Kamis, 18 April, 2024

Irjen Napoleon Dituntut Tiga Tahun Penjara

"Perbuatan terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum”

MONITOR, Jakarta – Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dituntut tiga tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan karena menerima suap US$370 ribu dan 200 ribu dolar Singapura dari Djoko Tjandra.

“Menuntut supaya majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menyatakan terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama. Menghukum terdakwa dengan pidana selama tiga tahun dengan perintah tetap ditahan di rumah tahanan serta denda Rp100 juta diganti pidana kurungan enam bulan,” ungkap Jaksa Penuntut Umum, Junaedi, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/2/2021).

Tuntutan itu berdasarkan pasal dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana idubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

“Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang bebas dan bersih dari korupsi, perbuatan terdakwa merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum,” ujar Junaedi.

- Advertisement -

Dalam perkara ini, Napoleon Bonaparte terbukti menerima suap US$370 ribu atau sekitar Rp5,137 miliar dan 200 ribu dolar Singapura atau sekitar Rp2,1 miliar dari terpidana kasus korupsi Cessie Bank Bali Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi agar Napoleon Bonaparte membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.

Napoleon Bonaparte dinilai terbukti menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM).

Dalam surat tuntutan, jaksa mengatakan Napoleon Bonaparte memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI pada 4 Mei 2020 perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Isi surat pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.

Selanjutnya pada 5 Mei 2020 Napoleon Bonaparte kembali memerintahkan anak buahnya membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 5 Mei 2020 perihal Penyampaian Penghapusan Interpol Red Notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang menyampaikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 atau setelah lima tahun.

“Sehingga Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Direktorat Jenderal Imigrasi Sandi Andaryadi menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System pada sistem informasi keimigrasian. Sejak saat itu Djoko Tjandra bebas keluar masuk Indonesia dan tidak ada dalam ECS pada SIMKIM,” kata Junaedi.

Padahal menurut jaksa, Napoleon dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo sudah tahu status Djoko Tjandra sejak awal.

“Terdakwa Napoleon Bonaparte dan saksi Prasetijo Utomo sudah tahu sejak awal Djoko Tjandra adalah terpidana dan masuk dalam ‘red notice’ dengan perbuatan tersebut Napoleon dan Prasetijo bertentangan dengan jabatannya,” ungkap jaksa.

Terhadap tuntutan tersebut, Napoleon akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada Senin, 22 Februari 2021. 

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER