Oleh: Imron Wasi
Konflik yang sedang menerjang Partai Demokrat beberapa pekan terakhir berujung pada Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan pada hari Jum’at (5/3/2021) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam hal ini, Kongres Luar Biasa (KLB) telah menetapkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko. Pada saat yang sama, kubu dari AHY mengemukakan bahwa KLB yang sudah berlangsung ini inkonstitusional dan hanya merupakan dagelan semata.
Kongres luar biasa ini tentu akan menjadi trigger besar bagi Partai Demokrat. Setelah terpilihnya Moeldoko, sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap partai berlambang mercy ini. Karena, akan ada dualisme kepemimpinan. Sudah banyak studi yang menyatakan konflik yang mendera partai politik kontemporer. Dengan kata lain, apa yang sedang terjadi dalam Partai Demokrat bukanlah hal baru. Pasalnya, parpol di Indonesia juga kerap mengalami hal demikian.
Secara historis, faksionalisasi dan konflik intern parpol dalam perkembangannya sering pula terjadi. Hal ini bisa disebabkan karena parpol bersifat heterogen. Akibatnya, heterogenitas yang terjadi akan membawa pada cara berpikir atau sudut pandang ynag berbeda. Meskipun, pada saat bersamaan, bisa dalam scope yang sama karena persamaan ideologi, platform, dan visi parpol. Kendati demikian, faksionalisasi dan konflik yang meredam sebagian besar parpol di Indonesia sangat sukar dihindari.
Manajemen konflik dalam mengurai pelbagai problematika yang terjadi di internal parpol sangat perlu untuk diterapkan, sekaligus agar dapat mengaktualisasikan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam produk politik kepartaian. Namun, di satu pihak, secara realitas politik, hal ini begitu sukar untuk diterapkan. Sehingga, memunculkan parpol-parpol baru. Meminjam istilah Aisyah Putri Budiatri et al (2018) yang mendedahkan bahwa keretakan partai politik, baik itu yang berakhir pada pembentukan partai baru maupun tidak, memperlihatkan belum terbentuknya organisasi partai yang kohesif dan kuat.
Faksionalisasi di Tubuh Partai
Dalam sebuah studi yang berbicara mengenai teori faksi telah diuraikan oleh sejumlah kalangan, termasuk telah disampaikan oleh Beller, Bellini, Zariski, Kollner, Basedau, Sartori dan lain-lainnya yang mengemukakan ada lima hal yang menjadi penyebab munculnya faksi. Pertama, karena adanya kesamaan atribusi nilai dan ideologi. Kedua, kompleksitas sosiologis. Ketiga, sistem kepartaian dan sistem pemilu. Keempat, struktur organisasi partai. Dan yang terakhir, yaitu suatu pola kepemimpinan elite partai.
Dalam mencermati perkembangan politik Tanah Air, terutama pendulum yang mengarah ke Partai Demokrat, bisa kita analisa sesuai teori yang sudah diilustrasikan di atas. Secara faktual, kita dapat menoleh dan melihat secara kasat mata bahwa apa yang sedang menerpa Partai Demokrat ini adalah suatu hal yang mengarah — pada munculnya bara api besar, kalau enggan menyebutnya sebagai konflik.
Balada politik yang menghantam Partai Demokrat ini tentu sangat beragam, apabila secara eksplisit kita melihatnya dari empat titik, terutama dalam argumentasi sosio-politik mutakhir. Dalam konteks ini, faksionalisasi yang sedang tumbuh dalam internal parpol akan memiliki dampak yang sangat besar, termasuk akan menimbulkan fragmentasi yang mengakar. Dan, fragmentasi ini akan menciptakan friksi dalam organisasi kepartaian.
Selain itu, melihat perkembangan politik di Indonesia; parpol yang bukan entitas tunggal, tampak tak berdaya dengan godaan pragmatisme. Pola ini seperti sudah menjadi ruh bagi mobilitas partai. Sehingga, mengabaikan unsur nilai dan norma yang terkandung dalam sebuah ideologi partai. Secara praksis riil, ideologi parpol di Indonesia tampak begitu absen. Selanjutnya, personalisasi kepemimpinan juga tampak mendominasi. Akibatnya, hal ini akan memengaruhi tingkat kepercayaan anggota dan/atau kader di semua jenjang struktural kepartaian. Salah satu yang tidak bisa dinafikan yaitu akan lahir perpecahan dalam internal parpol.
Pada saat yang sama, penyelesaian konflik dalam tubuh parpol sesungguhnya sudah diatur dalam regulasi; baik dalam regulasi parpol maupun konstitusi negara. Oleh karena itu, seperti yang sudah diulas di muka, penulis melihat bahwa selain karena disebabkan oleh faktor-faktor lainnya, ada dua kemungkinan yang menyebabkan prahara yang terjadi di tubuh Partai Demokrat, yakni: struktur organisasi partai dan pola kepemimpinan elite partai.
Setelah terpilihnya AHY sebagai ketua umum, tampak susunan struktur organisasi sudah dimantapkan sejak awal. Bahkan, AHY turut mengumumkan susunan kepengurusan partai. Pada saat yang sama, interpretasi mulai hilir-mudik dan menjadi diskursus publik. Karena, ada faksi-faksi yang mulai bermain api.
