MONITR, Bogor – Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi mensinyalir dengan kondisi produksi jagung dalam negeri saat ini dalam cukup untuk memenuhi kebutuhan, terjadinya anomali harga pakan ternak naik secara implisit memiliki kepentingan untuk dilakukan impor jagung. Pasalnya, mengacu data prognosa produksi jagung dengan kadar air 14% tahun 2021 sebesar 18,7 juta ton, kebutuhan setahun untuk pakan, konsumsi dan industri pangan totalnya hanya 16,3 juta ton.
Oleh karena itu, sambungnya, kondisi jagung dalam negeri aman dan cukup. Hal ini diperkuat dengan data stok jagung minggu ke-II September 2021 sebesar 2,6 juta ton. Secara rinci terdapat di Gabubangan Pengusaha Makanan Ternak 722 ribu ton, pengepul 744 ribu ton, agen 423 ribu ton, sisanya di eceran, rumahtangga, industri olahan dan usaha lainnya.
“Jadi, jangan ada yang menompangi untuk persiapan pesta demokrasi 2024 sehingga harus mendorong impor padahal jagung dalam negeri masih cukup. Kalau impor terjadi, maka harga jagung dalam negeri akan anjlok. Mohon semua menyadari ini. Intinya kita harus menahan tidak ada impor. Pemerintah tidak boleh gagal fokus karena terjadi penurunan harga telur karena pakan mahal, sehingga mendesak untuk impor jagung,” demikian ditegaskan Prima Gandhi di Bogor, Senin (20/9/2021).
Menurut pria yang akrab disapa Gandhi ini, menghadapi situasi peternak ayam, harus dengan pemahaman yang teliti dengan mengurai apa masalah utamanya apa. Kenaikan harga pakan ternak bukan disebabkan karena faktor ketersediaan jagung dalam negeri, namun harus membedah tata niaga jagung dan pakan ternak yang dikuasai oleh kartel atau perusahaan atau pedagang besar sehingga suatu waktu dengan mudah memainkan stok dan harga yang ujungnya menginginkan impor demi meraup keuntungan yang lebih besar.
“Oleh karena itu, jangan grusah-grusuh nanti bisa salah ambil keputusan. Mari kita urai dan dianalisis secara tajam dibalik jagung itu ada masalah apa, juga dibalik harga telur anjlok itu sumber masalahnya apa. Ini ada misteri yang terus berulang ulang,” ucapnya.
Gandhi menjelaskan jika terjadi impor jagung, secara langsung dapat menyebabkan harga jagung dalam negeri terjun bebas sehingga petani mengalami kerugian dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri juga akan mendapat prestasi buruk, apalagi kondisi masyarakat dihadapkan pada dampak pandemi covid 19. Oleh karena itu, hal yang utama dan penting untuk dilakukan adalah pengawasan mekanisme pasarnya agar harga jagung di pasar tidak dikuasai kartel.
“Jika jagung dikuasai kartel, peternak kecil akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pakan ternaknya. Berbeda dengan peternak besar yang mudah mendatangkan jagung dalam jumlah banyak dengan harga murah. Tolong semua menyadari ini. Petani jagung harus dilindungi dan peternak kecil harus dilindungi juga,” bebernya.
“Apalagi jagung itu tanaman musiman sementara peternak butuh harian, juga sentra-sentra jagung lokasinya ada yang jauh dari sentra ternak. Aspek sistem logistik dan distribusi ini mempengaruhi tata niaga dan rantai pasok jagung. Masalah utama yang harus dituntaskan adalah di disparitas harga telur,” tambah Gandhi.
Lebih lanjut mengungkapkan marjin tata niaga telur dalam negeri tidak efisien. Middleman menikmati marjin besar sehingga bisnis telur yang tajir dibandingkan tata niaga jagung.
“Harga telur di peternak Blitar Rp 14.000/kg sedangkan harga di pasar atau konsumen lebih dari Rp 19.000/kg. Ini yang harusnya menjadi fokus dan dibenahi. Potong itu rantai pasok tata niaga, sehingga efisien,” tuturnya.
“Kedepan harus dicari inovasi komoditas penganti jagung yang memiliki nilai keekonomian. Agar kejadian ini tidak berulang setiap tahunnya. Salah satunya perguruan Tinggi bisa diajak kerjasama,” imbuh Gandhi.