Jumat, 29 Maret, 2024

Keadilan dan Pemerataan Ekonomi

Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA

Ditengah ketidakpastian dampak pandemi Covid-19, target ekonomi realistis dari pemerintah awal tahun 2021 adalah menciptakan pemertaan ekonomi sekaligus menahan penurunan produk domestik bruto. Namun, dalam upaya pemerataan ekonomi diperlukan upaya-upaya khusus dan komitmen ekonomi politik yang kuat untuk menggeser struktur perekonomian ke luar Jawa. Terlebih jika melihat data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS, 2020) menunjukkan grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif per Januari – Desember 2020 menglami minus 2,07 persen maka target pemerataan ekonomi selama masa pandemi Covid-19 akan sangat sulit terealisasi.

Struktur perekonomian yang berjalan hingga akhir tahun 2020 secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi di pulau Jawa dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) 58,75 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Jawa mengalami minus 2,51 persen. Mayoritas kelompok provinsi Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada 2020, kecuali Sulawesi sebesar 0,23 persen serta Maluku dan Papua 1,44 persen. Kontribusi kedua kelompok provinsi terhadap PDB sangat kecil, yakni Sulawesi sebesar 6,66 persen serta Maluku dan Papua 2,35 persen. Kecilnya kontribusi ekonomi yang berjalan tahun lalu,mengisyaratkan analisa jika pada 2021 tak akan memberi dorongan perubahan ekonomi yang signifikan.

Kendala Pemerataan

- Advertisement -

Salah satu terobosan untuk membangun sumber pemerataan ekonomi baru di luar Jawa adalah dengan pengembangan hilirisasi sektor mineral. Beberapa daerah di Sulawesi saat ini telah dikembangkan smelter dan industri pengolahan hilir untuk nikel dan biji besi. Namun, upaya strategis ini terancam tak lancar karena kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19 dalam jangka panjang tampak menyulitkan persaingan bisnis global Indonesia yang ingin keluar dari jebakan kelas menengah.

Jika PDB terus tergerus hanya menjadi rata-rata 5 persen, maka upaya rasional untuk melepaskan diri dari jebakan kelas menengah akan jauh sekali. Bahkan secara lebih spesifik target pendapatan per kapita belum bisa mencapai 12.000 dollar AS pada 2045. Terlebih jika laju penambahan kasus positif Covid-19 semakin tinggi maka situasi ini akan semakin sulit.

Ditengah respon bisnis global yang sulit akibat pandemi, dalam penataan dalam negeri. Pemerintah Indonesia sampai saat ini masih juga belum menemukan formula efektif menciptakan pemerataan ekonomi. Ada dua persoalan dalam isu pemerataan ekonomi, yakni kendala jumlah penduduk dan jaringan infrastruktur yang kenyataan masih sangat terkonsentrasi di pulau Jawa membuat langkah pemerataan ekonomi selama masa pandemi Covid-19 sulit terealisasi. Ketidakmerataan sumber dan sarana ekonomi menyebabkan gerak pertumbuhan berbagai kawasan Indonesia menjadi sangat terhambat.

Sinkronisasi Kebijakan

Tak hanya masalah pemerataan ekonomi, efektivitas stimulus fiskal pada tahun ini juga kembali dipertaruhkan karena tingginya angka kasus positif Covid-19. Maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa semakin terbebani akibat lonjakan belanja dan utang pemerintah. Gelontoran stimulus fiskal tak akan berjalan efektif selama kasus infeksi Covid-19 terus meningkat.

Ketidakefektifan dalam penggunaan anggaran stimulus fiskal hanya akan menambah beban besar APBN. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 2020 yang meleset jauh dari baseline pemerintah kisaran 0 persen. Hal ini jelas sangat berisiko. Padahal , anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020 terealisasi Rp. 579,78 triliun atau 83,4 persen pagu.

