Jumat, 22 November, 2024

PAS ‘Log in’ Kabinet Indonesia Maju

Oleh: Imron Wasi*

SEKIAN purnama kita menunggu. Akhirnya, pemilik otoritas tertinggi, dalam hal ini, kepala negara dan kepala pemerintahan, telah membuat keputusan terkait komposisi kabinet pada periode kedua. Presiden Joko Widodo sebagai pemilik hak prerogatif dalam menentukan susunan kabinet telah melakukan perombakan kabinet. Perombakan kabinet yang dilakukan pada penghujung tahun 2020 ini merupakan mekanisme baru yang dilakukan eks Walikota Solo ini. Karena, hal ini tidak seperti yang pernah dilakukan pada pemerintahan jilid pertama.

Biasanya, Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet sebelum genap satu tahun pemerintahannya. Akan tetapi, secara kasat mata, berbeda dengan langkah politik yang digunakan pada saat ini, yakni lebih dari genapnya satu tahun. Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam pelbagai media mainstream bahwa beberapa menteri telah diganti. Sederet nama-nama dan/atau tokoh-tokoh nasional yang sudah tidak tabu lagi di telinga kita bermunculan, misalnya, Tri Risma sebagai Menteri Sosial, Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama, Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan, Sandiaga Salahudin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta M Luthfi sebagai Menteri Perdagangan.

Sebelum perombakan kabinet terjadi, secara umum, terdapat sejumlah desakan sejak awal yang dilakukan oleh ‘masyarakat’ agar segera melakukan reshuffle kabinet. Hal ini menggema di ruang-ruang publik. Karena, pelbagai problematika kebangsaan belum juga mereda, terlebih sejak merebaknya wabah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Kendati demikian, dari sejumlah nama-nama yang dipilih Jokowi, salah satu di antaranya, yaitu, Sandiaga Salahudin Uno. Meskipun masuknya Sandiaga Uno bukanlah hal yang baru. Sebab, Prabowo Subianto, pada saat yang sama sebagai capres yang berpasangan dengan dirinya telah masuk sedari awal. Dalam literatur lain, keduanya dikenal sebagai ‘PAS’.

- Advertisement -

Dari sejumlah nama-nama yang beredar, masing-masing memiliki respon yang berbeda dari semua pihak. Pertama, Sandiaga dipandang sangat merepresentasikan dalam domain ekonomi, sesuai scope kapasitas yang dimilikinya. Kedua, Tri Risma, juga diberikan tanggung jawab sebagai Mensos. Hal ini berkaitan atau memiliki relasi, karena sebagai eks Walikota Surabaya, Tri Risma dianggap mampu memafhumi kepentingam masyarakat. Dan, bekal ini menjadi pertimbangan Joko Widodo. Kemudian, terpilihnya Yaqut Cholil Qoumas juga sangat menarik, karena telah mengembalikan posisi Menteri Agama yang selama ini sangat kentara dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang pada awalnya tidak mewakili dari organisasi masyarakat, dalam hal ini, NU.

Tak hanya itu, beragam interpretasi juga muncul di ruang publik, misalnya, dengan diangkatnya kembali Menag dari organisasi masyarakat Islam ini mengindikasikan untuk menjaga ketentraman dan/atau menjaga stabilitas dinamika keagamaan. Menguatnya dinamika keagamaan akhir-akhir ini membuat pemerintah juga tak absen. Sehingga, pemilihan Menag baru ini memberikan legitimasi penuh, karena selama ini Gus Yaqut Cholil Qoumas dikenal sosok yang paling berani dan mantap. Terlebih, diafirmasi dengan penampilan kostum yang dipakai, terutama jaket berwarna biru. Dengan kata lain, dalam perspektif warna politik, biru juga dapat diasosiasikan dengan spiritualitas, kontemplasi, misteri, dan kesabaran. Oleh karena itu, biru disebut juga sebagai warna bahu-membahu. (Wasesa, 2018: 81).

Stabilitas Koalisi

Terlepas tepat atau tidaknya, the right man on the right place, nama-nama menteri yang baru memasuki kabinet Indonesia maju, Presiden Joko Widodo sudah pasti mempertimbangkan secara matang dengan melihat secara realitas nama-nama menteri baru tersebut sesuai instrumen kompetensi, kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya dan ada satu hal yang perlu dikaji secara komprehensif, yaitu stabilitas koalisi. Pertama, tersandungnya dua menteri karena dugaan korupsi telah memantik perombakan kabinet, dan hal ini sudah kadung terjadi.

Secara simbolis politik, kostum yang digunakan merupakan perwujudan dari manifestasi stabilitas, seperti yang telah diungkap di atas, terutama warna biru, yang begitu sangat bahu-membahu. Bahu-membahu di sini dapat dimaknai sebagai sistem gotong royong untuk menciptakan koalisi Indonesia maju agar dapat melakukan akselerasi transformasi yang lebih maksimal dalam rangka mewujudkan cita-cita kebangsaan.

Kedua, secara faktual, perombakan kabinet ini juga tampak begitu tentram. Sebab, menghadirkan tokoh-tokoh yang sudah sangat familiar dan tidak mengganggu parpol koalisi. Apabila kepentingan parpol salah satunya terganggu, maka akan berdampak pada stabilitas koalisi. Selain itu, politik akomodatif ini juga sebagai bagian dari metode politik yang secara klise sering digunakan.

Politik akomodatif ini juga dipercaya sebagai sebuah kekuatan alternatif yang sangat dahsyat. Karena, selain bisa membuat ‘patuh’ juga bisa melemahkan check and balances. Dengan demikian, mekanisme ini seringkali ditempuh. Kemudian, perombakan ini secara eksplisit memberikan sinyalemen kepada publik, bahwa akselerasi akan dilakukan sedini mungkin.

Ketiga, datangnya kehadiran Sandiaga Uno memberikan ilustrasi yang begitu ekslusif bahwa dalam politik tidak ada kawan dan/atau lawan yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan semata, baik kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Namun, dalam hal ini, penulis mencoba mengelaborasi bahwa kepentingan di sini, diletakkan pada kepentingan negara-bangsa (nation-state). Sudah menjadi rahasia umum, saat konstelasi politik nasional 2019 silam menjadi saksi pertarungan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Meskipun, di sisi yang lain, ada suatu konsensus yang tidak diketahui oleh khalayak. Perbincangan tersebut tidak pernah dibicarakan atau ditampilkan dalam koridor terbuka. Dalam bahasa lain, adanya the secret garden of politics. Meminjam istilah Wasi (2020), yang menyatakan kesepakatan tertutup tidak dipublikasi melalui platform apa pun. Ia menyebutnya sebagai sebuah panggung politik belakang.

*Penulis adalah Direktur Sekolah Karakter Banten Institute For Governance Studies (BIGS)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER