Kamis, 25 April, 2024

Siasat Penguasa di Balik Revisi UU Pemilu

“Undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan temporal dan pragmatis para elite politik”

MONITOR, Jakarta – Penyelenggaraan pemilu/pilkada secara serentak niat awalnya dimaksudkan sebagai upaya efisiensi dan efektifitas dalam prosesnya.

Namun di dalam implementasinya dari beberapa kali pemilu dan pilkada yang dilakukan secara serentak, merujuk pada bentangan empiris selama ini justru mendatangkan persoalan baru yang lebih rumit dan kompleks, kerumitan dan kompleksitas ini pada akhirnya tidak lagi sesuai dan sejalan dengan roh tujuan awal pembuatan undang-undang tersebut.

Persoalan baru yang muncul ke permukaan bahkan tidak pernah diprediksi oleh pembuat undang-undang sehingga banyak persoalan yang tidak lagi relevan dengan regulasi yang ada. Bahkan kalau kita kembali menoleh ke belakang, undang-undang yang mengatur keserentakan pemilu ini sangat minim partisipasi publik. Saya ingin katakan, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan temporal dan pragmatis para elite politik. 

Produk undang-undang yang dilahirkan melalui proses semacam ini tentu sangat tidak logis untuk dipakai dalam waktu yang lama karena para pembuat undang-undang sendiri meloloskannya hanya untuk memuluskan agenda jangka pendek kepentingan masing-masing partai, sehingga perubahan politik yang begitu cepat dan dinamis membuat produk undang-undang ini menjadi usang dan tak relevan.

- Advertisement -

Gelombang protes atas pelaksanaan pemilu serentak mulai bising terdengar dari awal, puncaknya penyelenggaraan pemilu 2019 yang menelan banyak korban petugas KPPS yang meninggal, harusnya tidak boleh lagi terulang, via revisi undang-undang pemilu. Pilkada di tengah pandemi yang dinilai menurunkan kualitas demokrasi. Tak perlu alergi untuk mengevaluasi pemilu serentak melalui revisi undang-undang pemilu semakin mendesak untuk dilakukan. 

Namun di tengah kencangnya suara desakan dan kehendak publik untuk melakukan revisi terhadap undang-pemilu, pemerintah justru datang dengan argumentasi dan pikiran yang berbeda, menolak revisi. Sikap ini tentu di luar nalar logika berfikir dan terlihat sangat tidak konsisten dengan argumen yang justru keluar dari pemerintah sendiri terutama  saat publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda. 

Namun pemintah justru bersikukuh tetap melaksanakan pilkada serentak 2020 dengan berbagai argumen/reason di antaranya untuk menjaga hak konstitusi rakyat untuk dipilih dan memilih, kemudian alasan kuat pemerintah tidak mau ada plt yang menjabat secara bersamaan di 270 wilayah, plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis karena situasi pandemi yang mengharuskan pejabat daerah mengambil kebijakan strategis, kemudian alasan pilkada bisa kerek ekonomi, menjadi stimulus ekonomi, pilkada menggerakkan ekonomi karena perputaran duitnya besar dan pelbagai macam argumen lainnya. 

Menurut saya pemerintah sedang dijangkiti penyakit amnesia, mengapa dengan begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah mereka gunakan untuk tetap ngotot melaksanakan pilkada tahun lalu?. Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak di tahun 2022 dan 2023?.

Bagaimana mungkin secara akal sehat/commen sense pemerintah mendukung dan memberikan sinyal pilkada serentak hanya di tahun 2024, tidak ada penyelenggaraan pilkada serentak di tahun 2022-2023. Itu artinya, akan ada lebih kurang 272 kepala daerah plt? Ini yang merusak kualitas demokrasi, disharmoni, disorder, padahal setahu saya, boleh dikoreksi prasyarat negara demokratis yakni terjadi pertukaran elite berkuasa/kepala daerah secara reguler. 

Saya mencermati justru banyak kepala daerah yang dizholimi karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak yang kita tidak tahu apa manfaatnya dan keuntungannya sampai hari ini, korelasi linear efisiensi cost pun kita belum temukan? Ini yang saya maksud cacat bawaan demokrasi karena pemerintah yang tidak konsisten sikapnya.

Jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan?.

Faktanya pada tahun 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, dan 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini adalah hasil pilkada 2017 dan 2018, itu artinya ada 272 plt yang akan menduduki posisi kepala daerah.

Apakah presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini, sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan presiden melalui plt yang ditunjuk Kemendagri, sementara kita tahu Kemendagri adalah pembantu presiden yang ditunjuk presiden? Atau karena anak mantu presiden sudah selesai mengikuti perhelatan pesta pilkada, dan memenangkan Pilkada Solo dan Medan sehingga presiden tidak mendukung all out perhelatan pilkada serentak di tahun 2022-2023.

Belum lagi, penumpukan penyelenggraan  pilpres, pileg dan pilkada serentak di 2024 tidak main main, mitigasi pemilu dari level hulu sampai hilir sangat komplikasi permasalahannya, sangat berisiko terjadi kegaduhan yang berskala besar di masyarakat. Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan energi dan menguras tenaga KPU dalam menyelenggarakannya, Bawaslu, MK nantinya juga bakal kewalahan karena banyaknya nanti perkara sengketa pilkada, belum lagi punya potensi berulang kembali tragedi petugas KPPS  yang meninggal karena proses penghitungan suara yang berhari-hari  dan memakan waktu yang cukup lama.

Yang lebih berbahaya dari semua ini adalah upaya sistematik secara perlahan-lahan untuk mematikan demokrasi lokal dengan menghambat bermunculannya elite politik lokal dan menghalangi rakyat melaksanakan hak konstitusionalnya. Karena sejatinya demokrasi itu adalah jalan bagi publik terjadinya sirkulasi dan regenerasi elite secara teratur untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional. 

Jika jalan ini dihambat maka demokrasi akan mati secara perlahan dan pemerintah akan menggeser bandul demokrasi dan otonomi daerah ke arah pemerintahan yang sentralistik dengan mengendalikan kepala daerah melalui plt, otonomi daerah suram dan mundur di era pemerintahan sekarang, jika situasi ini berlanjut dan terus dibiarkan bukan tidak mustahil kita akan kembali menelan pil pahit berada di bawah cengkraman pemerintahan yang otoriter. Ini yang saya khawatirkan. Semoga tidak!!!

Pangi Syarwi Chaniago

Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER