Rabu, 24 April, 2024

Best Practice versus Bad Practice Persepektif Pendidikan Islam

Ruchman Basori *

Ayat-ayat kauniyah Tuhan di alam jagad raya ini menjadi pelajaran penting. Ada yang menjadi bad practices seperti kisah Firaun, Namrud, kaum Tsamud, Abu Jahal dan Abu Lahab, dan juga orang-orang yang tidak terpuji sepanjang sejarah umat manusia.

Ada juga yang menjadi best practices seperti para nabi dan orang-orang sholih dalam sejarah. Kisah Lukmanul Hakim dalam al-Quran, Ashhabul Kahfi dan fenomena orang-orang baik lainnya. Tuhan telah menjadikan ayat-ayat-Nya itu untuk menjadi bahan pemikiran dengan kalimat retoris yang sangat indah, afalaa ta’qiluun, afalaa tadzakkarun, aflaa tubsiruun, afalaa tatadabbaruun?

Kebaikan akan selalu berhadapan dengan keburukan. Kedzaliman akan selalu bertentangan dengan kesalihan. Pun orang-orang yang mengusung keduanya. Biasanya orang-orang yang mengusung kedzaliman, keburukan, ketidakadilan, sembrono dan dalam istilah manajemen mengabaikan kualitas dan mutu akan dengan gampang menemukan jalan dan teman. Mereka akan dengan mudah mencapainya atas apa yang menjadi harapannya.

- Advertisement -

Sementara yang mengusung dan menjadi bagian dari kebaikan, kesalihan, keutamaan dan nilai-nilai baik, kerap kali mendapatkan kesulitan bahkan mengalami jalan buntu. Harus dengan penuh perjuangan bahkan pengorbanan. Akibat-akibat lain sering mereka dapatkan karena berkomitmen mengusung kebaikan atau mutu. Para aktivis gerakan social, termasuk mahasiswa, sering menyebut dengan idealisme dan perjuangan akan nilai-nilai (value).

Dapat dikatakan antara bad practice vs best practice akan selalu berlomba dalam gelanggang. Anda semua tinggal memilih menjadi bagian bad practice atau sebaliknya menjadi best practice. Keduanya sama-sama menggiurkan tergantung persepektif seseorang. Hidup adalah pilihan yang tentu menghadirkan pelbagai konsekuensi. 

Perjalanan seseorang mengalami dinamika kadang di bawah, kadang di atas, kadang menang dan kadang kalah. Kita sendiri yang menentukan, apakah kita akan menjadi pecundang apakah akan menjadi pahlawan. Apakah kita akan menang dengan cara elegan dan kalah secara ksatria. Demikian, bagi orang-orang tertntu, menang dan kalah menjadi sesuatu yang biasa, bukan menjadi sesuatu yang penting. Terpenting adalah makna dan nilai kehidupan.

***

Para idiolog dan paedagog mempunyai tugas mulia. Dengan kemampuan yang dimilikinya menjadi tumpuan harapan kehidupan. Dia akan terus memproduksi orang-orang baik. Regenerasi idiologis yang akan terus menebarkan nilai-nilai luhur, cita-cita peradaban kemanusiaan yang santun.

Tanpa lelah melalui pelbagai madrasah, sekolah, pondok pesantren, bangku kuliah, meja-meja pelatihan hingga rumah-rumah peradaban, menyemai kader. Sebuah kebanggaan jika akan tumbuh anak idiologis-idiologis baru yang siap bertempur melawan mereka yang pragmatis, hedonis dan materislistis.

Anak idiologis akan menjadi ruh kehidupan di saat keadaan menjadi pongah. Mengisi ruang kosong yang tidak lagi nyaring menyuarakan kebenaran dan keutamaan. Para bijak bestari sering berpesan agar kita jangan lelah menjadi orang baik.

Dalam perspektif  Filosof Yunani Socrates (469 SM-399 SM) dikatakan, kebaikan satu-satunya adalah pengetahuan dan kejahatan satu-satunya adalah kebodohan. Plato mengatakan kebaikan menyatukan orang-orang yang mencintainya meskipun mereka dalam keadaan saling memarahi dan membenci

Sementara Konfusius Filosof Tiongkok (551-479 SM) mengatakan manusia yang unggul selalu berpikir mengenai kebaikan, manusia pada umumnya berpikir tentang kenyamanan. Demikian kita diarahkan untuk menjadi orang baik agar menjadi best practice.

