Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA*
MONITOR – Baru saja pada 17 Juni yang lalu, kita memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan (World Day to Combat Desertification and Drought). Peringatan ini berlandaskan pada ketetapan yang diberikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa–Bangsa pada 1994 melalui resolusi No. A/Res/49/115 yang menetapkan setiap 17 Juni sebagai Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan.
Tujuan peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan ini untuk meningkatkan kesadaran warga agar menjaga lingkungan sehingga terhindar dari kekeringan serta diharapkan dapat berkontribusi menanggulangi degradasi lahan secara besar.
Masalah degradasi lahan menjadi hal yang substansial bagi ruang kehidupan manusia dewasa ini. Proses menurunnya produktivitas lahan, baik sementara maupun secara tetap. Biasa disebut lahan kritis atau lahan yang tidak subur dan tidak bisa dipakai untuk pertanian maupun perkebunan.
Dalam analisa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), tahun 2025 diprediksikan akan ada 1,8 miliar penduduk akan mengalami kekeringan dan 2/3 penghuni bumi hidup dalam kondisi kekurangan air. Bahkan pada 2045 diprediksi aka nada sebanyak 135 juta orang akan berpindah tempat diakibatkan desertifikasi Masalah Lingkungan hidup selalu menjadi isu penting bagi seluruh masyarakat dunia. Karena urgensi itulah, kita perlu mewaspadai ancaman bencana alam yang dapat datang sewaktu–waktu.
Dalam sejarah lingkungan, isu krisis ekologi sudah menjadi diskusi kajian akademik dunia sejak 1960-1970- an, yang dikuatkan dengan diadakannya pertemuan pertama di Ganewa yang membahas dampak perubahan lingkungan. Saat itu, berbagai ilmuwan berdiskusi demi merespon perubahan lingkungan hidup yang masif sejak era industrialiasasi.
Analisa Empiris
Dalam A Dictionary of environmental and conservation, Krisis ekologi atau krisis lingkungan merupakan istilah yang tepat dalam menggambarkan permasalahan lingkungan hidup yang tengah kita hadapi saat ini. Krisis ekologi ini merujuk pada nilai kemorosotan lingkungan yang ditandai masalah peningkatan suhu bumi atau global warming, penipisan lapisan ozon, serta deforestasi hutan hujan tropis.
Belakangan, terminologi krisis lingkungan mengarah pada isu darurat iklim atau climate emergency. Daruratnya kondisi iklim terkini memerlukan penanganan secepatnya demi mencegah bencana ekologi yang terjadi secara global, seperti tantangan atas ancaman kepunahan massal, peningkatan suhu bumi dan permukaan laut,mencairnya es di kutub, cuaca ekstrim dan bencana perubahan iklim lainnya.
Pengertian krisis ekologi sebagaimana disebutkan diatas jelas terikat pada dimensi modern kontemporer, fase saat manusia mulai intensif mempengaruhi lingkungan. Namun, berdasarkan pengalaman sejarah peradaban manusia, masalah lingkungan hidup sejatinya bukanlah sesuatu hal yang benar-benar baru.
Hal itu setidaknya dikemukakan para peneliti sekaligus pemerhati lingkungan seperti Jared Diamond dalam tulisannya Collapse (2004) yang menegasikan permasalahan lingkungan hidup sebagai isu utama yang akan terus hadir dalam setiap peradaban manusia.
Sebagaimana halnya pandangan dari Jared Diamond, Fred Magdoff dan John Bellamy Foster dalam tulisannya What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment (2011) yang menyinggung masalah lingkungan hidup pada awal peradaban manusia. Mereka meyakini jika sejak masa kuno, manusia telah melakukan kegiatan ekstraksi alam yang dapat mengakibatkan parahnya kerusakan lingkungan seperti halnya masalah deforestasi, erosi tanah, dan salinasi tanah irigasi.
