MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengaku geram dengan insiden penyerangan Ustaz Abu Syahid Chaniago di Batam, Kepulauan Riau oleh pelaku yang belakangan mengaku komunis. Bukhori menyesalkan teror terhadap tokoh agama kembali terulang hanya berselang kurang dari 24 jam pasca kasus penembakan mematikan di Kota Tangerang.
“Penyerangan menyasar tokoh agama ini bukan yang pertama. Ini adalah insiden kesekian kalinya dengan pola yang sama. Namun sangat disayangkan pemerintah seolah tidak berdaya memutus teror terhadap ulama atau tokoh agama lantaran kerap kecolongan. Maka, wajar jika publik geram dan curiga,” tegas Bukhori.
Anggota Badan Legislasi DPR RI ini menjelaskan, negara harus hadir memberikan kenyamanan dan keamanan warganya dalam menjalankan ibadah. Konstitusi memberikan mandat kepada negara untuk menjamin setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, dalam Pasal 28G (1) UUD NRI Tahun 1945 turut ditegaskan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra saat membaca putusan permohonan uji materi UU Administrasi Kependudukan pada November 2017 menjelaskan, ketentuan pada pasal 28E ayat (1) dan (2) merupakan pengakuan konstitusi terhadap hak atas kebebasan beragama bagi siapapun.
Di sisi lain, Saldi juga menilai hak dasar untuk menganut kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.
“Keamanan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan adalah hak asasi yang dilindungi oleh hukum. Sebagai umat beragama, kita berhak untuk terlindung dari rasa takut, terbebas dari teror, dan terhindar dari ancaman dalam menjalankan aktivitas keagamaan,” imbuhnya.
Dengan demikian, kita berhak menagih janji konstitusi itu apabila negara gagal menunaikan hak warga negaranya, kritik anggota Komisi Agama DPR ini.
Lebih lanjut, anggota DPR yang pernah duduk di Komisi Hukum ini mempertanyakan alasan penyidik dari pihak kepolisian lebih mengedepankan pemeriksaan riwayat historis pelaku yang diklaim pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa ketimbang mendahulukan proses pemeriksaan tindak pidana. Terlebih, pelaku juga mengakui dirinya seorang komunis.
“Polisi perlu mendalami sisi ini (red; pengakuan komunis). Teka-teki terkait penyerangan yang selalu menyasar ustaz atau ulama juga harus diungkap selebar-lebarnya,” tegasnya.
Politisi PKS ini melanjutkan, dirinya tidak menampik adanya indikasi teror dilakukan oleh simpatisan komunis sehingga berharap pemerintah tidak memandang kasus ini sebelah mata.
Serangan terhadap tokoh agama oleh kelompok komunis terbukti memiliki fakta historis dan benar adanya. Pola kekerasan digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya untuk menebar teror demi menyebarkan dan mengukuhkan kekuatan politik dan ideologi anti-agamanya di tengah masyarakat, paparnya.
Demi menghindari spekulasi liar yang terus berkembang di publik, Bukhori mendesak kepolisian mengungkap kasus ini secara adil dan transparan. Kasus penyerangan yang menyasar tokoh agama dari umat Islam yang terus berulang telah mengusik ketenangan mereka. Suasana menjadi tegang karena hilangnya rasa aman dalam beribadah lantaran dihantui perasaan terancam.
“Pemerintah harus segera menghentikan teror pada ulama maupun tokoh agama lainnya. Insiden penyerangan ini tidak hanya melukai fisik ustaz selaku korban secara langsung, tetapi juga melukai perasaan kami selaku umat Islam. Sebab itu polisi harus mengungkap kasus ini secara transparan semata-mata demi memenuhi rasa keadilan umat Islam.” tutupnya.