Oleh: Imron Wasi*
ADALAH sesuatu hal yang tidak bisa dinafikan oleh siapa pun, bahwa Pemilu setelah Orde Baru, tepatnya Era Reformasi mengalami transformasi besar dalam tata-kelola kepemiluan dan sistem politik di Indonesia. Terlepas dari pesatnya kemajuan di bidang Pemilu, realitas politik menunjukkan hal yang masih sama, yakni masih belum surutnya animo masyarakat dalam melakukan check and balances kepada institusi modern, seperti partai politik dan para politisi. Intensitas masyarakat dalam melakukan pengawasan dan kontrol kepada lembaga negara, melalui kritik publik, dalam hal ini legislatif juga ditengarai karena masih belum optimalnya kinerja yang dilakukan. Alih-alih hendak mengamalkan dan mengaktualisasikan sejumlah agenda reformasi, justru malah terjebak pada praktik koruptif yang telah dilakukan oleh oknum-oknum tertentu, yang kadung menciderai nilai dan prinsip demokratis.
Transformasi yang terjadi tentu sangatlah esensial, terutama dalam iklim demokratis. Pada saat yang sama, perubahan tersebut membawa iklim yang lebih ‘berisik’ atau memunculkan riak-riak dalam kapal yang kerap kita agung-agungkan, yaitu demokrasi. Secara realitas politik kontemporer, terlihat dan terdengar pula adagium seperti “Namanya juga demokrasi, pasti ramai, heboh, dan berisik” serta interpretasi lainnya. Akan tetapi, kehebohan dan keberisikan itu tentu harus memiliki instrumen yang arif, bijaksana, memegang teguh prinsip transparansi, etos kerja tinggi, mengutamakan kepentingan masyarakat secara umum, dan asas-asas lainnya. Karena, pada saat yang bersamaan, apabila kehebohan dan keberisikan itu tampil dalam pentas politik regional, nasional, dan internasional, dan koheren terhadap kinerja baik, maka sudah barang tentu masyarakat akan mengapresiasi (reward) kinerja para wakil rakyat dan parpol. Dan sebaliknya, apabila partai politik dan para politisi ‘kehebohan dan keberisikannya’ tidak berbanding lurus dengan kinerja yang baik, maka akan mendapatkan punishment secara eksklusif dari konstituen dan kliennya, dalam hal ini, warga negara.
Secara umum, tingkat kepercayaan khalayak publik terhadap para politisi dan partai politik juga sering kali mengalami kemerosotan. Hal ini terjadi karena para politisi dan partai politik belum memaksimalkan tugas dan fungsi sosialnya sebagai sebuah entitas modern. Padahal, sebagai aktor demokrasi, sudah semestinya menjadi pelopor pembaharu dan memberikan teladan yang baik kepada khalayak publik. Secara praksis riil, ketidaksesuaian antara retorika dengan tindakan yang dilakukan para politisi yang terhimpun dalam keanggotaan atau menjadi kader parpol tidak berbanding lurus. Sehingga, masyarakat secara klise merasakan kekecewaan yang sangat besar, terlebih saat mengkhianati atau berselingkuh dengan nilai-nilai hasil reformasi dan demokrasi.
Komunitas anak-anak muda di pelbagai wilayah juga tampak antusias dalam mengikuti perkembangan politik di Tanah Air, termasuk di aras lokal. Hal ini menepis persepsi yang selama ini berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, yang kerap mengatakan bahwa pemuda bersifat apatis terhadap dunia politik. Bahkan, kalangan anak muda dalam proses elektoral ke depan, diprediksi akan memiliki sumbangsih besar, karena secara persentase, pemilih yang masih bersifat muda cukup banyak. Dan, sangat rasional sekali apabila pelbagai institusi partai politik berbondong-bondong melakukan seleksi dan/atau rekrutmen kepada anak-anak muda agar dapat terlibat atau bergabung ke partai politik tertentu. Karena, basis massa kalangan anak muda begitu besar, terlebih memiliki pemikiran yang progresif, visioner, inovatif, kreatif, dan mampu beradaptasi secara cepat, konsisten, dan sustainable dalam mengikuti perkembangan peradaban yang semakin kompetitif.