Sebagaimana yang telah didokumentasikan Plato dalam Timaeus and Criticas pada 427-347 SM.Hal serupa terjadi dalam babakan sejarah peradaban besar Mesopotamia dan Maya yang banyak ahli meyakini jika peradaban ini mengalami keruntuhan karena dipicu oleh kemunduran ekologi secara sistematis.
Krisis ekologi pada awal peradaban manusia memiliki kecendrungan berskala lokal dan tak mempengaruhi kerusakan yang terjadi pada wilayah lain. Sementara itu pada krisis ekologi kontemporer cendrung memengaruhi lingkungan hidup pada belahan dunia lainnya. Karena itu, banyak ahli yang meyakini jika berkembangnya krisis ekologi kontemporer disebabkan karena tidak terkontrolnya laju pertumbuhan penduduk, anomali kebijakan ekonomi yang sangat bebas dan semakin canggihnya teknologi telah memungkinkan banyak manusia lebih berani melakukan kegiatan eksploitasi alam secara intensif.
Kesadaran Pelestarian
Jika kita membaca sejarah lingkungan hidup yang terjadi pada masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial juga memberi perhatian yang serius terhadap pelestarian lingkungan hidup. Pemerintah kolonial secara cermat menerapkan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang dimulai sejak tahun 1870-an.
Munculnya gagasan perlindungan alam Hindia Belanda pada 1873 ini dipicu karena kondisi Hindia Belanda yang mulai sering mengalami dampak kerusakan lingkungan hidup.Sering terjadinya erosi tanah pertanian telah membuat pemerintah kolonial menyiapkan kebijakan perlindungan hutan secara serius. Hal itu mulai terlaksana sejak 1884 demi melindungi kawasan aliran sungai dan menjaga iklim hujan.
Memasuki era tahun 1900-an, gagasan konservasi cagar alam (natuurmonument) dan suaka margasatwa (wildereservaat) juga dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda turut mendorong program rekreasi alam yang ditargetkan oleh pemerintah Hindia Belanda demi berkontribusi bagi tambahan pemasukan ekonomi negara kolonial. (Peter Boomgard dalam “Oriental Nature, its Friends and its enemies : Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889—1949”, termuat di Environment and History 5, No. 3 tahun 1999).
Pasca kolonialisme, kesadaran dan kepekaan terhadap kerusakan lingkungan hidup terus berlanjut hingga akhir perang dunia II dan mencapai puncaknya pada 1970-an. Kerusakan ekologi yang terjadi era ini mulai berkembang seiring meningkatnya program industrialiasasi pada 1970-an dan juga karena faktor meningkatnya emisi karbon kendaraan bermotor, limbah beracun, dan peningkatan suhu bumi.
Tahun 1970 merupakan puncak dari gelombang kesadaran pelestarian lingkungan hidup era modern. Hal ini ditandai dengan semakin meluasnya gerakan protes kerusakan lingkungan, terutama di benua Amerika. Pada 22 April 1970, ada sebanyak 20 juta orang di benua Amerika turun ke jalan yang memprotes masifnya kerusakan lingkungan pada banyak negara. Kegiatan ini merupakan aksi protes lingkungan hidup terbesar pertama dalam sejarah dunia. Sejak saat itulah, isu lingkungan hidup menjadi agenda pembahasan penting dalam diskusi banyak negara di dunia bahkan berkembang hingga saat ini.
Belajar sejarah masa lalu, kesadaran pelestarian lingkungan membangunkan kembali menjadi refleksi rasional yang penting untuk dibudayakan bagi seluruh masyarakat dunia.
Karenanya, secara implementatif yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah paradigma besar menyangkut visi dan misi pembangunan lingkungan hidup secara berkelanjutan serta konsisten demi memenuhi ketahanan daya dukung ekosistem lingkungan hidup dapat terus berjalan secara normal tanpa ada kerusakan yang merugikan umat manusia.
Penulis adalah Analis, Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia