MONITOR, Jakarta – Polemik mengenai penangkapan benih bening lobster baik untuk ekspor maupun budidaya Kembali mengemuka usai Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono mengeluarkan peraturan Menteri yang melarang ekspor namun membolehkan untuk budidaya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri mengatakan budidaya benur lobser di Indonesia sebenarnya sudah dinilai sejak awal tahun 1990-an.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menerangkan pada tahun 1990-1997, sebagian kecil nelayan sudah mulai membesarkan lobster di KJA sebagai pekerjaan sampingan di Desa Telong Elong dan Ekas, Lombok. Kemudian pada 1998. ADB melalui proyeksi Co-Fish memprakasai budidaya lobster di Desa Telong Elong dan Ekas, Lombok.
“Lalu pada 2001 hingga 2007, sekitar 400 sampai 500 nelayan puerulus atau lobster menangkap kurang lebih 250.000 pueruli (lobster per tahun di tiga sentra puerulus Lombok. Kemudian pembesaran lobster dilakukan di Desa Telong Elong dan Ekas, Lombok,” katanya dalam acara Diskusi Virtual “Ekspor Benur Lobster” yang digelar Forum Marikultur Indonesia, Senin (8/3/2021).
Adapun jumlah pembudidaya pembesaran, tambah Rokhmin kurang lebih 500 dan produksinya mencapai 50 hingga 80 ton per tahun. Selanjutnya, pada 2007, The Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terlibat dalam pengembangan budidaya lobster di Indonesia.
“Pada saat itu sebenarnya kapasitas budidaya sudah ada. Ini lah kronologis sejak 1990 kita sudah berusaha budidaya sampai 2001,” jelasnya.
Lalu pada 2008 hingga 2012, melalui proyek ACIAR, jumlah lobster yang ditangkap meningkat. Semula hanya sekitar 250.000 kemudian menjadi 600.000 per tahun dengan produksi lobster mencapai 80 hingga 160 ton per tahun di 1.000 KJA.
Kemudian pada 2013 hingga 2014, transfer teknologi pengumpulan lobster dari Vietnam ke Indonesia melalui proyek ACIAR meningkatkan tangkapan lobster dari 600.000 menjadi sekitar 3 juta per tahun.
“Penjualan lobster ini juga meningkatkan permintaan pasar internasional sehingga harganya mengalami kenaikan dan kemudian menurunkan usaha pembesaran (budidaya) lokal. Dan seterusnya begitu 2015 ada pelarangan total mengambil benih jadi inilah esensi dari Permen 2015 yang sangat mematikan nasional,” tegasnya.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu mengungkapkan bahwa dikeluarkannya Peraturan Menteri KKP nomor nomor 1 tahun 2015 dan Permen KP nomor 56 tahun 2016 membuat usaha budidaya hancur. Karena tidak hanya melarang penangkapan tapi juga pelarangan budidayanya.
“Kebijakan tersebut bisa menjadi blunder buat pemerintah. Karena kebijakan tersebut berarti Kementerian KKP melarang kepada para nelayan untuk menangkap lobster baik untuk diekspor maupun dilakukan budidaya,” ujarnya.
“Kementerian KKP era Edhy Prabowo pun mengeluarkan aturan baru dengan mengizinkan ekspor benur lobster. Namun tetap dengan persyaratan yang ketat salah satunya yakni melakukan budidaya lobster sebelum diekspor,” ungkapnya.
Bahkan kapasitas Iptek budidaya lobster bangsa Indonesia terus mengalami perbaikan. Hal tersebut terlihat dari survival rate pembesaran lobster dari yang tadinya kurang dari 30% pada akhir 2019 menjadi 51,2% pada awal 2020.
“Pada saat itu sebenarnya kapasitas budidaya sudah ada. Salah satu buktinya bahwa pada saat itu para pembudidaya kita sudah memulai membesar dari BBL sampai ukuran konsumsi sampai 30%. Hal ini juga berdampak kepada pertumbuhan perusahaan budidaya lobster yang semakin banyak. Tak hanya itu, para pakar , ahli dan peneliti benih lobster juga mulai terus bertambah,” pungkasnya.