MONITOR, Bandung – Pusat Studi Gender dan Anak (PGSA) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Workshop Gender dan Anak bertajuk ‘Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Kampus Perspektif Psikologi dan Islam’ di Hotel Puri Khatulistiwa, Rabu (24/3/2021). Dalam kegiatan itu, disisipkan deklarasi khusus bertajuk ‘Stop Kekerasan Seksual’.
Kegiatan ini dibuka oleh Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si, dan menghadirkan narasumber Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA. Ph.D (Komnas Perempuan Jakarta), Dr. Ir. Nina Zulida Situmorang, M. Si (Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta).
Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. H Mahmud., M.Si. sangat mengapresiasi iktiar bersama untuk mewujudkan pengarusutamaan gender yang berkeadilan dan mendukung realisasi kampus yang responsif gender.
Untuk lingkungan Kementerian Agama Dirjen Pendidikan Islam telah mengeluarkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang ditetapkan pada 1 Oktober 2019. Pedoman ini mengatur mulai dari prosedur pencegahan kekerasan seksual, pengadaan ruang atau fasilitas untuk melayani pengaduan korban kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan untuk korban.
“Saya atas nama pimpinan merasa bangga dan Bahagia, karena civitas akademika UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki kepedulian dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan penanggulan kekerasan seksual dan kegiatan ini merupakan sebuah ikhtiar dalam mencegah dan mengagulangi kasus seksual,” tegasnya.
Pedoman Kemenag itu mengutip 1011 kasus kekerasan seksual dari 16 kampus di Indonesia, meliputi pelecehan seksual secara fisik, verbal, isyarat, tertulis atau gambar, psikologis, perkosaan, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, serta penyiksaan seksual.
Dalam catatan Komnas perempuan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan seksual di Indonesia dalam 2 jam menelan dua korban dan dalam 24 jam bisa sampai menelan 36 korban, sedangkan pada tahun 2020, tercatat 299.911 ribu kasus kekerasan seksual yang terjadi. Untuk tahun 2021 tingkat kekerasan seksual yang terjadi menurun hingga 30%.
“Ini tidak terlepas dari pemerintah yang selalu berikhtiar agar kasus kekerasan seksual itu dapat berkurang setiap tahunnya. Mudah-mudahan dalam kegiatan workshop ini melahirkan beberapa Standar Operasiomal Prosedur (SOP) terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus,” tandas Prof. Dr. H Mahmud.,M.Si.
Sementara itu, Ketua LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dr. Husnul Qodim.,MA. menuturkan bahwa tingkat kekerasan yang paling tinggi itu banyak terjadi di lingkungan keluarga, yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan remaja pra-nikah mengenai keluarga bahagia dan ketahanan keluarga, terutanma niat berkeluarga itu pondasinya Lillah. Oleh karena itu, perlunya materi-materi tentang Ketahanan Keluarga dan juga materi tentang Keluarga Bahagia yang berbasis ilmu pengetahuan dan keislaman di tingkat Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi,” ujarnya.
Kegiatan workshop ini merupakan ikhtiar dari Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sebagai upaya untuk melakukan sharing bersama dan memberikan masukan dalam perumusan SOP Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sesuai dengan Keputusan Dirjen Pendis Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Ketua LP2M menyampaikan terima kasih kepada PSGA UIN Bandung, sebagai leading sector unit pelaksana tugas dan fungsi pengarusutamaan gender di lingkungan UIN Bandung yang telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik.
“banyak kegiatan workshop dan kajian terkait studi gender dan anak telah dilakukan, termasuk kegiatan Workshop hari ini. Tidak lupa pula, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Sunan Gunung Djati juga mengelola Jurnal Az-Zahra yang fokus dan scope kajiannya mengenai studi gender dan keluarga,” paparnya.
Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah kekerasan seksual membutuhkan perhatian serius, mengingat kajian dan pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus kekerasan seksual menemukan bahwa: pertama, tidak mudah bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. “Hal ini dikarenakan korban trauma, kehilangan harga diri, perendahan martabat, serta berbagai bentuk stigma yang akan diperolehnya dari lingkungan sosial yang tidak mendukung korban untuk mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Kedua, pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya. “Ketiga, kekerasan seksual sering dihubungkan dengan aib dan atas nama baik,” jelasnya.
