MONITOR, Makassar – Pemanfaatan ilmu pengetahuan (sains) perkembangan teknologi dan inovasi menjadi salah satu upaya strategis untuk mencapai pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber kuliah umum yang digelar SDGs Center Universitas Hasanuddin (Unhas) secara daring, Kamis (05/08/2021).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut mengatakan bahwa pada era industry 4.0 saat ini hampir seluruh aspek kehidupan makin tidak mudah diprediksi. Namun, satu hal yang pasti bahwa kebutuhan manusia pada tatanan global terhadap pangan maupun jasa-jasa lingkungan yang berkualitas akan terus meningkat.
“Dari perspektif pembangunan berkelanjutan, pembangunan ekonomi berada di persimpangan jalan. Di sisi lain, masyarakat dituntut untuk memanfaatkan sumber daya dan memproduksi barang serta jasa untuk pemenuhan kebutuhan guna mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujarnya.
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu memaparkan sejumlah pada masa pandemi, banyak tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam status pembangunan Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi rendah, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, ketimpangan ekonomi hingga defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
“Pemanfaatan perkembangan teknologi menjadi salah satu upaya strategis yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia emas 2045,” terangnya.
Pertanyaannya kemudian, kata Prof Rokhmin mengapa upaya mondial dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan mensejahterakan warga dunia (SDGs) sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti yang kita harapkan? Hal tersebut karena selama ini hampir semua kebijakan dan program penanggulangan kerusakan lingkungan hanya menyentuh fenomenanya, bukan akar masalah (root causes) nya.
“Akar masalah pembangunan dan lingkungan hidup adalah teknologi (aspek teknis), moralitas, khususnya orang-orang atau bangsa-bangsa yang punya power (kekuasaan) itu mayoritas sangat hedonis, greedy, dan hegemonis,” ungkapnya.
Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan itu mencontohkan dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah ’ala kadarnya’ kepada negara-negara berkembang (miskin). Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, negara-negara industri maju sendiri tidak mau mengurangi emisi CO2.
“Saat ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil. Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita. Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita (IPCC, 2019),” jelasnya.
Ketidak-adilan iklim inilah , tegas Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan itu yang merupakan ‘biang kerok’ dari pemanasan global. Selain itu, teknologi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap Global Warming, tsunami, kebakaran hutan, gempa bumi, dan bencana alam lainnya pun masih terbatas, khususnya bagi negara-negara berkembang (miskin).
Adapun proyeksi kebutuhan sains, teknologi dan inovasi untuk pencapaian SDGs menurut Prof Rokhmin meliputi: pertama, pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan suatu wilayah pembangunan atau negara berupa peningkatan produktivitas ekosistem alam (seperti hutan, danau, sungai, pesisir, dan laut).
“Peningkatan kapasitas asimilasi ekosistem alam seperti ‘river training’, penanaman mangrove, dan penyuburan perairan untuk tingkatkan populasi
dan densitas fitoplankton (microalgae) dan lain-lain,” katanya.
Kedua, restorasi ekosistem alam yang telah rusak berupa replanting, coral transplantation, restocking, stock enhancement, bioremediasi dan lain-lain.
Ketiga, Pemanfaatan dan pengelolaan SDA (hutan, lahan pertanian, perikanan, ekosistem perairan, dan lainnya) secara produktif, berdaya saing,
mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Keempat, pengurangan dampak negatif (stressors) dari berbagai macam kegiatan manusia dan pembangunan terhadap ekosistem alam melalui 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle); zero-waste processing (manufacturing) industries; design and construction with nature; dan lain-lain.
Kelima, pengembangn energi terbarukan untuk mengurangi emisi GRK (khususnya CO2) ke atmosfir.
Keenam, pengembangn teknologi dan proses ekonomi (produksi, transportasi, dan konsumsi) yan mampu mengurangi emisi GRK (khususnya CO2) ke atmosfir.
Ketujuh, valuasi ekonomi tentang nilai ekonomi yang sesungguhnya (true economic value) dari ekosistem alam.
Kedelapan, National Resources Accounting.
Kesembilan, Social engineering untuk mentransformasi budaya dan life style yang hedonis, boros, dan hegemonis menjadi yang baik dan ramah lingkungan.
Kesepuluh, Institutional arrangement yang kondusif bagi implementasi pembangunan berkelanjutan.