MONITOR, Jakarta – Pemerintah mengaku tidak menutup opsi penunjukan perwira tinggi TNI dan Polri sebagai penjabat (Pj) kepala daerah menjelang Pilkada Serentak 2024. Pasalnya, mulai tahun 2022, pemerintah pusat perlu menunjuk lebih dari 200 penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah di 24 provinsi dan 247 kabupaten/kota karena dampak Pilkada Serentak 2024.
Merespons hal itu, Anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf angkat bicara. Bukhori mengkritik opsi tersebut lantaran khawatir berpotensi membangkitkan kembali dwifungsi ABRI.
“Apakah itu semacam prakondisi menuju dwifungsi ABRI jilid dua? Jika benar akan memberikan peluang, maka akan lebih parah daripada Orde Baru yang pernah dibuat gagal akibat sistem dwifungsi ini. Di sisi lain, opsi itu juga bisa dibaca sebagai satu indikasi pemerintah yang sedang menggiring negara ini pada rezim otoriter kembali,” ujarnya.
Politisi PKS ini mengingatkan pemerintah agar belajar dari tumbangnya Presiden Soeharto lantaran bangunan kekuasaan yang ditopang oleh sistem dwifungsi ABRI terbukti represif, korup, dan rentan bagi demokrasi.
Menurutnya, pelanggaran HAM dan pemberangusan hak sipil acap terjadi sepanjang sistem kekuasaan itu berlaku. Sehingga dirinya berharap pemerintahan Jokowi tidak lagi mengulang memori kelam tersebut.
“Reformasi tidak hanya berhasil menghentikan kekuasaan yang otoriter, tetapi sekaligus menjadi titik balik untuk mereposisi peran dan fungsi ABRI demi mengembalikannya pada kedudukan yang sesuai,” paparnya.
Sulit dimungkiri, pendekatan keamanan sebagai alat kekuasaan, secara historis, terbukti telah melecehkan supremasi sipil. Sistem itu juga membuat demokrasi di masa Orde Baru hanya sebatas kata tanpa makna bagi bangsa ini. Karena itu, penghapusan dwifungsi ABRI merupakan amanat reformasi yang perlu dijaga. Kita tidak boleh mengkhianati amanat sejarah itu, demikian Bukhori melanjutkan.
“Khitah TNI-Polri adalah menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan negara, serta ketertiban masyarakat. Mereka sudah cukup baik menjalankan fungsi itu sejauh ini, meski masih menyisakan sejumlah catatan. Karenanya, pemerintah jangan lagi mengusik khitah itu dengan kembali menyeret mereka pada politik praktis,” tegasnya.
Meski masih menjadi wacana, sambungnya, opsi itu perlu ditolak sejak awal lantaran berisiko kembali menimbulkan penyimpangan peran dan fungsi TNI-Polri dalam penyelenggaraan negara. Sebab itu, publik perlu waspada dengan upaya-upaya terselubung untuk menggagalkan agenda reformasi,” imbuhnya.
Anggota yang pernah duduk di Lembaga Pengkajian MPR ini menjelaskan, alasan yuridis yang mendorong perlu dihapusnya peran sosial-politik angkatan bersenjata dalam kehidupan sipil termaktub dalam Ketetapan MPR (TAP MPR).
Dalam konsiderans TAP MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri disebutkan, peran sosial-politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI-Polri yang berakibat pada tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat.
Di sisi lain, anggota Badan Legislasi ini juga membeberkan terdapat beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur secara ketat terkait keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam menempati posisi jabatan sipil.
Mengutip Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 47 ayat (1) dan Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (3) ditegaskan, anggota TNI dan Polri dilarang menduduki jabatan sipil atau jabatan di luar instansinya kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun.
Meskipun demikian, dalam UU TNI lebih lanjut menjelaskan, anggota TNI aktif tetap memiliki kesempatan untuk duduk di jabatan sipil, di luar syarat mengundurkan diri atau pensiun, sepanjang berdasarkan permintaan dari pemimpin badan/lembaga dan sesuai dengan kebutuhan.
“Mereka dilarang berpolitik praktis sesuai dengan Pasal 39 UU TNI. Peran mereka di jabatan sipil juga dibatasi. Undang-undang hanya memperkenankan mereka berada di badan/lembaga sipil tertentu yang masih berhubungan dengan tugas mereka seperti di bidang keamanan, telik sandi, sandi negara, pertahanan, narkotika, SAR, dan Mahkamah Agung,” paparnya.
Bukhori menilai wacana pemerintah menyeret TNI-Polri aktif untuk mengisi kembali ruang politik bangsa meski dengan dalih mengisi kekosongan sementara sebagai penjabat kepala daerah, adalah pilihan yang ahistoris dan tidak bijaksana. Selain berpotensi melanggar undang-undang, dirinya khawatir opsi tersebut akan berdampak pada citra TNI-Polri serta mengundang lebih banyak mudarat bagi tatanan demokrasi.
“Pertama, pemerintah tidak menghormati khitah TNI-Polri yang sudah diatur oleh TAP MPR dan Undang-undang. Kedua, pemerintah sama saja mengebiri kedudukan TNI-Polri sebagai alat kekuasaan. Ketiga, merusak tatanan hukum negara,” tandasnya.
Legislator dapil Jawa Tengah ini mengusulkan, alih-alih membuka opsi TNI-Polri sebagai penjabat, seyogyanya pemerintah mulai fokus menyiapkan skema pejabat tinggi madya di tingkat pusat yang akan mengisi kekosongan kekuasaan di daerah.
Selain itu dirinya berharap masyarakat dan Presiden senada dalam menolak opsi TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah.
“Masyarakat perlu waspada dengan wacana itu, jika perlu ditolak dari sekarang. Begitupun kepada Presiden Jokowi, saya berharap agar Presiden tidak menyetujui usulan itu jika benar terealisasi.” pungkasnya.