Keempat, Masih banyak lembaga-Kampus yang belum mempunyai SOP-ULT, penanganan masih disamakan dengan penangangan kekerasan lainnya.
Prof Alimatul menegaskan kekerasan seksual adalah kejahatan dan kezaliman, yang mengakibatkan keburukan dan kerusakan sik dan psikis kepada para korbannya.
Ia menjelaskan, Islam memiliki prinsip dasar untuk menolak segala bentuk kerusakan, keburukan, dan kekerasan. Sebagaimana sabda Nabi, Dari Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: tidak (boleh) ada perusakan pada diri sendiri (dharar), mauapun perusakan pada orang lain (dhirar)”. Kebijakan terkait dengan Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) mengambil peran prinsip dar’ul mafasid dalam hukum Islam, agar setiap warga kampus tidak menjadi pelaku dan tidak juga menjadi korban kekerasan seksual.
“PPKS berperan agar yang menjadi pelaku akan dihukum dan direhabilitasi agar kembali menjadi pribadi yang tidak lagi sebagai pelaku kekerasan. Yang menjadi korban akan didampingi dan dipulihkan, untuk mengurangi dampak-dampak negatif dari kejahatan kekerasan tersebut,” ungkapnya.
Secara teologis, tindakan kekerasan seksual melanggar visi Islam rahmatan lil alamin, misi akhlak karimah, kaidah syari’ah yang menegaskan kemaslahatan umat, dan ajaran-ajaran mengenai kebaikan perilaku, kenyamanan hidup, serta mua’syarah bil ma’ruf dalam berpasangan dalam pernikahan.
Dalam Islam, martabat kemanusiaan adalah mulia (QS. Al-Isra, 17: 70) dan harus selalu dijaga dan dihormati. “Pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan adalah sesuatu yang sangat serius, dilarang, dan haram hukumnya dalam Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda, sesama muslim itu, dilarang mengganggu jiwa, harta, dan kehormatannya,” tandasnya.
Sebagai wujud pengarusutamaan kesadaran gender yang berkeadilan dan mendukung realisasi kampus yang responsif gender. Prof. Alimatul Qibtiyah, mewakili dari Komnas Perempuan, berdiri bersama peserta workshop, pimpinan yang secara simbolik mengangkat tangan ke depan layaknya tanda stop, mendeklarasikan bersama “TOLAK KEKERASAN SEKSUAL”.
Melalui workshop ini Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PGSA), Dr. Akmaliyah, M.Ag menyampaikan dari kegiatan ini PSGA diharapkan dapat mendukung realisasi kampus UIN Bandung yang responsif gender. Dengan adanya kegiatan ini daharapkan segenap civitas akademika dapat
menjaga marwah kampus dengan merealisasikan akhlaq mulia dan sikap salingmenghargai satu sama lain. “Untuk dapat menyelenggarakan tugas tersebut, maka diperlukan kontribusi pemikiran dari tim ahli, akademisi dan segenap civitas akademika, sehingga permasalahan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan kampus dapatdiperoleh alternatif solusi terbaik,” tuturnya.
Kegiatan workshop ini turut hadir Prof. Dr. H. Rosihon Anwar M.Ag (Wakil Rektor I Akademik), Drs. H. Khoiruddin.,MM, Ketua Darma Wanita Persatuan (DWP) Pusat UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dra. Hj. Cucu Mahmud, para anggota DWP UIN Bandung, para dosen pegiat studi gender dan anak, para Wakil Dekan I, utusan Fakultas-Fakultas, perwakilan mahasiswa dari SEMA Universitas, DEMA Universitas dan Dema setiap Fakultas di lingkungan UIN Bandung.
Setelah kegiatan Workshop dibuka oleh Rektor, seluruh peserta dengan dipimpin oleh Prof. Alimatul Qibtiyah, mewakili dari Komnas Perempuan, berdiri bersama secara simbolik mengangkat tangan ke depan layaknya tanda stop, mendeklarasikan bersama “TOLAK KEKERASAN”.