MONITOR, Jakarta – LBH Jakarta mengecam keras langkah Polri dalam hal ini Polres Kota Tangerang yang menebar ancaman bahwa pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) akan diberikan catatan khusus dalam penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang dapat menyebabkan para pelajar sulit mencari kerja.
Selain itu, LBH Jakarta juga mengecam rencana Pejabat Sementara (Pjs) Wali Kota Depok Dedi Supandi yang akan melakukan Drop Out (DO) kepada pelajar yang ikut dalam aksi demonstrasi tersebut.
Anggota LBH Jakarta, Arif Maulana, mengungkapkan bahwa jika benar hal tersebut dilakukan, maka tindakan tersebut jelas bentuk kesewenang-wenangan aparat dan pejabat publik serta merupakan pelanggaran hak warga dan bentuk penghalangan hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
“Terlebih bagi kepolisian, langkah ini semakin menguatkan dugaan kepolisian tidak independen dalam merespon aksi unjuk rasa masyrakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pascaterbitnya telegaram Polri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (16/10/2020).
Menurut Arif, LBH Jakarta mengingatkan Polri untuk tidak jadi alat represi pemerintah untuk menghalang-halangi aksi unjuk rasa warga yang menolak UU Ciptaker.
“Jika hukum dan aparat penegak hukum bekerja bukan berdasarkan aturan hukum tetapi berdasarkan kemauan penguasa. Hukum hanya akan menjadi alat menindas rakyat bukan untuk melindungi rakyat,” ujarnya.
Seperti diketahui, sebelumnya terhadap ratusan pelajar yang ditangkap secara sewenang-wenang sebelum melaksanakan demonstrasi, Polri melalui Kapolres Tangerang Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menyampaikan, “Kami catat di catatan kepolisian. Karena nanti apabila tercatat itu akan terbawa terus. Kalau untuk melamar pekerjaan, meneruskan sekolah, ada catatan khusus yang akan kami sampaikan”.
Kemudian Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Pol Sugeng Hariyanto juga menyampaikan, “Mereka yang sudah diamankan akan ter-record di intel dan ini menjadi catatan tersendiri ketika mereka mau mencari pekerjaan”.
Tidak hanya itu, Pjs Wali Kota Depok Dedi Supandi menyatakan bahwa pelajar yang terlibat dalam aksi unjuk rasa tolak UU Ciptaker akan terancam di-DO atau dikeluarkan dari sekolah. Selain ancaman DO terhadap siswa, penghalang-halangan aksi demonstrasi juga dirasakan oleh mahasiswa, dimana pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melayangkan surat imbauan agar mahasiswa tidak terlibat demonstrasi tolak UU Ciptaker.
Anggota LBH Jakarta lainnya, Rasyid Ridha menjelaskan, perlu diketahui bahwa Catatan Kepolisian adalah catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan atas perbuatan yang dia lakukan.
Catatan ini nantinya yang akan dituangkan dalam SKCK sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Polri (Perkapolri) Nomor 8 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
“Artinya, seseorang harus melakukan tindak pidana terlebih dahulu, diproses oleh Kepolisian, Kejaksaan, disidang oleh Pengadilan dan mendapatkan putusan yang bersifat final baru dapat dinyatakan melanggar hukum dan dicatat dalam Catatan Kepolisian tersebut,” kata Rasyid.
Rasyid mengungkapkan, pelajar yang ditangkap secara sewenang-wenang karena baru akan mengikuti unjuk rasa tidak dapat dinyatakan melanggar hukum karena setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Kegiatan unjuk rasa ataupun demonstrasi dalam berbagai bentuk, termasuk menolak UU Cipta Kerja, merupakan kegiatan mengemukakan pendapat dan ekspresi di muka umum harus dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” ungkapnya.
Rasyid menegaskan, segala bentuk penghalang-halangan kegiatan mengemukakan atau berpendapat di muka umum, berekspresi, maupun demonstrasi yang dilakukan oleh aparat Negara dan Pemerintah, termasuk Polri dan kepala daerah, baik dengan cara penangkapan sewenang-wenang, penyisiran, razia tak berdasar, screening, blacklist SKCK, hingga mengeluarkan siswa dari sekolah pada dasarnya merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum, bersifat maladministratif dan diskriminatif, serta melanggar hak asasi manusia dan hak anak.
Khususnya Pasal 12 dan 13 Konvensi Hak Anak yang telah disahkan dengan Keppres Nomor 36 tahun 1990, maupun ketentuan Pasal 24, Pasal 56 ayat 1 huruf b, dan Pasal 72 ayat 3 huruf h UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana baik Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun Masyarakat wajib menjamin, menghormati dan melindungi hak Anak untuk mempergunakan haknya untuk berpartisipasi dan menyampaikan pendapatnya sesuai hati nurani dan keyakinannya.
“Semestinya, baik aparatur Pemerintah Negara maupun aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI terikat pada aturan hukum yang ada, dan khususnya ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana penyelenggaraan pemerintahan harus mendasarkan diri pada prinsip kepastian hukum, perlindungan HAM, asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta bersifat non-diskriminatif dan imparsial,” ujar Rasyid.