Jumat, 19 April, 2024

Inilah Momentum jadi Koruptor

Oleh: Muh Fitrah Yunus*

Selamat datang di negara +62, dimana korupsi merajalela, suap sana suap sini dilakukan penuh hikmat tanpa pandang malu. Operasi tangkap tangan pun selalu berhasil. Heroik, heboh, tapi saat dijatuhkan sanksi, hukumannya “lembek”. Keputusannya penuh muslihat, lobi sana-lobi sini, dihiasi tipu-tipu. Alasannya kemanusiaan. Padahal, perbuatannya merampok uang rakyat. Selepas ditahan, dijadikan duta anti korupsi.

Penulis tidak sungkan mengatakan–tapi bukan untuk menghimbau–bahwa inilah saat tepat untuk berbuat korupsi. Inilah momentum “menggarong” uang negara, uang rakyat. Inilah saat dimana rezim kencang teriak pemberantasan korupsi, namun di saat yang sama tak dapat berbuat apa-apa saat putusan pengadilan memberikan keringanan hukuman pada koruptor.

Rezim tidak dapat berbuat apa-apa saat ketidakadilan dalam penegakan hukum terlihat jelas di depan mata dengan alasan tak boleh diintervensi, katanya melanggar undang-undang. Lantas, untuk apa teriak pemberantasan korupsi saat kampanye pilpres?

- Advertisement -

Siapa yang tidak heran melihat betapa diistimewakannya koruptor saat ini. Segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan wewenang oleh para koruptor diberikan sambutan hangat dengan memberikan keringanan-keringanan hukuman yang sesungguhnya tidak seimbang dengan kerugian negara dan pengkhianatan pada amanat rakyat. Sementara rakyat yang berharap banyak pada KPK untuk “garang” pada koruptor, saat ini juga tak dapat lagi dititipkan harapan.

Kembali Menyoal Revisi UU KPK

Akar dari segala masalah pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini bermula dari revisi UU KPK. Bagi penulis, revisi UU KPK bukanlah barang mahal, namun sangat mahal. Mengapa? Karena menelan beberapa korban tewas dan luka-luka pada demonstrasi penolakannya.

Sebelum disahkannya, penolakan demi penolakan hadir dari para pakar hukum, aktivis anti korupsi, bahkan dari dalam KPK sendiri. Beberapa poin yang menjadi masalah bahwa yang mengangkat dewan pengawas KPK pasca revisi UU KPK adalah presiden. Kemudian komisioner yang tak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dapat diganti dengan persetujuan presiden.

Selain itu, status kepegawaian KPK yang akan berubah menjadi Aparatur Sipil Negara juga menjadi soal karena harus melalui serangkaian tes yang dihadapi oleh para pegawai KPK. Padahal, pegawai KPK saat itu sudah malang melintang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Akhirnya, disinyalir ada upaya penjegalan atas beberapa pegawai KPK, utamanya penyidik yang sangat “getol” dalam pelaksanaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sering dilakukan KPK.

Kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan KPK harus berdasarkan izin dewan pengawas pun menjadi alasan kuat atas pelemahan yang terjadi pada KPK. Apalagi, dewan pengawas langsung diangkat oleh presiden yang syarat dengan conflict of interest.

Melanggar Kode Etik
Salah satu kecurigaan atas upaya pelemahan KPK itu terbukti saat Ketua KPK, Firli Bahuri, melanggar kode etik sebagai pimpinan KPK.

Belum lama menjabat sebagai ketua, Firli Bahuri sudah melanggar kode etik dan pedoman berprilaku terkait penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi. Firli terbukti melanggar Pasal 4 ayat 1 huruf n dan Pasal 8 ayat 1 huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, yaitu melanggar prinsip integritas dan kepemimpinan.

Sayangnya, sebagai ketua KPK yang seharusnya memberikan teladan yang baik pada pimpinan yang lain, para pegawai KPK, utamanya pada rakyat, Firli Bahuri hanya diberikan sanksi ringan yaitu teguran tertulis II oleh dewan pengawas KPK. Dalam peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020, teguran itu hanya berlaku 6 bulan.

Gayung bersambut. Setelah Firli Bahuri melakukan pelanggaran kode etik, wakil ketua KPK, Lili Pintauli Siregar juga tak ingin kalah. Lili pun melakukan pelanggaran kode etik dimana memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial, guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.

Lili juga dinilai telah berhubungan langsung dengan M. Syahrial terkait dengan kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai. Saat itu, Lili memberi tahu M. Syahrial mengenai kasus jual beli jabatan yang tengah ataupun sedang diusut. Akhirnya, Lili pun terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman, yang menurut penulis, sangat ringan. Sanksi yang diberikan oleh Dewan Pengawas KPK yaitu pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan, dimana gaji perbulan Lili sebagai pimpinan KPK sebesar 4.620.000 rupiah. Artinya, hanya dipotong sebesar 1.848.000 rupiah tiap bulan. Luar biasa ringannya!

Momentum
Itulah mengapa penulis katakan bahwa sekaranglah momentum jika para pejabat negara ingin tampil sebagai koruptor. Siapa sih yang tak ingin menjadi koruptor yang dimanusiakan, di tengah internal lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi juga hobi melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik yang sebelumnya tabu dilakukan.

Sebagai rakyat, janganlah kita pernah lupa kasus demi kasus baik korupsi, suap, mafia hukum, yang di tahun ini dipertontonkan “bak” sinetron oleh para penegak hukum. Dimulai dari Kasus Djoko Tjandra yang belasan tahun melarikan diri tapi mendapat keistimewaan yaitu remisi hukuman. Sementara, dalam Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, mendapatkan remisi mensyaratkan berkelakuan baik. Melarikan diri adalah bentuk melawan hukum.

Kasus Djoko Tjandra juga menyandera seorang jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari. Jaksa Pinangki terbukti menerima suap senilai 500.000 dollar AS atau senilai 7 miliar rupiah. Anehnya, Jaksa Pinangki yang diberikan hukuman 10 tahun pidana penjara, dipotong menjadi hanya 4 tahun dengan alasan dalam pemeriksaan Jaksa Pinangki kooperatif dan saat ini memiliki balita berusia 4 tahun.

Tak juga lepas dari sorotan yaitu mantan menteri sosial, Juliari Batubara. Kasus korupsi yang dihadapinya termasuk pidana berat karena dilakukan di tengah bencana luar biasa dunia, yaitu pandemi Covid-19. Seharusnya, Juliari Batubara dapat hukuman pidana penjara seumur hidup, tapi hukuman yang dijatuhkan hanya 12 tahun pidana penjara.

Dengan ini, semestinya rezim dapat responsif dengan segala bentuk penyimpangan hukum baik yang dilakukan oleh pejabat negara dan para penegak hukum. Tujuannya tak lain adalah untuk menegaskan segala janji politik atas pemberantasan korupsi. Di samping itu, demi menumbuhkan rasa percaya masyarakat bahwa revisi UU KPK–yang sempat menelan korban pada saat ingin disahkan–dapat memberikan jawaban terhadap kecurigaan masyarakat atas upaya pelemahan KPK. Jika tidak, maka inilah momentum jadi koruptor: hukuman dapat diskon, lepas dari tahanan masih bisa jadi komisaris BUMN, lepas dari tahanan masih ditunjuk jadi duta anti korupsi.


*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Pemerhati Kebangsaan

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER