MONITOR, Pontianak – Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga Guru Besar IPB Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menjadi narasumber pada Kuliah Umum Kewarganegaraan Wawasan Nusantara Sebagai Perwujudan Kesatuan Ekonomi yang di selenggarakan Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN) secara hybrid pada Rabu (6/10/2021).
Pada kesempatan tersebut, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 tersebut mengatakan bahwa Pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, disparitas pembangunan antar wilayah, dan ketidak-adilan hukum merupakan akar masalah (root cause) dari kecemburuan sosial, demonstrasi anarkis, radikalisme, terorisme, dan gejala disintegrasi bangsa.
“Hal tersebut merupakan ancaman serius bagi terwujudnya Indonesia yang Bersatu, Maju, Adil- Makmur, dan Berdaulat (INDONESIA EMAS) 2045,” ujarnya.
Prof Rokhmin yang juga Dewan Pakar ICMI itu membeberkan sejumlah persoalan pembangunan bangsa utamanya terkait pemanfaatan potensi ekonomi dari sektor kelautan, indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah serta pengusaan terhadap teknologi yang masih dibawah rata-rata sebagai syarat negara maju dimana menurutnya negara dapat makmur dalam indeks ekonomi jika pendapatan perkapita penduduknya tinggi.
“Di tahun 2019 sudah masuk negara menengah pendapatan atas, karena situasi Covid-19 pada tahun ini 2021 pendapatan perkapita kita turun menjadi 3,870 itu membuat bangsa Indonesia turun menjadi negara berpendapatan menengah bawah,” terangnya.
“Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24% sebagaimana data UNCTAD dan UNDP, 2021,” tegasnya.
Menurut Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu perlu upaya Pembangunan dan Transformasi Struktur Ekonomi bangsa Indonesia menjadi negara maju mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain diantaranya dengan beberapa langkah kebijakan seperti mendorong dominasi sektor manufaktur dan sektor jasa.
“Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable),” terangnya.
Selanjutnya yaitu modernisasi sektor primer dalam hal ini kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: makanan dan minuman, Tekstil dan Produk Tekstil, Elektronik, Otomotif, dan lainnya,” tandasnya.
Hilirisasi (pengembangan industri manufakturing) SDA: (1) Kelautan dan Perikanan, (2) Kehutanan, dan (3) Pertanian (perkebunan, tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan) serta Pengembangan industri manufakturing baru: EBT, bioteknologi, nanoteknologi, kemaritiman, Industry 4.0, dan lainnya.
“PDB (Pendapatan Domestik Bruto-red) yang selama ini secara dominan disumbangkan oleh konsumsi (56%) dan impor (20%) harus dibalik, yakni investasi dan ekspor harus menjadi kontributor yang lebih besar (> 70%),” katanya.