan. Hal ini masih ditambah adanya peningkatan pengeluaran biaya pengeluaran untuk konsumsi (World Bank 2020b).
Inisiatif Kebijakan
Dalam momentum hari keuangan, penting bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memahami strategis literasi dan juga inklusi keuangan secara proporsional.
Dalam konteks ini pemahaman literasi tentunya akan mendorong pengetahuan yang layak terhadap inklusi keuangan. Sepertinya membangun infrastruktur digital.
Dalam situasi pembatasan sosial seperti pada saat pandemi sekarang ini, kemajuan sarana layanan keuangan digital sangat berperan dalam meresistensi ketahanan keuangan selama masa pandemi Covid-19.
Kebutuhan urgen ketersediaan infrastruktur internet cepat sampai pedalaman Indonesia jelas akan membantu dalam menyusun pemetaan dan penentuan langkah strategis adaptif untuk memulihkan kelumpuhan ekonomi masa pandemi Covid-19.
Ketimpangan akses infrastruktur digital dan informasi antara penduduk di Pulau Jawa dan luar Jawa membuat stabilitas inklusi keuangan menjadi tak merata.Ketimpangan inilah yang memberikan konsekuensi besar bagi sistem inklusi keuangan Indonesia secara menyeluruh.
Pada kontekstual ini, kebutuhan layanan keuangan terintegrasi mendorong terbentuknya infrastruktur ketahanan keuangan nasional yang kuat.
Penulis adalah Analis Nasional dan Direktur Eksekutif Jaringan Studi Indonesia
MONITOR, Jakarta - Keterbukaan informasi publik menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis. Keterbukaan informasi…
MONITOR, Jakarta – PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih dua…
MONITOR, Jakarta - Dipanggilnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Fahmi hakim ketua DPRD Provinsi…
MONITOR, Jakarta - Pemilih muda diperkirakan akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil Pemilihan Kepala…
MONITOR, Jakarta - Komisi III DPR RI telah menetapkan lima pimpinan KPK terpilih dan lima…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa guru adalah pahlawan sejati. Hal tersebut…