Realisasi anggaran PC-PEN yang lebih dari Rp 500 triliun harus diakui belum terlalu kuat. Pertumbuhan ekonomi 2021 masih akan terkontraksi meskipun secara per triwulanan ada perbaikan. Penyebaran Covid-19 yang masih sulit dikendalikan telah memengaruhi perbaikan sisi permintaan dan penawaran. Akibatnya, stimulus fiskal yang diberikan hanya menambah beban APBN.Kondisi ini tecermin dalam realisasi kinerja APBN 2020. Pada satu sisi, realisasi belanja pemerintah naik 12,2 persen.Di sisi lain, lonjakan belanja pemerintah meningkatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2020 menjadi 39,1 persen, dan rasio beban utang terhadap PDB menjadi 2 persen. Dengan kata lain, instrumen fiskal sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi akan semakin berat pada 2021.

Sekarang, pada 2021 pemerintah kembali mengalokasikan anggaran PC-PEN sebesar Rp 557,3 triliun. Dari jumlah itu, untuk bidang kesehatan Rp 109,7 triliun, perlindungan sosial Rp148,66 triliun, program prioritas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp. 141,36 triliun, serta dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta korporasi Rp 157,57 triliun. Secara matematis, alokasi anggaran PC-PEN ini cukup besar ditambah uang beredar pun juga banyak. Namun, dampak terhadap produktivitas sektoral terutama dari sisi permintaan tidak signifikan. Kondisi ini menyiratkan pentingnya insentif setiap pelaku UKM karena tidak hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi menciptakan nilai tambah.

Berangkat hal ini pemerintah perlu melakukan kebijakan strategis guna menjaga konstelasi pemerataan ekonomi ditengah pandemi Covid-19. Karenanya ada tiga langkah kebijakan strategis yang seharusnya menjadi target dari pemulihan ekonomi Indonesia. Pertama, pemerintah harus mau memamfaatkan berbagai alternatif instrumen fiskal untuk secepat mungkin menstimulasi semua dunia usaha supaya kembali berproduksi dan rumah tangga kembali aktif dalam berbelanja. Karena meski beban APBN pada tahun 2021 semakin berat, tapi jika pengelolaannya dilakukan sangat hati-hati dan pruden maka kebijakan ini akan terealisasi secara optimal. Dukungan dunia usaha sebaiknya langsung diarahkan pada industri pengolahan karena efektif dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Industri pengolahan secara kalkulasi ekonomi memiliki efek pengganda yang sangat besar.

Kedua, peraturan pembatasan aktivitas ekonomi sebaiknya tidak berlaku sama rata untuk semua lintas sektor usaha.Pemerintah Indonesia sebaiknya tak membatasi langkah pembatasan kapasitas beroperasi bagi unit usaha produktif yang mampu menggerakkan kebutuhan konsumsi secara lebih tinggi.

Ketiga, pemerintah harus jeli melakukan sinkronisasi semua paket kebijakan yang dikeluarkan selama masa pandemi Covid-19.Efektivitas stimulus tak akan optimal sepanjang dampak Covid-19 masih dibebankan ke usaha. Contoh anomali pemulihan ekonomi terjadi pada sektor pariwisata. Para pengusaha sektor pariwisata selama masa pandemi Covid-19 sudah menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Namun, saat yang sama, pembatasan kegiatan kembali diterapkan oleh pemerintah karena kasus Covid-19 masih melonjak. Dualisme kebijakan semacam ini jelas tak akan menghasilkan perbaikan apa – apa. Ruang kesehatan masyarakat menjadi tak segera pulih dan ekonomi sosial masyarakat juga akan semakin anjlok.

Oleh karena itu, dalam menciptakan pemulihan dan pemerataan ekonomi ditengah situasi krisis Covid-19. Baik Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat seharusnya berbagi beban agar roda ekonomi segera pulih. Pemerintah tak hanya memberi regulasi ketat pada pengusaha tapi juga memberikan regulasi yang sinkron dan terarah supaya transformasi usaha baru yang beradaptasi dengan protokol kesehatan memungkinkan masyarakat dapat bergerak secara terpadu dalam gerak pemulihan ekonomi dan kesehatan nasional.

*Penulis adalah Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER