Kamis, 25 April, 2024

Guru Besar IPB: Antisipasi Perubahan Iklim Harus dari Sumber Masalahnya

Bahaya Global Warming bukan hanya terhadap ekosistem bumi, tetapi juga keberlanjutan kehidupan manusia.

MONITOR, Jakarta – Guru Besar IPB, Prof DR Rokhmin Dahuri, MS mengatakan bahwa semua umat manusia harus menyadari bahwa perubahan iklam atau global climate change sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan (sustainability) pembangunan ekonomi dan peradaban umat manusia itu sendiri.

Hal tersebut dikatakan Prof Rokhmin saat menjadi narasumber pada acara Webinar ”Pembangunan Berketahanan Iklim: Upaya Mengurangi Kerugian Ekonomi Akibat Bahaya Iklim” talk show virtual Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang dilaksanakan Kementerian PPN/BAPPENAS, Senin (11/10/2021)

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menerangkan bahwa pemerintah perlu menerapkan prinsip-prinsip mengatasi permasalahan bencana alam (kerusakan lingkungan) dengan cara mengadress atau merumuskan sebab akibat sehingga mampu mencari solusi yang tepat dalam mitigasi bencana alam (kerusakan lingkungan).

“Permasalahan bencana hidrometeorologi seperti deforestasi, konversi ekosistem alam akan dapat diatasi secara tuntas (sukses), bila dilakukan secara terpadu (integrated), baik secara disiplin ilmu, spatial, sektor, level pemerintahan maupun kerjasama pemerintah – swasta – masyarakat,” katanya.

- Advertisement -

Rokhmin Dahuri juga menyatakan bahwa laporan LCDI yang dikeluarkan oleh Bappenas ini memang sudah baik, tetapi masih berorientasi pada bisnis. Hal ini dirasakan tidak efektif karena hanya membahas gambaran teknis fenomena perubahan iklim dan cara antisipasinya, bukan tentang sumber masalah dan cara memberantasnya.

“Dokumen KemenLHK/Bappenas sudah baik tapi itu business as usual. Enggak pernah menyentuh akar permasalahannya, tapi hanya teknis saja,” timpal Rokhmin.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga memaparkan tentang Akar Masalah Bencana Alam (Kerusakan Lingkungan) yakni Faktor-faktor alam (alamiah). Rendahnya atau tidak adanya kesadaran di kalangan pemimpin pemerintahan, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, swasta (private sector), masyarakat, dan stakeholders lainnya.

Selain itu, pengangguran dan kemiskinan serta ketiadaan alternatif matapencaharian (pekerjaan) yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan, kata Prof Rokhmin acap kali memaksa saudara-saudara kita yang miskin ini dengan cara-cara (teknologi) yang merusak lingkungan di dalam memanfaatkan SDA dan eksosistem alam untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar nya.

“Kepada mereka ini pemerintah harusnya hadir memberikan capacity building seperti saya pernah punya pengalaman terhadap masyarakat pulau likupang dan teluk lampung dimana singkat cerita masyarakat menangkap ikan dengan bom setelah kita introduksi dengan budidaya kerapu dan rumput laut mereka berbondong-bondong karena menangkap ikan dengan bom itu penuh resiko ada yang tangannya buntung. Sesederhana itu rakyat kita, beri alternatif,” tuturnya.

“Ada juga kerusakan alam karena ulah keserakahan yang mengakibatkan laju pemanfaatan SDA & ekosistem alam melampaui daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. Itu yang harus kita gebuk dalam arti berikan punishment (sanksi) agar memberi efek jera,” tegasnya.

Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi masalah perubahan iklim selama ini hanya pada permukaan, sehingga solusi yang dihasilkan pun tidak efisien.

“Cara-cara kita menanggulangi hanya pada symptoms. Bicara soal perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya, semua peristiwa ini root cause-nya adalah laju pembangunan dalam bentuk konsumsi, laju pembuangan limbah, dan laju emisi; semuanya melampaui carrying capacity,” ujarnya.

Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2024 itu menekankan pentingnya Pendekatan Terpadu Dalam Mengatasi Bencana Hidrometeorologi dan Land Subsidence akibat perubahan iklim yakni pendekatan teknikal (teknokrasi) melalui berbagai upaya mitigasi benncana meliputi; Pertama, RTRW Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota selain ramah sosial-ekonomi juga harus ramah lingkungan.

“Minimal 30 persen untuk Kawasan Lindung, sempadan sungai, sempadan pantai) dan bencana alam (lokasi potensial bencana alam harus menjadi Kawasan Lindung),” terangnya.

Kedua, reboisasi kawasan hutan lindung, terapkan sistem TPTI pada lahan HPH dan HTI, dan penghijauan kawasan non-hutan; Ketiga, normalisasi dan naturalisasi sungai serta saluran drainase; keempat, merestorasi dan mengembangkan eskosistem pesisir (mangroves dan coral reefs) sebagai ‘wave attenuation’ dan bioshield meredam banjir; kelima, pengurangan laju emisi CO2; dan sebagainya.

Upaya adaptasi meliputi; pertama, setback zone (sempadan) pantai maupun sungai harus diperlebar; kedua, revitalisasi dan pengembangan ekosistem mangroves, coral reefs, dan seagrass beds sebagai bio-shield; ketiga, membangun hard structures untuk mengelola dinamika hidrologi, oseanografi, morfologi, dan geologi, sehingga terhindar dari bencana banjir seperti di Belanda atau negara lain yang telah sukses; dan lainnya.

“Pertama, bangunan, infrastruktur, aktivitas pembangunan, dan aktivitas manusia harus di luar kawasan-kawasan yang potensial terjadinya land subsidence; kedua, bangunan dan infrastruktur kedepannya harus menyesuaikan dengan bencana land subsidence; dan lainnya,” jelasnya.

Sementara itu, untuk Pendekatan Non-Teknikal (Kecerdasan Emosional dan Spiritual) dapat dilakukan dengan berbagai langkah diantaranya peningkatan kesadaran pemerintah dan rakyat tentang kerugian dan bahaya bencana hidrometeorologi, land subsidence, dan Global Warming bukan hanya terhadap ekosistem bumi, tetapi juga keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia itu sendiri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER