MONITOR, Jakarta – Ondel-ondel merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam berbagai pertunjukan pesta rakyat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ondel-ondel dijadikan ikon kota Jakarta, bersanding dengan Tugu Monas.
Boneka besar yang tingginya sekitar 2,5 meter dengan bagian wajah berupa topeng dan rambut kepala terbuat dari ijuk tersebut menjadi pemandangan yang kerap ditemukan di jalanan. Boneka laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan perempuan berwarna putih. Warisan budaya asal Betawi tersebut kini begitu mudah ditemukan di sudut-sudut perkampungan. Bahkan, beberapa pengamen jalanan menjajakan ondel-ondel lengkap dengan iringan musik yang nyaring.
Fenomena penertiban ondel-ondel jalanan beberapa waktu lalu ikut menyita perhatian beberapa budayawan dan masyarakat Betawi. Begitupun dengan organisasi kemahasiswaan seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DKI Jakarta, turut bersuara menyikapi fenomena ini.
Ketua bidang seni budaya dan olahraga Dewan Pimpinan Daerah IMM DKI Jakarta, Imamul Khairi, menyatakan pemerintah semestinya menganalisa persoalan sosial yang muncul ditengah pandemi, khususnya hal-hal yang bersinggungan langsung dengan kebudayaan masyarakat.
“Kami berharap pemerintah melakukan kajian lebih jauh lagi mengenai fenomena ondel-ondel jalanan. Kami sepakat bahwa ondel-ondel merupakan budaya asli Betawi yang harus dilestarikan. Namun cara mengekspresikan kesenian setiap orang tentu berbeda,” ujar Imamul Khairi dalam keterangannya, Sabtu (27/3/2021).
Terkait penertiban pengamen jalanan yang ‘memanfaatkan’ ondel-ondel oleh pihak Pemprov DKI Jakarta, Imamul pun mendukung langkah tersebut. Ia menilai budaya kesenian Betawi tersebut sudah disalahgunakan.
“Kami mendukung upaya pemerintah provinsi untuk melakukan penertiban ondel-ondel jalanan. Di satu sisi memang pengamen ondel-ondel ini ikut berperan dalam melestarikan budaya betawi. Tapi disisi lain kami menyayangkan karena cara yang digunakan tidak etis. Ondel-ondel ini bukan alat cari makan, ini budaya Betawi yang sangat mahal harganya. Kalaupun harus turun ke jalan, ya nanti saat momentum festival seni dan kebudayaan,” kata aktivis yang akrab disapa Akay ini.
Kendati demikian, Akay menilai pengamen ondel-ondel jalanan tak sepenuhnya salah sebab pandemi Covid-19 turut mempengaruhi maraknya pengamen ondel-ondel. Kesulitan lapangan pekerjaan menjadi alasan beberapa orang untuk menempuh jalan dengan mengamen menggunakan ondel-ondel.
“Tapi ya kita harus beri kesempatan kepada rakyat. Ditengah pandemi banyak lapangan pekerjaan yang hilang. Akhirnya rakyat terpaksa cari makan dengan cara-cara yang dianggap gak baik. Jadi kalau pemerintah tidak ingin rakyat menjadikan ondel-ondel sebagai alat, harus ada solusi yang dihadirkan. Jangan biarkan rakyat kelaparan.” pungkasnya.