Jauh hari Imam Syafii (767-820) telah berpesan kepada kita bahwa kebaikan itu ada di lima perkara: kekayaan hati, bersabar atas kejelekan orang lain, mengais rezeki yang halal, taqwa, dan yakin akan janji Allah Swt.

Lengkap sudah para pakar baik dari kalangan Timur, Barat hingga Islam membekali umat manusia pada keunggulan budi dan keberpihakan kepada nilai-nilai sebagai contoh baik dan keberpihakan kepada kepentingan sesaat akan menjadi contoh buruk. 

***

Dalam perspektif manajemen tentu urusan mutu dan kualitas adalah sebuah kebaikan (best practice) yang akan menjadi pembeda bagi tata kelola lembaga pendidikan. Orientasi mutu yang diikuti dengan budaya mutu di era persaingan seperti sekarang ini menjadi keharusan, sesuatu yang tak boleh ditawar-tawar lagi.

Pondok Pesantren menjadi best practice bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya dengan mengandalkan system asrama (boarding school) dan pendidikan karakter. Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) besutan Direktorat Jenderal Pendidikan Kementerian Agama, menjadi best practice bagi sekolah dan madrasah terutama dalam pengembangan sains.

Sementara sejumlah UIN dan IAIN menjadi best practice di bidang integrasi ilmu pengetahuan, yang sulit dimiliki bagi perguruan tinggi umum. Lagi-lagi soal kualitas menjadi kata kunci. Tentu dengan tidak mengesampingkan aspek lainnya, seperti sumber daya manusia, kultur dan tradisi akademik, dan juga tata kelola pendidikan Islam.  

Indonesia dengan 265 juta penduduk dan 87% penduduk muslimnya, menjadi best practice pendidikan Islam bagi negara-negara muslim di dunia.

Para pakar menyebut bahwa Indonesia menjadi destinasi pendidikan Islam dunia. Tidak berlebihan karena Indonesia memiliki jumlah pendidikan Islam terbesar di dunia. Memiliki 29 ribu pondok pesantren dengan 4 juta santri, 84 ribu MDT dengan 6 juta santri dan 826 PTKI dengan 1,17 juta mahasiswa.

Kita juga memiliki ulama-ulama nusantara yang mempunyai tingkat keilmuan kelas dunia sejak sebelum Indonesia merdeka. Mereka berjejaring sangat luas dan kuat antara nusantara dengan Timur Tengah. Sebut saja Syeh Nawawi Al Bantani, Syeh Yusuf Al Makasari, Nuruddin Ar-Raniri, Syeh Mahfud At-Tarmasi, Abdul Rouf al-Singkili, Syeh Arsyad Al-Banjari dan lain sebagainya.

Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam menjadikan itu semua sebagai modal yang sangat berarti bagi keunggulan pendidikan. Distingsi keilmuan, keunggulan wacana dan kapasitas intelektual serta jejaring keilmuan menjadi hazanah yang menjadikan Indonesia sebagai kiblat pendididikan Islam dunia. Indonesia adalah best practice pendidikan Islam yang sulit dicarikan bandingannya. Kita semua tentu patut berbangga akan masa depan pendidikan Islam.

Negeri ini yang membentang dari Sabang-Merauke tidak saja kaya raya alamnya, indah dan unik budayanya, tetapi mempunya keunggulan kompetitif dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hazanah keislaman Indonesia berkembang dengan watak dasarnya yang harmonis, damai dan terbuka. Demikian para pemeluknya menjadi best practice bagi umat Islam di belahan dunia ini untuk di tauladaninya.  

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menciptakan budaya mutu dikalangan pendidikan Islam. Membutuhkan komitmen kuat dari mulai top leader sampai staf. Mutu adalah harga mati yang takkan tertukar dengan hal-hal yang hanya berorientasi jangka pendek (pragmatis) apalagi sekedar orientasi materialisti. Dibutuhkan political will yang mampu menggerakan berbagai kekuatan dan kelompok kepentingan (stake holders).

Investasi terbaik adalah investasi sumber daya manusia melalui pendidikan, karena itu menjadi bekal memasuki 100 tahun Indonesia, atau lebih di kenal dengan Indonesia Emas 2045. Kita ambil yang baik-baik, yang bagus-bagus dan yang berkualitas sebagai best practice dan kita tinggalkan yang buruk-buruk dan tidak berorientasi pada mutu sebagai bad bractice.Wallahu a’lam bi al’shawab

—-

*) Penulis merupakan Mantan Ketua I Senat Mahasiswa IAIN Walisongo (1998-1999) dan Kasubdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER