Jakarta – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Riyanto menegaskan perlu kecermatan dalam membaca index status ketahanan pangan. Status ketahanan pangan nasional tidak bisa disimpulkan hanya dengan menggunakan ukuran data Food Sustainable Index. Sebaliknya, status ketahanan pangan baru bisa diukur dengan menggunakan data Global Food Security Index.
“Kita harus cermat dalam membaca indeks-indeks itu. Food Sustainable Index itu hanya mengukur keberlanjutan pemenuhan pangan dengan pertanian berkelanjutan, food loss, food waste dan kandungan gizinya. Sedangkan Global Food Security Index mengukur ketahanan pangan dari sisi ketersediaan keterjangkauan dan qualitas serta keamanan pangan pada saat index tersebut diukur,” ujar Riyanto, Jumat, 19 Februari 2021.
Menurut Riyanto, adalah kekeliruan besar jika angka dan ukuran status ketahanan pangan nasional dilihat hanya dari kacamata satu index tertentu. Apalagi jika statusnya dibandingkan dengan negara sekelas Zimbabwe ataupun Ethopia.
“Sekali lagi saya katakan dua index ini mengukur dua hal yang berbeda. Keberlanjutan pangan memang penting, tapi jauh lebih penting lagi ketahanan pangan. Untuk soal ini, data GFSI Indonesia terus meningkat. Produksi beras kita aman dan harganya juga terjangkau,” katanya.
Sebagai informasi, Global Food Security Index mencatat status ketahanan pangan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan yang signifikan, dimana pada tahun 2016 Indonesia berada di peringkat 71, dan tahun 2019 meningkat di peringkat 62.
Nilai Indeks Keseluruhan pada data tersebut ditentukan dari tiga aspek, yaitu Keterjangkauan, Ketersediaan, Kualitas dan Keamanan. Aspek Keterjangkauan dan Ketersediaan untuk Indonesia meningkat cukup drastis sehingga menjadi aspek yang dominan mempengaruhi kenaikan nilai indeks secara keseluruhan.
Situasi ketahanan pangan nasional yang mengalami peningkatan dan semakin kuat juga dapat dilihat dari data yang dikeluarkan Global Hunger Index (GHI) 2020, dimana Indonesia menempati level moderate dengan skor 19,1, setelah sebelumnya masih berada di level serius dengan skor 20,1 pada tahun 2019.
Situasi yang sama juga terlihat dari Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atals (FSVA), dimana jumlah kabupaten/kota yang rentan rawan pangan mengalami penurunan dari 76 kab/kota pada tahun 2019 menjadi 70 Kabupaten/Kota rentan rawan pangan di tahun 2020.
Namun, Riyanto setuju jika food loss dan food waste yang menjadi bagian dari Food Sustainable Index itu perlu menjadi perhatian bersama, terutama dalam mengubah prilaku masyarakat yang kadang-kadang cendrung membuang-buang makanan.
“Ini memang perlu menjadi perhatian bersama karena perilaku masyarakat kita yang kalau ada pesta dan makan di restoran atau ketika mengolah makanant banyak yang hilang dan menjadi food waste. Tapi sekali lagi ini tidak terkait dengan kekurangan produksi pangan, hanya cerminan masyarakat kita saja yang kurang menghargai makanan,” katanya.
Riyanto mengusulkan, ke depan pemerintah bisa membuat kebijakan efek jera dengan mendenda setiap masyarakat yang terbukti membuang makanan baik saat berada si sebuah pesta maupun ketika sedang makan sebiah restoran.
“Perilaku tersebut yang dimaksud tidak sustainable. Dan inilah yang menjadi tugas pemerintah dengan membuat kebijakan denda bagi mereka yang masih menyisakan manakan sehingga membuat food waste. Saya kira Ini perlu agar food waste berkurang,” tutupnya.
Senada dengan Riyanto, Pengamat Pangan sekaligus Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Sujarwo, mengatakan bahwa index sustainable tidak bisa dijadikan rujukan angka statistik untuk sebuah status pada suatu negara mengenai ketahanan pangan.
“Tidak bisa! Index sustainable seperti ranking universitas. Masing-masing punya indikator yang berbeda. Sedangkan GFSI itu lebih memotret current situation. Jadi sangat berbeda sekali dengan sustainable,” katanya.
Sujarwo menambahkan, pembacaan data mengenai food sustainable index adalah memotret potensi jauh ke depan jika kondisi waste dan loss hasil pertaniannya tinggi. Kemudian juga kondisi sustainaible bisa disimpulkan jika ketersediaan air, pencemaran lahan dan masalah gizi terus terjadi.
“Dan ini adalah perhatian yang diperlukan Indonesia untuk lebih baik dalam jangka panjang. Jadi tidak linkage langsung mengukur kinerja pertanian sekarang. Salah besar itu,” tutupnya.