Kamis, 25 April, 2024

Refleksi Hari Santri, Berkaca dari Meja Birokrasi

Ruchman Basori (Kasubdit Sarpras dan Kemahasiswaan Diktis Kemenag RI)

Ibarat kuliah di birokrasi, S1 saya, ada di Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), yang kemudian kini berubah menjadi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Pdpontren). Tidak tanggung-tanggung selama 9 tahun 2004-2013.

S2 lalui di Direktorat Pendidikan Madrasah kurang lebih 2 tahun, 2013-2016. Dan S3 saya berada di Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (DIKTIS) 2016-sekarang. Waktu yang cukup panjang untuk mengenal gerak langkah Kementerian Agama wabil khusus, Ditjen Pendidikan Islam.

Direktorat yang mengurusi pondok pesantren yang waktu itu, menurut data EMIS Ditjen Pendidikan Islam, baru memiliki 13.000 lebih pondok pesantren, adalah Direktorat Baru, pada saat Menteri Agama dijabat KH. M. Tolchah Hasan, masa Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

- Advertisement -

Tentu tidak mudah, berada di direktorat yang baru, baik dari sisi sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, kerjasama, tata kelola pondok pesantren, apalagi soal anggaran yang masih sangat sedikit. Boleh dikata berada di ranking terakhir dari 4 Direktorat yang ada.

Saya masuk pada saat Pekapontren dipimpin oleh Bapak H. Amin Haedari dari Ciamis. Kami sering pulang di atas jam 20.00 malam. Berada dilingkaran perjuangan, meyakinkan publik bahwa Kementerian Agama memiliki direktorat yang membidangi pondok pesantren. Kami didik dan dibimbing oleh mentor-mentor birokrasi yang piawai seperti Pak Chamdun, Pak Mahmud, Pak Anas Mahduri, Pak Rohadi Abdul Fatah dan Pak Abd. Chatib. Di lapisan muda ada Mas Imam Safei, Pak M. Ishom Yusqi, Cak Mastuki, Pak Undang Sumantri, Mas Ainur Rofiq, Pak Irhas Shobirin dan lain-lain.

Suasana kekeluargaan dan persahabatan sangat kental. “Kita masih berjuang, karenanya kita harus bersatu, bersama, meyakinkan banyak orang agar kita eksis”, kata Pak Amin Haedari waktu itu. Untuk memenuhi SDM yang ada Pak Amin mengambil SDM dari kampus, karena cara berfikir dan mineset pegawai waktu itu belum sepenuhnya memahami diniyah dan pondok pesantren. Karena rata-rata pegawainya adalah eks Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum (PAISUN) yang konsn menangani PAI pada sekolah umum.

Saya perlu menyebut sosok penting di balik penataan awal direktorat ini, yaitu Prof. H. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, M.A., Ph.D sebagai Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam (Bimbaga Islam) atau ada yang menyebut Bagais. Sosok perpaduan antara tradisi pesantren dan keilmuan modern. Sang birokrat-intelektual yang pawai meramu Ditjen Bagais.

Berjibun Program Rintisan

Duet Pak Qodri sebagai Dirjen Bagais dan Pak Amin Haedari sebagai Direktur Pekapontren, telah melahirkan banyak program untuk pengembangan pondok pesantren dan madrasah diniyah. Anggaran yang terbatas, sekan tak dirasa, tertutupi oleh semangat dan api perjuangan. Teman-teman sebagai asssabiqunal awaalun tentu merasakannya.

Kalau Anda semua ingat, bahwa para alumni pondok pesantren mengalami kesulitan mendapatkan pengakuan dari pemerintah, Direktorat Pekapontren, menyelenggarakan program Mu’adalah Pesantren dan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Pondok Pesantren (Wajardikdas PPS). Wujudnya adalah Wajardikdas Salafiyah Ula dan Wustha dan Program Paket A, B dan C pada Pondok Pesantren.

Melalui program muadalah pesantren menjadikan alumni pesantren bisa kuliah studi Islam di luar negeri dan di tanah air bisa masuk ke perguruan tinggi. Sebuah terobosan untuk menghadirkan rasa keadilan bagi anak bangsa.

Musabaqah Qiraátil Kutub (MQK) digelar untuk pertama kali di PP. Al Falah Cicalengka Bandung. Untuk memberikan panggung santri unjuk kebolehan membaca kitab kuning. Luar biasa sambutan keluarga besar pondok pesantren se-Nusantara, terhadap event yang baru pertama kali diselenggarakan secara nasional dan oleh pemerintah. MQK ke-2 di PP. Lirboyo Kediri, ke-3 di PP. Al Falah Banjarbaru Kalimantan Selatan, MQK ke-4 di Jambi. Alhamdulillah kegiatan MQK sampai hari ini masih berlangsung dipertahankan.

Melalui MQK dengan kompetisi beragam kitab, terpetakan dengan baik, mana yang kuat di ilmu nahwu, tafsir, hadits, falak, fiqih-usul fiqh, aqidah dan akhlak dan lain-lain. Pada saat yang sama sebagai syiar akan kehebatan tradisi keilmuan pesantren, sebagai pendidikan asli Indonesia.

Untuk memperkuat tradisi menulis dan anotasi kitab kuning, dibuatlah program tahqiq al-kutub. Waktu itu Pak Qodri menantang kepada apara akademisi untuk membuat program tahqiq, dan kurang banyak yang merespon, kemudian Direktorat Pekapontren dengan antusias merespon dengan menyelenggarakan pelatihan tahqiq al-kutub dan sekaligus melakukan kerja-kerja tahqiq. Hasilnya telah terbit puluhan kitab kuning yang telah di tahqiq dan disebarkan ke pesantren di Indonesia.

Publik Indonesia, juga disuguhkan dengan program-program pemberdayaan ekonomi pondok pesantren. Ada kurang lebih 17 Kementerian/Lembaga yang dijalin oleh Kemenag melalui Ditjen Bimbaga Islam waktu itu. Salah satunya, program Koperasi Pondok Pesantren, UMKM dengan Kementerian Koperasi, Lembaga Mandiri Yang Mengakar di Masyarakat (LM3) dengan Kementan, salah satu programnya penggemukan sapi dan penanaman pertanian produktif.

Dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan melahirkan program pemberdayaan masyarakat nelayan dan program pesantren bahari. Pelbagai pelatihan, workshop dan pertemuan digelar, agar sumberdaya pesantren di wilayah pesisir dan tereksplorasi. Sedangkan dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Kwarnas) diselenggarakan Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (2006) di Bumi Perkemahan Cibubur untuk pertama kalinya.

Sepertinya saya sudah tidak mendengar lagi efektivitas kerjasama dengan K/L tersebut. Namun ada perkembangan menarik sekarang ini, berupa pengembangan kemandirian ekonomi dengan BUMN. Semoga spirit kemandirian yang di gagas saat ini di hari santri akan menjadikan pesantren berdaya secara ekonomi dan independent dalam berfikir dan berbuat sebagaimana yang selama ini menjadi ciri khasnya.

Dalam hal olah raga dan seni, melahirkan program Pekan Olah Raga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (POSPENAS) yang diselenggarakan 6 kementerian dan tergabung menjadi Panjatapnas POSPENAS. (Kemenpora, Kementerian Kesra, Kemenag, Depdagri, dan Depdikbud).

Program-program lain yang bisa saya ingat dan penting adalah , kewirausahaan, jurnalistik santri, dan pelbagai pelatihan yang ditujukan untuk komunitas pesantren. Belum lagi program yang sangat monumental dan strategis lain seperti Daurah Kader Ulama dan Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB).

Merubah Taqdir Bangsa 2030

Munculnya PBSB dilatarbelakangi oleh adanya keprihatinan mendalam akan nasib lulusan pesantren, yang dianggap memiliki kualitas yang kurang menggembirakan dari pada sekolah. Selain itu untuk mengejar ketertinggalan pondok pesantren di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Direktorat Pekapontren menggandeng sejumlah PTN ternama seperti IPB dan UIN Jakarta. Untuk tahun pertama 2005 para santri bisa studi di IPB untuk ilmu-ilmu pertanian, perikanan dan pangan 25 orang dan di UIN Jakarta masuk menjadi dokter dan kesehatan masyarakat 15 orang.

Pada perkembangannya, PTN yang berminat menjadi tempat berlabuh para santri makin banyak. Menyusul ITS Surabaya dan UIN Sunan Ampel. Selanjutnya Pak Yahya Umar Dirjen pengganti Pak Qadri berhasil mengajak UGM, UNAIR dan ITB, IAIN Semarang, UIN Malang, UPI Bandung, UIN Bandung dan lain sebagainya. Setidaknya ada 12 PTN ternama yang keren untuk program khusus dan bergengsi.

Melalui PBSB, para santri telah maujud menjadi sosok yang tidak saja ahli agama (tafaqquh fiddin), tetapi juga ahli-ahli IPTEK. Hasilnya telah kita lihat dan cermati mereka telah memberikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat juga tentu pondok pesantren. Banyak dianatara mereka telah melanjutkan studi S2 dalam dan luar negeri, diantara mereka telah menjadi dosen. Bahkan beberapa dokter lulusan beasiswa ini telah mendirikan dan mengembangkan rumah sakit termasuk di pesantren.

Merubah Taqdir Bangsa 2030 adalah ide geniun Pak Imam Safei waktu itu Kasubdit Pendidikan Pesantren. Sebuah harapan agar santri bisa berperan dalam konteks nasional dan internasional, utamanya dalam konteks pembangunan bangsa. Apalagi sekarang dengan jargon menyambut Indonesia Emas 2045, yang waktu itu belum muncul.

Di mmasa awal direktorat Pekapontren Pak Qadri dan Pak Amin mengarahkan program pengembangan pesantren pada 3 hal, pesantren sebagai pusat pengembangan tafaqquh fiddin, pengembangan pendidikan dan dakwah dan pesantren sebagai pusat pengembangan sosial kemasyarakatan. Kita kenal sebagai Trilogi Pengembangan Pesantren.

Kalau saya cermati program dan kegiatan yang saat ini ada dan dikembangkan, tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh generasi awal direktorat perjuangan ini. Tentu bukan bermaksud mengecilkan apa yang saat ini dilakukan.

Di hari santri ini menjadi momentum strategis membaca dunia pesantren dari banyak perspektif. Tulisan ini baru secuil yang bisa disajikan. Dalam persepektif birokrasi kemunculan lahirnya direktorat yang menangani pesantren, sampai akhirnya mengawal program-program sesuai kebutuhan zaman. Salah satunya perjuangan lahirnya Hari Santri.

Sudah terlalu panjang coretan ini, semoga bisa dilanjutkan lagi pada persepektif lain Direktorat Pekapontren yang kini menjadi Pdpontren. Selamat memperingati Hari Santri 2021. Wallahu a’lam bi al-shawab.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER