MONITOR, Jakarta – Saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia telah memasuki Musim Kemarau, tentunya perlu diwaspadai dan diantisipasi kekeringan pada lahan pertanaman untuk mengamankan target produksi tanaman pangan. Tantangan akan kebutuhan inovasi teknologi sederhana yang dapat diterapkan oleh petani secara mandiri dan spesifik lokasi perlu dipikirkan bersama.
Untuk menjawab tantangan tersebut, dilakukan dialog interaktif dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian yang berjudul “Teknologi Sederhana Adaptasi Kekeringan” (29/07/2021).
Menurut prediksi iklim 2021, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, Dodo Gunawan merekomendasikan untuk mewaspadai potensi kekeringan di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, dan NTB yang puncaknya terjadi di bulan Juli dan Agustus. “Waspadai potensi ketersediaan air tanah dan sesuaikan pola tanam dengan memilih varietas toleran kekeringan”, tambah Dodo.
Sejalan dengan rekomendasi tersebut, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi, menambahkan bahwa perlunya membuat terobosan agar bisa tetap bertanam di kondisi ketersediaan air yang tidak optimal. “Perlunya mengembangkan teknologi hemat air, penggunaan air secukupnya tapi pertanaman tetap produktif”, imbuh Suwandi.
“Beberapa strategi adaptasi kekeringan dapat dilakukan melalui mapping wilayah rawan kekeringan, early warning system dengan pemantauan informasi iklim, pompanisasi, rehabilitasi jaringan tersier/kwartier, benih toleran kekeringan, serta keikutsertakan petani dalam Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)”, tambah Suwandi.
Beberapa contoh teknologi sederhana adaptasi kekeringan yang dapat diterapkan oleh petani diungkapkan Elza Surmaini, salah satu Pengurus Pusat PERHIMPI yang juga sebagai Peneliti di Baliklimat. Teknologi tersebut diantaranya teknologi hemat air, infrastruktur panen air, teknik penyiraman, dan teknik pengelolaan lahan dan air. “Selain itu dapat juga menyiasati kekeringan dengan cara percepatan tanam (GOWAH, GORA, Sistem Culik), pengembangan teknologi pemanfaatan air permukaan dan air tanah (pompa irigasi dan sumur bor) dan penggunaan pembenah tanah. Namun perlu diingat penanganan terbaik untuk adaptasi kekeringan adalah pemanfaatan informasi prediksi kekeringan pertanian”, jelas Elza.
Menyambung pernyataan Elza terkait pemanfaatan air permukaan, Tenaga Ahli Menteri Pertanian yang biasa dipanggil Pak Syarif menyatakan perlunya sinergisme dan isnkronisasi program serta anggaran antara Kementan dan Kementerian PUPR dalam pemenuhan kebutuhan air di pertanaman. “Sinkronisasi mulai dari lokasi, pengembangan jaringan irigasi, inovasi teknologi, data CPCL, serta penyiapan lahan pertanian (land clearing serta olah tanam)”, tandas Syarif.
Kepala UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah Herawati Prarastyani yang akrab disapa Hera menyampaikan terima kasih atas dukungan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan atas dukungan berupa bantuan penanganan kekeringan di wilayah kerjanya.
“Alokasi bantuan penanganan kekeringan dengan kegiatan diantaranya pembuatan sumur suntik/sumur dangkal, bantuan pompa, serta padat karya penanggulangan dampak kekeringan sangat bermanfaat dalam mengamankan produksi tanaman pangan, ada penambahan luas tanam serta menambah kesempatan kerja di sektor usaha tani melalui padat karya tersebut”, ujar Hera.
Salah satu contoh keberhasilan pemanfaatan teknologi adaptasi kekeringan dilakukan oleh Kelompok Tani Makmur, Desa Getas, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, salah satu kelompok tani yang memanfaatkan bantuan pembuatan dan pengembangan sarana pengaliran air.
Jazuli, ketua kelompok tani tersebut mengatakan bahwa sebelum mendapat bantuan kondisi lahan kelompok tanya bisa panen sekali dalam setahun, sementara ketersediaan air permukaan yang bersumber dari Sungai Bengawan Solo sangat optimal dan terus menerus tersedia. “Sangat disayangkan, kami tidak bisa memanfaatkan air sungai tersebut karena posisi lahan kami lebih tinggi dan agak jauh dari aliran Sungai Bengawan Solo”, ungkap Jazuli.
“Dengan bantuan pengembangan jaringan pengaliran air kepada kelompok kami, Alhamdulillah lahan kami sekarang menjadi lahan yang produktif, kami sangat senang dan berterima kasih kepada Ditjen Tanaman Pangan. Teknologi ini sangat mungkin untuk dilakukan oleh kelompok tani lain yang ingin memanfaatkan sumber air sungai namun terkendala oleh jarak yang jauh/”, demikian tambah Jazuli.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Mohamad Takdir Mulyadi dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa salah satu indikator kinerja Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan adalah Rasio Luas Terkena DPI (banjir dan kekeringan) yang dapat Ditangani Terhadap Luas Terkena DPI minimal 60%, untuk itu perlu terus didorong upaya pemanfaatan teknologi adaptasi kekeringan.
“Beberapa upaya adaptasi kekeringan yang dapat dilakukan yaitu mengakses informasi iklim, normalisasi saluran/penampungan air, budidaya sesuai iklim setempat, optimalisasi bantuan pompa/gerakan penanganan kekeringan, optimalisasi kegiatan Dem Area Penanganan DPI/Penerapan Penanganan DPI, menjadi peserta AUTP, serta bantuan benih bagi yang mengalami Puso”, tegas Takdir.