Tentunya dengan berbagai argumentasi yang dibuat. Seperti, merasa tidak puas dengan pencapaian kinerja ketua umum dalam proses elektoral maupun hal ihwal lainnya. Sederet nama yang berkontribusi terhadap Partai Demokrat mulai terisolasi dari partai. Dan, sebagian mempelopori kongres luar biasa.
Implikasi Faksionalisasi Partai
Dalam hal ini, implikasi faksionalisasi tentu akan muncul secara positif dan negatif. Secara negatif, hal ini akan berujung pada instabilitas organisasi partai, misalnya, mobilitas kepartaian yang tidak akan kondusif dan akan bermuara pada melemahnya kekuatan partai politik.
Hal ini diafirmasi oleh Kollner dan Basedau dalam studinya, yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang memperlihatkan bahwa hubungan negatif faksionalisasi dengan organisasi partai, di antaranya: pertama, faksionalisasi dapat berpengaruh buruk pada proses kaderisasi dan pengisian struktur kepengurusan partai.
Dalam perspektif tersebut, hal ini tentu sangat mungkin terjadi. Karena, seperti yang sudah penulis ulas di atas, faksi akan mengganggu stabilitas partai. Dalam hal ini, bisa berbentuk kaderisasi yang disertai pendidikan politik yang mumpuni. Dan edukasi politik ini akan membawa pada sebuah kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dan integritas personal. Dalam bahasa lain, apabila faksionalisasi mengarah pada instabilitas parpol, maka sudah barang tentu kaderisasi dan pendidikan politik akan tersumbat.
Alhasil, sumberdaya manusia yang akan mengisi pos-pos dalam struktur kepartaian bukan lagi yang memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi yang baik, justru akan menyuburkan praktik afiliasi politik pada faksi-faksi tertentu. Dengan kata lain, penulis sering menyebutnya sebagai pengabaian terhadap asas meritokrasi.
Kedua, menurutnya, terciptanya kondisi diskusi dan perdebatan antarfaksi berujung pada kompetisi untuk mencari kekuasaan, bukan untuk memajukan partai. Kemudian, seperti diktum yang kedua, kita bisa mencermati bahwa lahirnya kongres luar biasa yang terjadi pada Partai Demokrat ini karena dahaga kekuasaan antarfaksi. Padahal, dalam regulasi kepartaian sudah dimuat penyelesaian konflik dalam internal partai. Sebagaimana yang sudah terkandung dalam klausul AD/ART Partai Demokrat, dalam Bab XVI (Penyelesaian Perselisihan Internal Partai), pasal 97, yang terdiri dari 1-7 poin.
Penyelesaian perselisihan yang terjadi di internal partai dapat dilaksanakan oleh Mahkamah Partai. Tentunya dengan catatan, yaitu, atas laporan dari anggota/kader dan/atau pengurus partai terkait. Kemudian, dari aspek waktu juga tampak diberikan, misalnya, penyelesaian perselisihan internal harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh hari). Dan keputusan Mahkamah Partai bersifat mengikat dan final.
Menurut Pasal 81 mengenai kongres dan kongres luar biasa yang menyatakan secara eksplisit bahwa kongres adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang yang diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima tahun).
Satu pertanyaan yang fundamental, apakah AHY memimpin Partai Demokrat sudah lima tahun? Jawabannya tentu belum. Lantas, mengapa muncul kongres luar biasa? Pertanyaan ini tentu memiliki jawaban dan argumentasi yang tidak sedikit, sekilas sudah didedahkan di muka.
Lebih lanjut, dalam Pasal 81 (4) mengemukakan bahwa, “Kongres Luar Biasa (KLB) dapat diadakan atas permintaan majelis tinggi partai dan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah DPD dan ½ (satu per dua) dari jumlah DPC serta disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Partai.”
Apabila menelisik regulasi AD/ART Partai, kongres luar biasa bisa tercapai apabila mendapat restu dari Ketua Majelis Tinggi Partai. Apabila tidak, tentu sangat sukar untuk mengatakan memenuhi syarat kongres.
Dengan demikian, seyogianya hal ini bisa dilakukan secara apik, dengan mekanisme musyawarah. Terlebih akan menghadapi konstelasi politik di masa yang akan datang. Ketiga, di dalam beberapa kasus, faksionalisasi berakibat pada berlangsungnya tindak korupsi oleh kelompok-kelompok di dalam partai. Akibatnya, parpol akan mengalami stagnasi akut dan secara elektabilitas akan menurun tajam. Sebab, legitimasi akan diperoleh ketika kinerja lembaga sangat baik. Dalam bahasa lain, ada politics effect apabila kinerja partai sangat baik dalam kaca mata rakyat.
Nasi sudah menjadi bubur. Itulah kata yang mungkin tepat untuk menggambarkan situasi pelik saat ini. Tidak menutup kemungkinan, hal ini akan menimbulkan dualisme kepemimpinan. Penyelesaian konflik yang tidak selesai di internal partai, maka akan dibawa ke ranah yang lebih tinggi, termasuk dengan penyelesaian konflik parpol yang dimuat dalam regulasi lainnya. Peristiwa ini secara klise terjadi dan merupakan preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Terakhir, masing-masing faksi semestinya dapat menahan ambisi kekuasaannya. Sebab, masih banyak yang hal ihwal yang begitu krusial perlu diperhatikan, terutama dalam menguatkan institusionalisasi parpol dan modernisasi parpol.
Penulis adalah Direktur Sekolah Karakter BIGS dan Analis Politik serta Pemerhati Kebangsaan.