Skeptisme Publik
Secara realitas politik mutakhir, pergulatan kalangan anak muda dalam iklim demokratis juga telah terkonfirmasi dari sejumlah komposisi struktur lembaga negara yang memiliki keterwakilan; suatu bentuk yang memecah status qou. Angin segar ini tentu mendapatkan respons yang sangat baik dari khalayak publik, karena anak-anak muda mampu menerobos sekat-sekat yang bersifat ‘kolot’. Dalam bahasa lain, memiliki identitasnya yang mampu mengakselerasi informasi, komunikasi, dan teknologi. Secara global, hal ini juga diafirmasi dari Michael Sessions yang terpilih sebagai walikota termuda. Dalam sejarah politik Amerika, Michael Sessions yang berusia 18 tahun telah membuktikan bahwa dirinya terpilih sebagai walikota; terlepas dari berbagai kalangan yang menyoroti dirinya, karena ketidakpercayaan terhadap dirinya yang masih sangat muda. Selain itu, dalam percaturan politik di Indonesia kontemporer juga terlihat secara eksplisit bahwa Kalangan anak muda juga terlibat sebagai subjek dalam iklim politik praktis; baik secara nasional maupun subnasional.
Dalam kaitan tersebut, catatan ini akan lebih memfokuskan pada representasi kalangan anak muda dalam politik aras lokal, termasuk mengamati proses kinerjanya, dan tak luput juga dari mata publik adalah apakah mampu menciptakan paradigma kritis-rasional di tengah gerontokrasi parlemen di DPRD Kabupaten Lebak.
Secara historis kebangsaan, keterlibatan elemen pemuda dalam transformasi di dalam suatu negara sangatlah memiliki andil yang sangat besar. Karena, sedari awal pemuda sebagai katalisator dalam setiap peristiwa suatu bangsa dan negara. Hal ini tercatat dalam etalase-etalase kesejarahan demostik dan global. Biasanya, resonansi yang mengarah kepada perubahan secara holistik berawal dari tingginya intensitas common enemy yang mencoba menggrogoti tatanan sosial. Ada yang berjuang dari luar maupun dari dalam.
Pada proses elektoral 2019 silam, di aras politik lokal, dalam hal ini parlemen, ada keterwakilan sosok yang masih muda. Tiada aral yang melintang, akhirnya sampai pada titik kulminasi. Ia dilantik sebagai Ketua DPRD Kabupaten Lebak pada Senin, 26 April 2021, meneruskan kepemimpinan sebelumnya. Pada kesempatan yang sama, saat menduduki sebagai pucuk pimpinan, sebagian besar khalayak publik mencoba mengkonstruksi diskursus di ruang-ruang publik, terutama karena masih mudanya sosok yang memimpin DPRD Kabupaten Lebak. Dengan kata lain, seolah khalayak publik tidak memercayai kapasitasnya. Sumber ketidakpercayaan ini berawal dari sisi usia yang masih sangat muda.
Pada saat yang sama, khalayak publik juga menanti ide-ide brilian, kreatif, inovatif, dan visioner, termasuk dalam mengawal produk-produk politik yang dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Ruang-ruang publik bagi kalangan anak-anak juga sangat diperlukan dan dapat menciptakan kualitas kinerja yang baik, serta dapat melakukan check and balances yang kritis-rasional kepada eksekutif. Skeptisme publik harus terjawab dengan kinerja yang sangat baik, misalnya, mengawal aspirasi masyarakat secara menyeluruh, meningkatkan pendidikan politik, mampu menjawab tantangan era disrupsi, termasuk pula dalam pengembangan teknologi komunikasi. Sependek pengamatan penulis, akses keterbukaan dan akuntabilitas kinerja yang telah dilakukan juga begitu minim. Masalah-masalah akut seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur masih harus terus dibenahi agar kualitas pelayanan prima benar-benar dapat terwujud secara maksimal.
Selanjutnya, tak hanya itu, komunikasi secara inheren juga perlu lebih ditingkatkan, agar kualitas produk politik yang diformulasikan, sesuai dengan kehendak dan/atau aspirasi masyarakat secara umum. Pekerjaan rumah yang sangat besar, terutama dalam mengikis kesenjangan sosial antarpenduduk; baik secara ekonomi, politik, dan hal ihwal lainnya. Sebagai seorang politisi, tidak boleh hanya memiliki pandangan yang ilusif; segala macam retorika harus dapat terwujud secara praksis riil, terutama dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat secara umum, agar keraguan dan/atau skeptisme publik dapat teralienasi dari persepsi-persepsi yang berkembang.
Pekerjaan Rumah
Kerja-kerja ekstra sangat dibutuhkan dalam menciptakan kualitas pembangunan, termasuk sumber daya manusia. Pelbagai metode harus dapat ditempuh, salah satu hal yang paling utama adalah dapat membangun sinergitas dengan pimpinan dan/atau anggota DPRD lainnya. Karena, dalam kehidupan politik praktis, segala sesuatunya bersifat kompleks. Sebagaimana yang telah diurai di atas, bahwa masih banyak agenda nasional (lokal) yang masih belum dimaksimalkan, sehingga masih belum berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertama, pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus lebih dimaksimalkan agar dapat menciptakan kohesivitas yang baik dalam memberikan pelayanan. Karena, pelayanan yang baik, sudah barang tentu akan bermuara pada kepercayaan publik kepada pemerintah. Dalam bahasa lain, masyarakat akan memberikan reward. Sehingga, hal ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan.
Selain itu, kedua, dapat mengontrol jalannya roda pemerintahan, agar tata-kelola pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, selama belum bisa melakukan self-disruption, maka tampak akan mengalami kesukaran yang lebih rumit. Self-disruption ini bisa dimaknai secara personal maupun kelembagaan, meminjam istilah Rhenald Kasali (2018), bahwa pada era disruption harus melakukan kerja-kerja ekstra dengan menjalin kerja sama. Dengan kata lain, melakukan kolaborasi, bergotong royong dan berbagi. Jadi, pekerjaan rumah tidak akan selesai jika dikerjakan secara sendiri, terlebih di era disruption.
Dalam hal ini, kerja sama bisa dilakukan dengan Perguruan Tinggi agar kualitas kebijakan yang dibuat juga sesuai dengan kaidah ilmiah yang juga memerhatikan kepentingan masyarakat secara umum. Dalam menjawab era disruption, yang paling utama adalah dapat menciptakan akuntabilitas kinerja, termasuk pelaksanaan reses, agar publik dapat melihat kinerja para wakil rakyatnya. Sebab, pemerintah harus melayani kliennya, dalam hal ini warga negara.
Tak hanya itu, secara faktual menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia pada kurun waktu 2018-2020 juga tampak bergerak secara pelan atau tidak mengalami peningkatan yang secara signifikan, terlebih pada 2019-2020. Masalah-masalah dalam mengurai kemiskinan juga masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Berdasarkan data yang tersaji di Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lebak dalam kurun waktu selama tiga tahun terakhir, yaitu 2018 (108,77); 2019 sebanyak (107,93); dan pada 2020 mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu sebanyak (120,83 ribu) jiwa.
Bahkan, di sisi yang lain, masih menurut laporan yang sama, kunjungan wisatawan nusantara juga tampak mengalami penurunan. Jika diakumulasikan pada 2019 terdapat sebanyak 750 641 jiwa dan pada 2020 sebesar 63 213 jiwa. Pada saat yang sama, wisatawan mancanegara juga mengalami penurunan, 2019 (84 jiwa) dan 2020 (14 jiwa). Selain itu, penurunan para wisatawan ini juga akan berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan asli daerah. Memaksimalkan keunggulan dan/atau potensi sumber daya alam daerah di tengah situasi yang tidak menentu karena ada wabah pandemi Covid-19, maka perlu dicermati secara bijak dengan memerhatikan asas lingkungan, dan lain sebagainya.
Pekerjaan rumah lainnya yaitu kinerja para wakil rakyat dalam membuat produk politik yang kadang belum optimal, terutama program legislasi daerah. Dan, pada beberapa pekan yang lalu, khalayak publik juga dihebohkan dengan pembahasan revisi RTRW. Kehebohan tersebut merupakan tantangan awal yang semestinya dapat direspons dengan baik. Hal ini terjadi karena minimnya komunikasi yang dilakukan. Seperti civil society hanya dijadikan sebagai kajian objek semata, tanpa dilibatkan dalam proses formulasi kebijakan. Terakhir, komunikasi secara vertikal dan horizontal perlu lebih ditingkatkan, agar potret parlemen juga turut membaik serta dapat membuat road map, grand design, dan/atau kerangka acuan kerja yang komprehensif. Karena, seperti yang sudah dinyatakan di awal, apabila hal tersebut tidak ada rencana atau konsep, maka akan berakhir pada sebatas ilusi atau bisa berakhir pada absurd.
*Penulis Adalah Analis Politik dan Pemerhati Kebangsaan sekaligus Direktur Sekolah Karakter di Banten Institute for Governance Studies (BIGS)