Oleh: Muhammad Fitrah Yunus*
Bersatulah semua, seperti dahulu, lihatlah terbuka, keinginan luhur, telah terjangkau, semua.
Konkret dan operasional aplikatif, itulah yang mesti harus diwujudkan dalam sebuah kalimat “NKRI Harga Mati”, “Saya Indonesia Saya Pancasila”.
Pancasila tidak boleh menjadi euforia semu, apalagi menjadi tunggangan politik yang justru memecah persatuan. Nilai-nilainya harus terpatri dalam sanubari rakyat Indonesia dan teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.
Lirik lagu Satu Indonesiaku di atas, menegasikan suatu tujuan dan harapan kepada seluruh komponen bangsa agar dapat menjalankan nilai-nilai luhur Pancasila, berwawasan terbuka dengan segala hal yang baru, namun selalu selektif atas segala yang meracuni nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Kasus Abu Janda yang baru-baru ini terjadi, memberikan tamparan baru bagi aktualisasi Pancasila bangsa ini. Tidak tanggung-tanggung, dalam sebuah twit yang ditulis oleh Abu Janda, yang memberikan label bahwa terorisme itu memiliki agama, dan agamanya adalah agama Islam. “Teroris punya agama dan agamanya adalah Islam,” tulisnya dalam sebuah potongan cuitan di twitternya.
Tentu hal ini harus menjadi perhatian serius berbagai pihak, utamanya penegak hukum. Karena tidak sekali dua kali Abu Janda ini memberikan kalimat yang bernada SARA pada pihak tertentu. Namun, tidak ada tindakan tegas dari para penegak hukum. Jika ditanya, apakah cuitan itu melukai hati ummat Islam? Bagi saya, ini tentu menyayat hati. Tindakan terorisme dilabeli pada sebuah agama, yaitu Islam. Meski ummat Islam sendiri sangat sabar menghadapi penghinaan itu.
Berujung Ke Bareskrim
Apakah kesebaran ummat Islam itu bermaksud sabar, menerima, dan membiarkan begitu saja Abu Janda ini? Tentu tidak! Pada senin lalu Abu Janda dengan “gentle” datang ke Bareskrim Polri menghadiri panggilan sebagai saksi atas “cuitan” yang dilakukannya. Dengan santai dia menghadiri panggilan itu dan sempat melontarkan kalimat bahwa yang melaporkannya punya dendam politik padanya.
Polisi menerima laporan itu dengan nomor LP/B/1037/XII/2019/Bareskrim. Pada waktu itu juga Abu Janda dilaporkan atas ujaran kebencian berdasarkan SARA, dan penistaan agama diduga melanggar pasal 45A (ayat 2) Jo pasal 28 (ayat 2) UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE, dan atau pasal 156 KUHP.
Bukan satu dua kali saja sang Abu Janda ini dilaporkan terkait ujaran kebencian. Sejak tahun-tahun lalu, AJ sudah sering melontarkan kalimat-kalimat yang menyinggung kelompok agama tertentu. Tapi sama saja, tidak sedikitpun digubris oleh kepolisian. Entah apa yang membuat kepolisian, sekarang, agak serius menghadapi pelaporan terhadap AJ.
Dukungan dari Berbagai Pihak
Dukungan agar AJ segera diperiksa dan “diseret” ke meja hijau datang dari berbagai pihak. Beberapa tokoh agama dari Ormas Islam NU, Muhammadiyah, bahkan mantan menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti, juga mendesak kepolisian agar segera menindak AJ.
Susi Pudjiastuti menghimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak menanggapi dan memberi panggung kepada tindakan AJ. Bahkan, Susi meminta agar tidak lagi mengikuti akun media sosial AJ yang menyulut kemarahan banyak pihak.
Versus Pigai
Sekali lagi, tidak tanggung-tanggung, AJ alias Abu Janda, mencari masalah kepada banyak pihak. Salah satunya adalah putera mahkota Papua, mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai.
Seolah tak kapok dengan hobi cuitannya yang mengadung rasisme dan SARA, AJ secara langsung menghina Natalius Pigai dengan cuitan “Kapasitas Jenderal Hendropriyono: Mantan Kepala BIN, Mantan Direktur Bais, Mantan Menteri Transmigrasi, Profesor Filsafat Ilmu Intelijen, Berjasa di Berbagai Operasi militer. Kau @NataliusPigai2 apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau?,”
Atas cuitan yang berisi penghinaan kepada Natalius Pigai tersebut, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) melaporkan Abu Janda ke bareskrim polri. Bagi KNPI, AJ sudah sangat meresahkan masyarakat dan mengganggu persatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Meski begitu, sampai saat ini belum ada hasil signifikan dari proses penyidikan bareskrim polri. Pada senin kemarin, Abu Janda telah datang sebagai saksi dan dijadwalkan pada Kamis, 4 Februari 2021, akan menghadiri panggilan kedua.
Pax Humanica
Dr Abdul Halili Ibrahim, dalam sebuah makalahnya tentang Pancasila, menggaris bawahi bahwa Pancasila adalah perwujudan Pax Humanica, yaitu perwujudan dari “Budi Nurani Kemanusiaan”.
Ada tiga hal besar tuntutan kemanusiaan itu, salah satunya adalah diperlakukan setara dalam kehidupan hukum, politik, sipil, ekonomi, dan sosial budaya.
Dengan itu, harapan masyarakat secara umum kepada para penegak hukum, bahwa dengan diprosesnya Abu Janda terkait ujaran kebencian terhadap Natalius Pigai dan SARA terhadap Islam, akan memperkuat postulat Pancasila yang menjadi dasar, sumber dari segala sumber nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga!
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Trilogia Institute, dan Mahasiswa Pasca Magister Hukum Universitas Al Azhar Jakarta