Sabtu, 27 April, 2024

Kuliah Umum Universitas Mataram; Implementasi Merdeka Belajar Mendukung Pembangunan Ekonomi

MONITOR, Mataram – Kampus Universitas Mataram (Unram) menggelar kuliah umum kampus merdeka belajar bertajuk “Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Berbasis Blue Growth Menuju Provinsi NTB yang Maju, Sejahtera, Mandiri dan Diberkahi Tuhan YME” secara daring dan luring di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (24/5/2021).

Hadir sebagai narasumber pada kegiatan tersebut adalah Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University yang juga mantan menteri kelautan dan perikanan, Prof Rokhmin Dahuri.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri mengajak seluruh insan akademik Unram untuk terus mengembangkan inovasi  ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai upaya menuju bangsa yang sejahtera. “Inovasi adalah kunci untuk memenangkan persaingan global,” katanya.

Prof Rokhmin menegaskan bahwa Indonesia Memiliki Modal Dasar Yang Lengkap Dan Besar Untuk Menjadi Bangsa Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat yaitu : Pertama, Jumlah penduduk 270 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah (bonus demografi). Kedua, Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Ketiga, Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis. Keempat, Rawan bencana alam yang mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul.

- Advertisement -

“Namun sayangnya hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas iptek, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” katanya.

Prof Rokhmin menjelaskan bahwa implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.   

 Pada kesempatan itu, ketua umum masyarakat akuakultur Indonesia (MAI) itu juga menggambarkan tentang munculnya konsep (paradigma) Green Economy (Ekonomi Hijau), dan kemudian Blue Economy (Ekonomi Biru) sejak akhir 1980-an yang merupakan response atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme).

“Meskipun PDB Dunia meningkat secara fenomenal, dari US$ 0,95 trilyun pada 1753 menjadi US$ 100 trilyun pada 2018 (Bank Dunia, 2019), tetapi Kapitalisme gagal mengatasi kemiskinan, ketimpangan ekonomi (kaya vs miskin), dan kerusakan lingkungan (overeksploitasi SDA, pencemaran, biodiversity loss, dan Perubahan Iklim Global),” jelasnya.

Kemudian konsep blue economy yang mengikuti konsep-konsep  Pertama, segenap kegiatan manusia dan pembangunan harus meneladani (emulate) prinsip dan cara kerja ekosistem alam (natural ecosystem). Kedua, Aktivitas pembangunan dan kegiatan manusia keseharian (produki, konsumsi, dan transportasi) harus menggunakan SDA secara efisien dan tidak membuang limbah dan emisi (to leave nothing to waste) seperti halnya ekosistem alam. 

Ketiga, melalui penerapan inovasi teknologi, kreativitas, dan entrepreuneurship, setiap SDA yang diambil dari alam harus ditingkatkan nilai guna dan nilai tambahnya untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua umat manusia, menciptakan lapangan kerja, dan kesejahteraan secara adil dan berkelanjutan.

“Jadi, Blue Economy bisa diaplikasikan di semua sektor pembangunan, baik yang berada di daratan maupun di laut. Dengan demikian, kata blue (biru) tidak berarti Blue Economy (Ekonomi Biru) hanya mencakup sektor-sektor ekonomi kelautan,” terangnya.

Total potensi sebelas sektor Blue Economy Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini dan mampu menyediakan lapangan kerja 45 juta orang atau 40% total angkatan kerja Indonesia.

“Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  30 persen,” ungkapmnya.

Adapun sebelas sektor blue ekonomi Indonesia tersebut adalah: Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Industri Pengolahan Hasil Perikanan, Industri Bioteknologi Kelautan, ESDM, Pariwisata Bahari, Transportasi Laut, Industri Jasa Maritim, Coastal Foresty, Sumber Daya Wilayah Pulau Kecil, dan Sumber Daya Non-Konvensional.

 

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER