MONITOR, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu daya saing Kawasan Industri Kendal (KIK), Jawa Tengah agar lebih terintegrasi sehingga dapat menjadi daya tarik bagi para investor. Langkah ini perlu dilakukan melalui koordinasi dan kerja sama dengan pemangku kepentingan terkait, seperti lintas kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah.
“KIK sebagai salah satu klaster terintegrasi yang dapat menjadi contoh terhadap pengembangan kawasan industri lainnya di Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Rabu (9/6).
KIK merupakan wujud nyata kerja sama antara Indonesia dan Singapura, yang dibangun oeh PT Jababeka Tbk dengan Sembcorp Development Indonesia Pte. Ltd., anak perusahaan Sembawang Development Ltd. asal Singapura. Beroperasinya KIK diresmikan langsung Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada November 2016 lalu.
Menurut Menperin, pengembangan KIK akan terus diakselerasi menjadi kawasan industri padat karya berorientasi ekspor. Hal ini diyakini dapat mempercepat upaya pemulihan ekonomi nasional akibat dampak pandemi Covid-19.
“Kami mengapresiasi KIK saat ini sudah memiliki 66 tenant dengan capaian investasi sebesar Rp19,2 triliun. Investasi ini tentunya memberikan multiplier effect yang luas bagi perekonomian, di antaranya penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja,” paparnya.
Sebanyak 49% investor tersebut berasal dari Indonesia, kemudian 40% didominasi dari China, Taiwan, dan sisanya dari Singapura, Hongkong, Korea Selatan, serta Malaysia. Pembangunan KIK direncanakan sampai tiga tahap dengan total lahan seluas 2.200 hektare untuk menjadi kawasan industri terpadu yang didukung oleh pengembangan zona industri, pelabuhan, kota fesyen, dan permukiman.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Eko SA Cahyanto menyampaikan, pihaknya baru saja melakukan kunjungan kerja ke KIK.
“Kami sebagai pembina kawasan industri mendukung kelanjutan pembangunan KIK agar makin banyak investor yang masuk,” jelasnya.
Adapun usulan Kemenperin untuk mempercepat pembangunan KIK agar lebih berdaya saing, antara lain mendorong pembangunan pelabuhan, memfasilitasi harga gas yang kompetitif, dan mempercepat revisi Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal-Demak-Ungaran-Salatiga-Semarang-Purwodadi.
“Harga gas dan revisi Perpres merupakan dua prioritas yang kami usulkan untuk meningkatkan investasi di Kendal, khususnya di KIK,” ujar Eko.
Saat ini, KIK membutuhkan gas sebanyak 36,6 MMSCFD. “Industri eksisting yang menggunakan gas, yakni Inmas (pabrik susu kental manis) dan PT Daeyoung (perusahaan tekstil),” imbuhnya.
Menurut Eko, ketika melakukan kunjungan di PT Daeyoung. Perusahaan tersebut mengeluarkan biaya untuk LPG sebesar USD13,8 per MMBTU atau lebih mahal dari biaya untuk manpower.
“Mereka menggunakan gas sebagai sumber energi dalam proses dyeing. Pasokan gas dari Jawa Timur,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kapasitas produksi perusahaan tersebut baru mencapai 60% dari total kapasitasnya.
“Apabila harga gas lebih murah lagi, tentu akan meningkatkan kapasitasnya. Produk mereka sebagian besar untuk dalam negeri, dan sisanya diekspor ke Vietnam,” tandasnya.
Ia menambahkan, Pemerintah terus mendorong percepatan implementasi konsep industri hijau, termasuk di PT Daeyoung.
Dirjen KPAII berharap, seluruh industri yang berada di KIK dapat menikmati harga gas sebesar USD6 per MMBTU. Hal ini dinilai dapat memacu produktivitas dan daya saing industri tersebut.
“KIK ingin adanya percepatan pembangunan pipa transmisi gas Cirebon-Semarang,” ujarnya.
Kebutuhan eksisting gas di KIK yang saat ini mencapai 36,6 MMSCFD, hampir 50% dari kebutuhan di Jawa Tengah sebesar 70 MMSCFD.
“Kebutuhan gas di Kendal akan lebih besar jika industri-industri lain di luar KIK sudah beroperasi,” pungkasnya.