Kamis, 25 April, 2024

Minim Pemanfaatan Potensi, Investasi dan Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan Masih Prosfektif

MONITOR – Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof DR Ir. Rokhmin Dahuri, Msi mengatakan bahwa ruang pengembangan ekonomi sektor kelautan dan perikanan masih sangat terbuka lebar dengan potensi besar baik di sektor perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan hingga bioteknologi kelautan. Sektor tersebut menjadi andalan Indonesia dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional karena terbukti mampu bertahan ditengah krisis termasuk saat pandemi covid-19.

“Kita tahu Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan Luas Laut Teritorial: 3,4 juta km2, Luas Laut ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) 3 juta km2, Panjang Garis Pantai: 108.000 km atau terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia juga memiliki jumlah pulau 17.504 yakni 16.056 bernama dan 1.448 tidak bernama,” katanya saat menjadi keynote speach dalam webinar Seminar Nasional Perikanan (Semnaskan) UGM XVIII yang diselenggarakan Departemen Perikanan Fakultas Pertanian UGM yang digelar secara daring, Senin (26/7/2021).

“Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia dimana kontribusinya lebih dari 30 persen,” tambahnya.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu menerangkan total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020 dengan potensi menyerap lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia.

- Advertisement -

Prof Rokhmin mengungkap trend Produksi Perikanan Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2020 didominasi oleh perikanan budidaya dimana sejak 2010, produksi perikanan budidaya melebihi produksi perikanan tangkap. “Hingga 2019, perikanan budidaya menyumbang sekitar 68,4% total produksi perikanan Indonesia,” ungkapnya.

“Peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa. Sementara itu hingga 2020, produksi perikanan budidaya masih didominasi dari komoditas Rumput Laut (64,2%),” ujarnya.

Sementara itu untuk sub sektor pengolahan hasil perikanan, pada periode 2015-2019, capaian volume produk olahan hasil perikanan terus meningkat, rata-rata 5,27% per tahun. “Pada 2018, sebaran produksi olahan ikan dari UPI terbesar berasal dari wilayah Jawa, disusul Sumatera, dan Sulawesi,” katanya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu mencatat periode 2015-2020, angka konsumsi ikan nasional terus meningkat rata-rata 6,5 persen per-tahun. “Ikan merupakan salah satu pilihan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dengan kontribusi mencapai kurang dari 50% dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi penduduk Indonesia,” tegasnya.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga memaparkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia diantaranya pertama, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

“Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah,” tandasnya.

Kedua, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). “Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan alias miskin,” paparnya.

Ketiga, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. “Tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi,” terangnya.

Keempat, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Terkait dengan berbagai problem yang dipaparkannya tersebut, Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara itu mengatakan butuh kebijakan dan program yang tepat diantaranya Optimalisasi dan industrialisasi perikanan tangkap, Revitalisasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi usaha perikanan budidaya, Revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan ikan.

“Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability)nya,” katanya.

Program dan kebijakan lainnya adalah peningkatan produktivitas dan produksi garam konsumsi dan industri, Peningkatan produksi industri bioteknologi dan jasa kelautan, Peningkatan pemasaran di dalam negeri dan ekspor, Pengembangan emerging sectors, Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan lingkungan, peningkatan penelitian pengembangan dan peningkatan SDM, serta dukungan infrastruktur dan sarana.

“Ekstensifikasi usaha di lahan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut karagenan); payau (udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut agar-agar); maupun darat (nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah),” ungkapnya.  

“Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya,” jelasnya.

Sebelumnya pada kesempatan yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono mendorong akademisi untuk berkontribusi dalam memajukan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Salah satunya dengan mengembangkan dan menguatkan riset,  inovasi, serta teknologi bidang kelautan dan perikanan.

“Hasil-hasil riset menjadi bagian penting dalam proses penemuan teknologi dan inovasi. Karenanya kita mohon bantuan akademisi memikirkan kemajuan teknologi bidang kelautan dan perikanan Indonesia,” katanya.

Trenggono menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya yang besar dan menjadi andalan  perekonomian nasional baik di sub sektor perikanan tangkap maupun perikanan budi daya. Bahkan, sektor ini mampu bertahan saat hantaman krisis moneter pada tahun 1998 dan pandemi Covid-19. Dengan adanya dukungan riset, inovasi, dan teknologi diharapkan dapat mendorong produktivitas dan kualitas hasil perikanan lebih optimal serta membantu pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi.

Dalam kesempatan itu, ia turut menyampaikan tiga program terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2021-2024. Kebijakan tersebut diambil dalam rangka melaksanankan program pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan.

Terobosan pertama, peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan. Kedua, pengembangan budi daya untuk peningkatan ekspor yang didukung riset kelautan dan perikanan. Ketiga, pembangunan kampung-kampung perikanan budi daya tawar, payau, dan laut berbasis kearifan lokal.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER