Jumat, 22 November, 2024

Tidak Mungkin Mewujudkan Moderasi Beragama Tanpa Keadilan Gender

MONITOR, Jakarta – Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam menggelar webinar Tadarus Litapdimas serial kedua tahun 2021 dengan tema ‘Catatan Moderasi Beragama RA Kartini: Pendidikan Islam, Gender dan Anti Kekerasan Seksual’ pada Rabu, 21 April 2021.

Dalam webinar ini menghadirkan dua narasumber dosen PTKI yakni Dekan Fakultas Syariah IAIN Kudus Jawa Tengah, Any Ismayawati, dan Wakil Dekan FEBI UIN Sumatera Utara, Mustapa Khamal Rokan. Selain itu mengundang para pembahas yakni Pengurus Kongres Ulama Perempuan Indonesia/ KUPI, Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm, dan Staf Khusus Menteri Agama KH. Isfah Abidal Aziz.

Analis Kebijakan Ahli Madya pada Subdirektorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Dr. Suwendi, dalam sambutannya mengungkapkan webinar kali ini didedikasikan atas perjuangan RA Kartini yang sejatinya patut diteruskan oleh bangsa Indonesia hari ini.

“Ini bagian dari komitmen kita meneruskan ketokohan RA Kartini dengan semangat memperjuangkan keadilan, memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam semua bidang, tak terkecuali kesetaraan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Ini menjadi bagian dari kita Kementerian Agama dalam mengukuhkan moderasi beragama,” ujar Suwendi mengawali sambutannya.

- Advertisement -

Bagi Suwendi, keadilan gender sangat penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan berelasi sehari-hari antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dikatakannya, moderasi agama yang digaungkan Kemenag didalamnya memiliki nilai-nilai keadilan gender.

“Tidak mungkin kita bisa memiliki komitmen merealisasikan moderasi beragama itu tanpa ada pesan keadilan gender itu, memperlakukan yang baik kepada kita semua berbasis keadilan baik laki-laki maupun perempuan,” terang Suwendi.

Sementara itu, Any Ismayawati dalam sesi presentasi memaparkan hasil risetnya yang berjudul “The Completion of Domestic Violence Cases (KDRT) Based on Islamic Values and Local Wisdom”. Ia menemukan masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM di lingkungan keluarga, bahkan seringkali pelanggaran itu dilakukan oleh orang-orang terdekat.

“Seringkali dikatakan cultural problem, padahal ini merupakan tindakan kriminal,” kata Any mengulas hasil risetnya.

Dalam risetnya, Any mengkritisi keberadaan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang tidak mampu menekan tingginya angka KDRT terutama di masa pandemi. Ibarat puncak gunung es, kasus KDRT sangat banyak yang tidak dilaporkan.

Berdasarkan pengalamannya menangani kasus KDRT, Any menyayangkan sebagian besar korban justru tidak mau pelaku ditahan atau dibeerikan sanksi agar jera.

“Riset saya mempertanyakan, mengapa UU PKDRT ini tidak bisa menekan tingginya angka KDRT, kemudian solusi apa yang efektif digunakan untuk bisa menekan tingginya KDRT ini?” tandas Any.

Senada dengan Any, pembicara selanjutnya Mustapa Khamal Rokan juga menyebut kasus perceraian banyak terjadi di kalangan pasangan berusia 35 tahun kebawah. Tingginya tingkat perceraian juga dipicu oleh pengaruh konten media digital.

“Penggunaan medsos ini bisa berrdampak pada hubungan rumah tangga. Misalnya mengurangi perhatian suami terhadap istri, atau sebaliknya dan masalah lainnya,” kata Mustapa Khamal saat membahas hasil penelitiannya berjudul “The Reconstruction of Concept of Nuyuz Wife in The Digital Era”.

Dalam penggunaan medsos, dikatakan Mustapa, perempuan juga kerap mengumbar auratnya di akun medsosnya sehingga memicu pertengkaran internal sehingga masuk kategori nusyuz. Akan tetapi, ia menyatakan istilah nusyuz tidak hanya berlaku bagi perempuan saja.

Mustapa menyatakan sebagian ulama klasik menyebut perilaku pembangkangan suami terhadap istrinya juga masuk dalam kategori nusyuz. Namun ia menyayangkan aturan nusyuz yang dilakukan suami tidak dijelaskan secara rinci dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

“Tidak ditemukan suami melakukan nusyuz dalam KHI kita. Sebab kecenderungan nusyuz diperuntukkan bagi perempuan, meskipun sebenarnya ulama dalam kitab klasik mengakui nusyuz juga dipeeruntukkan bagi suami,” kata Mustapa.

Ia pun mengkritisi KHI masih membutuhkan upaya rekonstruksi lebih jauh untuk mendefisinikan konsep nusyuz pada laki-laki, sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki menjadi seimbang.

Sesi terakhir, Dr. Nyai Nur Rofiah sebagai pembahas mengingatkan para peserta webinar bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam hal apapun, kecuali takdir kemanusiaan.

“Laki-laki dan perempuan sama-sama manusia, tapi takdir kemanusiaannya saja yang berbeda. Ini karena perbedaan alat reproduksi yang dimiliki, dan sistem reproduksi sehingga membuat pengalaman biologis antara laki-laki dan perempuan beda sekali,” kata Nyai Rofiah.

Perbedaan pengalaman biologis inilah yang kerapkali membuat perempuan dinistakan atau dianggap hina. Sebagaimana stigma buruk yang melekatkan perempuan dengan kutukan karena kisah Hawa diusir dari syurga.

“Perempuan yang menstruasi dianggap bagian dari kutukan. Bahkan ini dianggap karena kesalahan Hawa sewaktu menggoda Adam di surga. Cara pandang negatif ini membuat perempuan dinistakan kemanusiaannya selama berabad-abad. Di Arab, ada penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, ada istri yang membakar diri hidup-hidup di India,” terangnya.

Menyinggung soal nusyuz, Nur Rofiah membenarkan adanya penafsiran yang mendefinisikan sebagai pembangkangan yang dilakukan istri. Namun jika menelaah KHI, ia menyatakan definisi serupa juga berlaku bagi suami.

“Seharusnya dimaknai sebagai upaya pembangkangan suami dan istri dalam rangka mewujudkan komitmen perkawinan itu,” tandasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER