MONITOR, Jakarta – Skandal perusahaan pelat merah PT Jiwasraya secara proses hukum memang telah tuntas dengan jatuhnya vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada enam terdakwa.
Namun terkait kasus yang menimpa perusahaan asuransi pelat merah tersebut masih selalu menjadi sorotan. Apalagi kerugian negara yang dialami oleh Jiwasraya tergolong ‘raksasa’.
Menurut pandangan pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, kasus Jiwasraya dan dakwaan yang diberikan kepada terdakwa sebenarnya secara prosedural lebih banyak menyentuh aspek hukum bisnis.
“Yang terjadi dalam perhitungan dari mulai tuntutan sampai dakwaan lebih ke hitungannya bisnis. Bisa dilihat basisnya dari awal itu bisnis,” ungkapnya dalam keterangan, Jakarta, Minggu (7/3/2021).
Oleh sebab itu, Mudzakir mengatakan, bila yang muncul kemudian risiko dari hubungan bisnis tersebut lalu ditinjau pada proses hukumnya adalah pidana, maka hal itu tentu saja tidaklah tepat.
Mudzakir menjelaskan, misalnya saja tuntutan dan dakwaan kepada seorang terdakwa Benny Tjokrosaputro yang dalam persidangannya menggunakan hukum pidana.
“Padahal kan jelas dasarnya dari berbisnis. Sekarang yang harus dipisahkan, kerugian (Jiwasraya) yang dialami seperti apa? Karena apa? Jangan dicampur aduk saja antara bisnis dengan pidana,” katanya.
Kemudian, lanjut Mudzakir, perlu ditelaah juga apakah memang ada penyalahgunaan wewenang sehingga menimbulkan pidana dari hubungan terdakwa, seperti Benny Tjokrosaputro dengan Jiwasraya atau sekadar risiko bisnis.
“Sampai juga apakah memang sebab penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dari para Direksi Jiwasraya menimbulkan kerugian negara? Jadi perlu kehati-hatian memprosesnya,” ujarnya.
Mudzakir beranggapan, kalau memang awalnya adalah proses bisnis antara Jiwasraya dengan pihak lain yang telah didakwa, maka pada saat itu menerapkan aturan hukum apa sebagai kontrolnya.